Jumat, 29 Januari 2010

Fenomenologi Husserl

Fenomenologi Edmund Husserl dalam Meninjau Pengalaman Beragama


PAPER AKHIR SEBAGAI PENGGANTI UAS MATA KULIAH
METODOLOGI PENELITIAN FILSAFAT








Oleh:
Kristoforus Sri Ratulayn Kino Nara




BAB I
PENDAHULUAN


Melihat realitas yang terjadi dalam masyarakat saat ini, beberapa agama dan segala macam unsur yang terkandung di dalamnya, seperti orang yang menganut, ajaran (dogma), tata cara peribadatannya, aturan, dan sebagainya, mendapat banyak sorotan negatif dalam masyarakat.
Salah satu fenomena yang bisa menjadi contoh penyebab banyaknya sorotan negatif terhadap agama adalah kasus-kasus pengeboman yang terjadi di negara kita. Fenomena pengeboman-pengeboman yang terjadi di Negara kita sadar atau tidak mulai memberikan stereo-tipe atau cap-cap dalam benak masyarakat kepada agama. Cap-cap tersebut mempunyai kecenderungan untuk melakukan generalisasi. Artinya sebenarnya pelakunya hanyalah segelintir kecil bagian dari agama tersebut, namun bagi mereka yang berpikiran sempit membawanya sampai tataran keseluruhan bagian dari agama tersebut. Akhirnya jelaslah dampaknya terkena bagi mereka, para pemeluk agama, yang nyatanya dalam kehidupan sehari-hari justru karena perintah agamanya mempunyai keutamaan-keutamaan, moral yang baik dan sangat menghargai kehidupan.
Paper ini berjudul “Fenomenologi Edmund Husserl dalam Meninjau Pengalaman Beragama”. Masalah yang ingin disajikan dan diamati dalam paper ini adalah melihat dan mengembalikan penilaian tentang agama dari sudut pandang pemeluk agama itu sendiri. Keprihatinan akan realitas seperti yang dipaparan di atas pula lah yang kiranya menjadi latar belakang penulisan penelitian ini. Saya bermaksud untuk mengembalikan penilaian mengenai agama kepada para penganutnya.
Paper ini memuat dua bagian penting. Pertama, teori mengenai Fenomenologi dari Edmund Husserl. Bagian Kedua, langsung menampilkan hasil wawancara dari salah satu subjek pemeluk suatu agama. Ia adalah seorang Imam Gereja Katolik yang mempunyai penghayatan dan pemahaman yang baik tentang agama dan hidup beragama. Dalam wawancara tersebut saya menggunakan kerangka 5 W dan 1 H. Secara lebih detail demikian pertanyaan yang saya ajukan kepada subjek tersebut:
1. Apa makna agama bagi anda?
2. Mengapa memutuskan untuk menjadi pemeluk agama tertentu?
3. Siapakah yang mengenalkan anda dengan agama?
4. Adakah sosok atau panutan dalam menjalani hidup beragama?
5. Kapan mulai memutuskan untuk beragama?
6. Bagaimana pengalaman selama ini dalam menghayati agama?
7. Adakah pengalaman paling mengesan selama beragama? Ceritakan!

Wawancara tersebut saya lakukan pada tanggal 9 Nopember 2009 pukul 17.30 WIB
Bagian selanjutnya kita akan melihat kesimpulan tentang pengalaman beragama dari sudut pemeluk agama itu sendiri. Kemudian sedikit tanggapan kritis



