(Kristoforus Sri Ratulayn K.N)
Dalam menjelaskan masalah jati diri manusia sebagai landasan pengembangan epistemologi, saya akan mengurainya dalam tiga sub-tema besar. Pertama, adalah penjelasan mengenai apa itu jati diri manusia? Kedua penjelasan bagaimana peran jati diri sebagai “Pengada Aktual” dalam rangka pengembangan epistemologi? Ketiga, kita akan melihat jati diri sebagai kesatuan subjek atau bisa juga kita sebut ciri yang tak terpisahkan dari jati diri sebagai kesatuan subjek.
Apa itu jati diri manusia?
Pada pembahasan awal ini kita akan mendalami terlebih dahulu apa itu jati diri manusia? Kita akan menemukan dua kata kunci dari jati diri yaitu kesatuan (Unitas) dan keberagaman (kompleksitas)[1]. Kesatuan berarti bahwa dalam diri manusia terdapat berbagai unsur pembentuk yang tak dapat terbagi-bagi. Seperti kesatuan karakter, sifat, watak, kepribadian, identitas diri, dan keunikannya yang ada di dalamnya. Akhirnya tidak bisa disangkali bahwa terdapat pula keberagaman, karena kompleksnya unsur-unsur yang ada di dalamnya. Contoh, dalam sebatang rokok terdapat berbagai unsur yang membuatnya pantas disebut rokok, yang unsur-unsurnya tidak bisa dipisahkan dan kompleks.
Melihat unsur-unsur yang terkandung dalam jati diri seperti karakter, sifat, watak, kepribadian dan identitas diri. Maka, bisa kita simpulkan bahwa jati diri manusia bukan merupakan sesuatu yang statis dan final. Karena jati diri sendiri adalah sebagai subjek pengada aktual bagi pengetahuan dengan sifatnya yang terus berproses. Untuk penjelasan lebih lanjut tentang pengada aktual akan di jelaskan dalam sub tema kedua.
Bagaimana peran jati diri sebagai “Pengada Aktual” dalam rangka pengembangan epistemologi?
Istilah Pengada aktual sering mengacu atau berhubungan pada causa efficiens. Yaitu sebuah pengertian bahwa adanya kemampuan-kemampuan yang khas dan majemuk dalam diri manusia yang mengadakan sesuatu secara aktif dan dinamis. Sifatnya yang aktif dan dinamis selanjutnya mengarahkan bahwa jati diri manusia tidak bisa dibatasi dalam satu aspeknya dan menjadi lebih sempit. Karena jati diri mempunyai kesatuan dan keunikan seperti pada penjelasan di sub-tema pertama.
Terdapat tiga tahapan dalam penemuan jati diri. Yaitu tahap pengumpulan data, tahap pengolahan data, dan tahap kepenuhan diri. Tahap pengumpulan data adalah tahap dimana seseorang mulai menangkap data-data atau nilai-nilai yang telah ada dalam dunianya. Tahap pengolahan secara sederhana adalah tahap dimana seseorang mulai mampu untuk menalarkan berbagai pengetahuan yang telah ia dapatkan dalam tahap pengumpulan data tadi. Terakhir tahap kepenuhan adalah tahap akhir yang juga bisa dikatakan bahwa seseorang telah mencapai jati dirinya, sehingga telah mampu menjadi objek bagi pengada lainnya.
Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa jati diri manusialah causa efficiens dalam rangka pengembangan epistemologi. Hal ini dilihat dari sudut bagaimana dalam pencapaiannya sebagai jati diri itulah juga termasuk pengembangan epistemologi. Dalam rangka pencapaian jati diri turut melibatkan pula pengolahan pengetahuan di dalamnya, yang hal itu juga merupakan pengembangan epistemologi. Intinya bahwa dalam proses pembentukan jati diri itulah terjadi pula pengembangan epistemologi.
Sebagai contoh, ketika seorang anak mulai sadar bahwa dirinya mempunyai intelejensi, dia mulai mempelajari berbagai hal yang ada dalam dirinya. Kemudian lebih lanjut dia mampu mengolah pengetahuannya atau menalar apa yang telah dia dapatkan. Hingga sampai pada tahap dimana ia sungguh telah mampu sampai ,menjadi bahan bagi pengada baru.
Jati diri sebagai kesatuan subjek dalam pengembangan epistemologi
Pada bagian ini kita akan mendalami bagaimana jati diri sebagai kesatuan subjek dalam pengembangan epistemologi mempunyai ciri yang tak terpisahkan. Secara sederhana bisa kita pahami bahwa jati diri disebut sebagai kesatuan subjek karena di dalamnya terdapat banyak sekali input dalam rangka menemukan kepastian. Misalnya masukan dari imajinasi, intuisi, atau insight. Dalam rangka menemukan kepastian pengetahuan atau pengembangan epistemologi, unsur-unsur itu tidak boleh dipilah-dipilah.
Kita tidak bisa memilah-milah atau mengambil bagian per bagian dari berbagai input yang telah kita dapatkan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam hal inilah jati diri sebagai sebuah kesatuan subjek pengembangan epistemologi. Sebagai contoh, dalam menentukan benar atau salah sesuatu kita tidak bisa memisahkan mana yang dihasilkan dari imajinasi dan mana yang intuisi. Seakali lagi karena jati diri adalah sebuah kesatuan. Seolah-olah memang sudah menjadi satu paket, misalnya seperti dalam promosi barang dagangan beli satu dapat dua.
[1] Lih. Aholiab Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi secara Kultural, Kanisius:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar