Minggu, 03 Oktober 2010

William Ockham Sang "Penggoyang" Kejayaan Masa Skolastik


(Kristoforus Sri Ratulayn Kino Nara / 1323009009)


Usaha untuk mempersatukan iman dan akan budi merupakan sebuah hal yang khas dalam sejarah filsafat abad pertengahan. Usaha ini mencapai puncaknya dalam era kehidupan Thomas Aquinas atau lebih sering dikenal dengan Skolastik. Jika mau melihat lebih detail, sejarah filsafat abad pertengahan terbagi dalam beberapa jenis dan periode. Periode paling awal adalah masa patristik atu lebih dikenal dengan nama bapa-bapa bangsa. Selanjutnya masa pra-skolastik, Arab, Yahudi, Skolastik, Pasca Skolastik, dan Neo-skolastik.
Tulisan ini akan berfokus pada masa pasca skolastik, khususnya menyoroti salah satu tokoh yang ada di dalamnya. Tokoh yang akan kita amati adalah William Ockham. Kita akan melihat bagaimana William Ockham dengan teorinya pisau cukurnya turut berperan besar dalam masa ini, pasca skolastik. Lebih dalam ingin melihat bagaimana Ockham "mengoyang" kejayaan masa skolastik dengan metode filsafatnya.
Kemudian untuk susunan pembahasannya, pertama kita akan menguraikan tentang kejayaan masa skloastik, setelah itu baru melihat Ockham dengan metode pisau cukurnya menggoyang kejayaan masa skolastik tersebut. Sebelumnya pun perlu kita ketahui bahwa masa pasca skolastik adalah masa di mana terjadinya kemunduran dari masa skolastik. Kemunduran atas usaha besar penggabungan antara iman dan akal budi.

Kejayaan Masa Skolastik
Seperti sudah sedikit dibahas pada pengantar, ciri khas sejarah filsafat abad pertengahan ialah kentalnya usaha dalam penggabungan iman dan akal budi. Lebih dalam mengusahakan bagaimana iman mampu dipertanggungjawabkan secara logis, kritis, sistematis, dan rasional. Filsafat banyak digunakan untuk membantu menjelaskan teologi akan iman yang dihayati. Bahkan sampai muncul sebuah ungkapan yang sangat terkenal dalam bahasa Latin, yaitu Philosophia ancilla Teologiae.
Kekhasan penggabungan iman dan akal budi dalam filsafat abad pertengahan mencapai puncaknya pada masa skolastik, dengan tokohnya yang sangat terkenal sepanjang sejarah, dialah Thomas Aquinas. Kebesaran Thomas Aqunias membuatnya menjadi icon sejarah filsafat abad pertengahan. Artinya, jika berbicara mengenai filsafat abad pertengahan, tidak bisa dilepaskan dari sosok ini. Karena Thomas mampu membuat sebuah sintesis besar antara iman dan akal budi, dan akhirnya mampu menjelaskan iman yang terbaik. Semuanya terangkum dalam dua bukunya yang sangat terkenal Summa Teologiae dan Summa Contra Gentiles.
Awalnya, oleh otoritas saat ini, terjadi pelangarang untuk membaca dan mengajarkan karya-karya Aristoteles. Namun dengan diam-diam Thomas Aquinas membaca dan mempelajari karya-karya Aristoteles. Hingga pada akhirnya, dengan kecemerlangannya, Thomas Aquinas mampu membuktikan bahwa tidak semua ajaran Aristoteles bertentangan dengan teologi kristiani. Salah satunya konsep tentang Potentia dan Actus. Aquinas malah memakainya dalam usaha membuktikan keberadaan Tuhan, yaitu bahwa Tuhan adalah penggerak utama yang tidak digerakkan. Pembuaktian tersebut lebih sering dikenal sebagai lima jalan pembuktian keberadaan Tuhan. Lebih lanjut, tidak mengelakan lagi sebagai konsekuensi logisnya, muncul pula konsep-konsep besar di dalamnya. Sebagai contoh seperti konsep keilahian, ketuhanan, kemanusiaan, dan masih banyak lagi. Konsep-konsep seperti inilah yang akan ''digoyang'' oleh William Ockham, dan akan kita lihat lebih lanjut nanti. Dengan demikian semakin nyatalah kejayaan masa skolastik dengan Thomas Aquinas sebagai iconnya.
Masa skolastik dalam sejarah filsafat abad pertengahan ditandai dengan mulai munculnya banyak universitas. Sebuah tempat dimana semua bidang ilmu masuk di dalamnya dan dipelajari. Sekolah-sekolah jaman skolastik mempunyai ciri khas metode lectio dan disputatio dalam pengajarannya. Singkatnya lectio berarti kegiatan membaca untuk memahami sebuah teks. Kemudia disputatio berati sebuah proses dialektika yang terjadi dalam pelajaran, yaitu di mana salah seorang mengungkapkan pengetahuannya dan ditanggapi oleh peserta lainnya.

Pisau Cukur Ockham (Ockham's Razor) sebagai Penggoyang
Konsep yang paling terkenal dari metode pisau cukur Ockham ini adalah "entities should are not be multiplied beyound necessity or Don't multiply entities beyond necessity". Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti bahwa entitas tidak boleh diperbanyak melebihi kebutuhan. Intinya ingin mengatakan bahwa dalam menganalisis segala sesuatu gunakanlah prinsip yang paling sederhana dan mampu menjelaskannya dengan lengkap.
Pisau cukur Ockham sering juga disebut sebagai prinsip parsimoni. Sebuah metode yang lebih mengarahkan ke arah kesederhanaan dalam membangun teori-teorinya. Prinsip kesederhanaan sangat sentral dalam tema filsafat Ockham. Ockham menggunakan metode pisau cukurnya untuk membuang hipotesis-hipotesis yang tidak pasti (unnecessity). Sejalan dengan makna yang terkandung dalam fungsi sebuah pisau cukur, yaitu menyederhanakan, memotong bagian-bagian sehingga menjadi sederhana.
Hal tersebut secara langsung juga menunjukkan bahwa Ockham seorang nominalis. Ockham berargumen bahwa "yang universal tidak mempunyai eksistensi di luar pikiran, universal hanyalah sebuah nama yang orang gunakan untuk mengarahkan pada kelompok dari individu atau bagian dari individu". Ockham berpendapat bahwa kita tidak membutuhkan segala sesuatu yang universal untuk menjelaskan segala sesuatu.
Lebih jelas, bisa kita terjemahkan Ockham ingin mengatakan kita tidak perlu membicarakan sesuatu yang necessity jika kita tidak mampu menjelaskannya. Sekali lagi karena memang sesuatu yang unversal itu tidak ada, yang ada hanya individu. Sebagai contoh misalnya konsep humanity yang terkandung dalam manusia. Jika mendengar konsep tersebut, ia pasti akan mengatakan bahwa itu hanya ada dalam pikiran manusia, yang nyata hanyalah masing-masing individu.
Dengan demikian bukanlah humanity yang ada, melainkan misalnya Kristo sebagai individu. Akhirnya di situlah letak bahwa metode pisau cukur, ia gunakan untuk memotong segala sesuatu yang universal menjadi sederhana.

1 komentar:

  1. In the case of universal entities, Ockham's nominalism is not based on his Razor, his principle of parsimony. That is, Ockham does not hold merely that there is no good reason for affirming universals, so that we should refrain from doing so in the absence of further evidence...(http://plato.stanford.edu/entries/ockham/#4.1)

    BalasHapus