BAB II
KERANGKA TEORI


Teori Fenomenologi Husserl
Edmund Gustav Aibercht Husserl, lahir di Prestejov (dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia 8 April 1859 dari keluarga yahudi, golongan menengah. Pada usia ke 27 tahun, dia dibaptis di dalam Gereja Kristen Protestan, karena terpengaruh oleh sahabatnya, G Albrecht. Semasa hidupnya ia bekerja sebagai dosen di Unversitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen sampai tahun 1916. Husserl terkenal dengan metode yang diciptakannya, yakni “Fenomenologi”. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Beberapa karya utamanya: Logical, Investigation, Ideas, Lectures on Internal Time-Consciousness, Transcendental Phenomenology, dan Cartesian Meditations.
Husserl adalah seorang filsuf Jerman sekaligus pendiri gerakan fenomenologi. Gerakan ini memang awalnya adalah sebagai kritik atas positivisme. Karena dalam positivisme seakan-akan dibedakan secara jelas anatara subjek-objek. Kebenaran mutlak ada di tangan subjek. Objek tidak mendapatkan ruang untuk turut mengungkapkan kebenaran atas dirinya sendiri.
Sebuah ungkapannya yang terkenal dan langsung mampu mencirikan metode fenomenologinya adalah “kita perlu kembali ke benda-benda sendiri” (Zu den Sachen selbst). Istilah fenomenologi sendiri sebenarnya berasal dari kata fenomena (phainesthai) dan logos. Dengan demikian bisa kita tarik bahwa fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak dan apa yang menampakkan diri atau fenomen. Fenomen adalah realitas tampak yang sama sekali lain. Inti penekanan dalam metode fenomenologi yang ia tawarkan adalah “deskripsi murni terhadap objek atau tindakan apapun yang tampak atau nyata dalam medan kesadaran” .
Lebih lanjut fenomenologi merupakan usaha untuk memahami kesadaran dari sudut pandang subjektif orang terkait. Artinya, berusaha berfokus pada sebuah pemahaman kesadaran pengalaman subjektif orang pertama. Fenomenologi berusahaapa yang anda pikirkan, rasakan dan lakukan, sekali lagi dari sudut pandang orang pertama. Metode fenomenologi selalu mengarah ke luar atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Konsep akan makna pun sungguh sangat di tekankan
Fenomenologi menjadi penyebab munculnya kesadaran intensional. Intensionalitas merupakan keterarahan kesadaran (directedness of consciousness) dan juga merupakan keterarahan tindakan, yakni tindakan yang bertujuan pada sesuatu hal. Setiap kesadarandan pikiran selalu memiliki intensionalnya.
Intinya memang bahwa fenomeneologi Husserl ingin menganalisis dunia sebagaimana objek mengalami secara subjektif atau mengguanakan pengalamannya sendiri tanpa ada penilaian dari pihak luar dirinya.






BAB III
ANALISIS MASALAH


Tampilan Hasil Wawancara
Ia membuka ceritanya dengan mengungkapkan bahwa ia lahir dan dibesarkan dari keluarga religius. Religius rtinya keluarga yang taat beragama. Taat beragama di sini dalam penghayatannya adalah patuh menjalankan Sepuluh Perintah Allah yang ada dalam agamanya, Katolik.
Cerita kemudian berlanjut dengan menceritakan Papa nya. Papa nya sejak yang memang sejak awal mempunyai cita-cita agar kelak dalam diri anak-anaknya pun tertanam sikap religiusitas yang kuat. Agar anak-anaknya senantiasa memiliki rasa cinta akan Tuhan yang senatiasa menemani dan menyertai dalam hidup mereka. Didikan dari Papa nya nampak secara nyata dalam bentuk keteladanan hidup untuk melakukan Sepuluh Perintah Allah tadi dan doa-doa secara pribadi maupun doa bersama dalam keluarga.
Ia menambahkan bahwa pernah suatu ketika Papa nya merasa teruji ketaatannya akan Sepuluh Perintah Allah yang dihayati dan diajarkannya kepada anak-anaknya. Ketika bertugas malam sebagai seorang satpam, tiba-tiba seorang perempuan datang dan mengajaknya untuk berselingkuh. Namun karena keteguhan hati dari papanya akan penghayatan Sepuluh Perintah Allah tersebut, papannya menolak secara tegas ajakan perempuan tersebut.
Menurut ia penghayatan agama dan pengembangan akan kerohanian semakin berkembang dan terbangun ketika masuk Seminari. Sebuah tepat untuk pembinaan para calon Imam dalam Gereja Katolik. Terbangun dalam hal ini terlihat dari orang semakin memahami akan ajaran-ajaran agamanya. Kemudian juga semakin terbangunnya relasi yang personal dengan Tuhan, baik secara pribadi maupun komunitas. Ditanyai mengapa bisa semakin terbangun? Ia menjawab karena pelajaran agama yang didapatkannya serta pengkondisian di lingkungan seminari untuk semakin membangun relasi yang personal dengan Tuhan.
Dalam kesadaran pengalaman penghayatan ia akan agama, ia menilai relasi yang personal dengan Tuhan memegang posisi yang sangat sentral. Ia sendiri menghayatinya dengan membandingkan relasi yang ia bangun dengan keluarga, sahabat, dan teman-teman. Bagaimana ia mengalami kerinduan ketika ia tidak bertemu dengan mereka. Hal tersebut langsung ia tarik kepada pemaknaan bahwa berarti kerinduannya akan Tuhan pun harus bisa lebih besar dari kerinduannya akan keluarga, sahabat, dan teman-teman.
Ia memahami bahwa semangat religiusitas atau penghayatan tidak hanya sekedar pada tataran kewajiban atau rutinitas belaka. Namun seharusnya sampai pada kesadaran akan kebutuhan dan kerinduan akan menjalin relasi yang personal dengan Allah. Menurutnya inilah penghayatan yang dewasa dalam iman.
Kemudian ketika ditanyai tanggapan mengenai sikap “lunak” akan penghayatan atau pelaksanaan aturan-aturan yang terjadi dalam agamanya, ia menjawab itulah realitas yang terjadi dalam Gereja. Artinya pengontrolan terhadap pelaksanaan ajaran dan aturan dalam Gereja dikembalikan kepada masing-masing pribadi. Gereja hanya memberikan sarana. Sampai saat ini Gereja hanya berhenti pada sebuah himbauan-himbaun moral kepada para pengikutnya. Pun juga demikan halnya akan peran para pemimpin dan komunitas, yang sudah mulai tidak nampak. Semuanya seakan-akan dikembalikan kepada masing-masing pribadi. Dalam benaknya juga bertanya apakah ini berkaitan dengan penyuaraan akan Hak Asasi Manusia yang sudah sangat ramai pada saat ini? Yang akhirnya membawa kepada pemahaman bahwa Gereja bukan satu-satunya institusi yang melihat orang ini bersalah atau tidak.
Lantas bagi ia apakah arti penting atau makna dari ajaran atau aturan-aturan yang ada dalam agamanya bagi hidupnya? Ia kembali merujuk kepada Sepuluh Perintah Allah yang ada dalam agamanya. Menurut ia tiga perintah pertama menyangkut relasi anata Tuhan dan manusia. Sedangkan tujuh perintah selanjutnya menyangkut relasi antar manusia. Hukum tersebut oleh Yesus disempurnakan, bahwa perintah yang pertama dan utama adalah “Cintailah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu…..” sedangkan perintah selanjutnya adalah “Cintailah juga sesamu manusia dengan segenap hatimu….” untuk hal ini ia lebih tertarik dengan bahasa yang digunakan oleh Yohanes dalam bacaan Injil.
Melanjutkan pemahaman dan penghayatan akan aturan-aturan dalam gereja, ia memandang bahwa kalau orang tidak menghayati dan menghidupi Sepuluh Perintah Allah tersebut akan terjadi kekacauan yang luar biasa di dalam hidup masyarakat. Orang akan semakin terikat pada egoisme diri, yang penting membawa kesenangan bagi dirinya sendiri. Akhirnya disinilah letak peran dari Sepuluh Perintah Allah tersebut, yaitu menjadi pengerem seseorang dalam menghayati hidupnya. Membuat seseorang akhirnya mampu menghargai privasi orang lain dan sebagainya.
Penghayatan terhadap Sepuluh Perintah Allah tersebut oleh ia dihubungkan dengan sikap humanisme yang sangat berkembang di Eropa. Sampai pada munculnya dua istilah yang berkaitan dengannya, yaitu kesalehan sosial dankesalehan ritual. Banyak orang muali meninggalkan kesalehan ritual dan lebih mengarah pada kesalehan sosial. Namun ia mengungkapkan bahwa kita tidak boleh lupa bahwa sejatinya sikap humanisme pun muncul atau lahir dari Gereja. Hal ini tetap kaitannya dengan isi dari perintah Allah yang mengatur cara hidup dengan sesama manusia. Ia pun menyadari bahwa hal ini merupakan tantangan yang juga akan dihadapi oleh Gereja Katolik di Indonesia. Maka dari itu perlu adanya upaya kreatif.
Lantas apa tanggapan ia mengenai klaim yang menyatakan bahwa justru agamalah yang terkadang menjadi penyebab kekacauan? Ia mengungkapakan bahwa hal tersebut bisa terjadi jika di dalam institusi Gereja tidak ada tokoh. Sebgai contoh tokoh seperti Yohanes Paulus II yang menetang infasi Amerika Serikat kepada Irak. Ia memandang sosok figur atau ketokohan memiliki arti penting dalam Gereja. Memang gereja bukan hanya kumpulan orang-orang kudus, namun sekaligus berbagai macam orang terkumpul di dalamnya. Sekaligus berdosa sekaligus kudus.
Dalam menghayati agama ia pun pernah mengalami suatu titik gelap, yang juga dimaknai sebagai pengalaman padang gurun. Suatu keadaan di mana orang merasa tidak dipahami. Sama seperti seorang pemimpin yang terkadang sulit untuk dipahami dan diterima oleh orang-orang yang menjadi pengikutnya. Namun justru dalam titik gelap itulah orang bisa mengetahui secara otentik siapakah pribadi yang dihadapinya tersebut. Disaat semua serba menyenangkan motivasi atau komitmen seseorang belumlah teruji. Namun disaat titik gelap inilah akan nampak secara jelas mana pribadi yang punya komitmen dan tidak.
Menghadapi masa padang gurun tersebut yang menjadi kekuatan adalah sekali lagi relasi yang personal dengan Allah. Relasi yang personal dengan Allah mampu memberikan kekuatan kepada ia di saat tersulit dalam hidupnya, karena merasa bahwa Allah selalu mendampingi dan menemani. Kedua, seseorang harus yakin terhadap apa yang di perjuangkan.
Pemikirannya tentang agama banyak mengalami perkembangan. Hingga samapidetik ini baginya agama mengandung unsur empat unsur besar, yaitu tokoh pendiri, institusi, ajaran, dan orang-orangnya. Tinggal pertanyaannya mau dibawa kemanakah ketiga unsur tersebut? Menjadi baik bagi mereka sendiri atau baik mau juga baik bagi masyarakat luas. Memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.



BAB IV
KESIMPULAN DAN TANGGAPAN KRITIS


Berdasarkan teori fenomenologi Husserl dan di sintesakan dengan hasil wawancara dengan subjek pemeluk agama, dapat disimpulkan bahwa agama baginya mencakup empat unsur poko, yaitu tokoh pendiri, institusi, ajaran, dan orang-orangnya. Hal itu semua berawal dari didikan yang dia peroleh dari keluarga (terutama sososk Papa), hingga akhirnya mampu memikirkan sendiri yang terbaik bagi dirinya. Sedangkan alasanyanya beragama adalah karena pengalaman relasi yang personal dengan Tuhan yang senantiasa mendampingi dan menyertai.
Sebagai tanggapan kritis, saya ingin mengkritisi metode fenomenologi Husserl. Saya tidak setuju bahwa harus selalu objek sendiri yang menampakkan kebenaran dalam dirinya sendiri. karena memang pada akhirnya tetap subjek lan yang memberikan penilaian akan apa yang menjadi pengetahuannya dari objek. Saya membayangkan dapatkah burung mendeskripsikan sendiri bahwa dia sebenarnya adalah burung A bukan B. Karena pada akhirnya subjek di luar lah yang memberikan penilaian kepadanya. Lantas kadang saya berpikir lalu dimana letak pengaruh penilaian objek mengenai dirinya sendiri? karena memang penilaian itu sifatnya terkesan hanya menjadi sebuah masukan saja bagi subjek diluar dirinya. Ya mungkin akan bernilai bagi dirinya sendiri.




BAB V
DAFTAR ACUAN

1. B. Woodhouse, Mark. Filsafat: Sebuah Langkah Awal. Yogyakarta: Kanisius. 2002.
2. Bertens, K., Filsafat Kontenporer, Inggris-Jerman, Gramedia, Jakarta, 2002.
3. Smith, David Woodruf., Husserl, Routledge, London, 2007.
4. http://jurnalstudi.blogspot.com/2009/03/pemikiran-fenomenologi-menurut-edmund_22.html hr selasa 10 Nop 2009 23.00
5. www.Rezaantonius.multiply.com/Jurnal/item/238/Fenomenologi Edmund Husserl/5 Desember 2007/24:11 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar