Minggu, 14 November 2010

Ringkasan Buku Confessiones St. Agustinus Bab 9 (X) – 10 (XXX)



(Kristoforus Sri Ratulayn K.N / 1323009009)

Bab 9 (X-XIII) : Tentang Wafatnya Monika, Sampai Pada Wafatnya
Pada bab 9 ini tokoh yang menjadi sorotan adalah Monika. Monika menjadi tokoh utama dalam permenungan Agustinus. Pada bagian ini setiap tahapnya menceritakan aspek penting dari pribadi Monika. Monika ditampilkan sebagai sosok pribadi yang patuh, rendah hati, taat, dan tanpa pamrih.
Kemudian diceritakan bahwa Agustinus dan Monika tengah dalam perjalanan pulang menuju Tagaste, tempat asal mereka. Saat itu mereka sedang singgah untuk beristiraha di sebuah pelabuhan yang bernama Ostia. Di Ostia sempat terjadi dialog antara Agustinus dengan Monika. Agustinus dan Monika membicarakan tentang kehidupan kekal (Bab 9 X.24-25). Dalam dialog tersebut terungakap bahwa alam fisik, inderawi, dan bahasa sebenarnya tidak diperlukan lagi. Realitas yang sejati, kekal, sempurna, dan tidak berubah dari Allah sesungguhnya merupakan rumah sejati bagi jiwa manusia.
Dialog tentang keabadian itu semua merupakan sebuah rangkaian yang mengungkapkan kesediaan Monika untuk menghadapi kematiannya. Monika siap menghadapi kematian setelah semua yang ia mimpi-mimpikan terwujud, termasuk agar Agustinus dibaptis menjadi seorang Katolik. Kesadaran bahwa rumah abadi yang sesungguhnya ialah Allah membuat Monika melepaskan juga keinginan terakhirnya, yaitu dikubur bersama jasad suaminya di Afrika (9 XI.27). Sekali-lagi kesadaran Monika itu muncul karena menyadari bahwa rumah sebenarnya adalah di dalam Allah.
Akhirnya Monika pun meninggal. Agustinus berusaha sekuat tenaga untuk menahan agar air matanya tidak jatuh menetes namun, semuanya sulit untuk dibendung. Agustinus mencurahkan air matanya. Agustinus berdoa memohon pengampunan dosa untuk Monika. Selain itu, Agustinus juga meminta kepada para pembaca bukunya untuk mengingat orang tuanya dalam setiap doa. Cerita pada bab 9 ini berakhir dengan sebuah peringatan akan pengharapan untuk kembali dari pengembaraan hidup menuju rumah sejati, ke rumah Bapa.

Bab 10 (I-XXX) Keadaan Jiwa Agustinus Saat Menulis Buku Confessiones
Bab 10 diawali dengan permenungan akan keadaan jiwa Agustinus setelah menjadi soerang Kristen Katolik. Di dalamnya Agustinus mengungkapkan secara panjang lebar mengenai dirinya setelah dibaptis, melakukan perbandingan dengan hidupnya sebelum dibaptis. Tujuannya supaya orang Kristen pun ikut bersyukur dan berdoa bersamanya, karena Allah sungguh Agung.
Setelah merenungkan keadaan jiwanya, Agustinus pun terheran-terhan bagaimana ia bisa mengenal Allah? Bahwa sesungguhnya Allah bukan benda-benda materi. Dengan demikian untuk bisa mengenal-Nya perlu juga untuk melampaui sesuatu yang materi (10 VI.9). Agustinus berpandangan bahwa manusia mampu mengenal Allah melalui akal budinya (10 VI.10). Akal budi mampu menghantar manusia untuk berabstraksi lebid dalam daripada hanya sekedar sesuatu yang tampak (materi). Akal budi yang bagaimana? Agustinus berusaha naik untuk sampai pada fungsi ingatan.
Agustinus menjelaskan bahwa dalam ingatan terdapat banyak hal yang tersimpan disana. Menurut Agustinus, ingatan itu sendiri adalah sebuah wahana yang luas tempat banyak hal tersimpan dalam akal budi manusia. Agustinus mengatakan bahwa isi dari ingatan antara lain adalah gambaran dari benda-benda yang tertangkap oleh indera (10 VIII.13), pengalaman masa lalu (10 VIII.14), pengetahuan ilmiah (10 VIII.16) yang pada bagian ini terungkap juga bahwa belajar adalah proses menginga. Kemudian angka-angak juga termasuk isi dari ingatan, nafsu-nafsu jiwa seperti sukacita, kesedihan dan lain sebagainya.
Namun dalam macam-macam isi ingatan tersebut ada juga masalah di dalamnya. Salah satunya adalah mengenai ingatan dan kelupaan. Masalahnya demikian, bila aku ingat kelupaan, maka sekaligus tersedialah ingatan dan kelupaan, ingatan menjadi sarana aku ingat, kelupaan yang kuingat. Bagaimana seseorang bisa berkata bahwa ia lupa, jika dia lupa sebenarnya ia pernah ingat akan sesuatu yang dilupakannya tersebut. Logika di dalamnya sangat membuat kita bingung jika tidak berhati-hati dalam memahaminya.
Agustinus juga mengangkat pembicaraan tentang Allah dalam ingatan. Berusaha mengenali Allah melalui ingatan. Bagaimana manusia bisa tahu tentang Allah jika sebelumnya mereka tidak mengenal Allah. Hal itu lah yang ingin disampaikan oleh Agustinus melalui konsepnya tentang ingatan. Manusia pun harus melampaui ingatan untuk dapat menemukan Allah. Melampaui berarti mengatasi masalah-masalah yang muncul dari ingatan itu sendiri.
Tema perbincangan selanjutnya adalah mengenai ingatan dan hidup bahagia. Pertanyaannya adalah dari mana konsep hidup bahagia itu sendiri jika sebelumnya manusia belum mengenali hidup bahagia itu? Apakah kehidupan bahagia itu berada dalam ingatan? Karena memang manusia tidak akan mencintai hidup bahagia itu sendiri jika tidak kenal sebelumnya. Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa sesungguhnya sebelum dilahirkan manusia sudah mengenali konsep hidup bahagia itu sendiri.
Keinginan untuk hidup bahagia merupakan cita-cita setiap orang. Artinya terjadi keuniversalan keinginan untuk hidup bahagia. Dengan kata lain bisa kita simpulkan bahwa tujuan hidup manusia adalah menjadi bahagia. Lebih dalam, menurut Agustinus kebahagiaan itu ialah menikmati Allah. Bersukacita kepada-Nya, dari-Nya, karena-Nya. Kebahagiaan sejati hanya ada pada Allah.
Namun yang menjadi permasalahan adalah jika hidup bahagia ialah menikmati Allah berarti belum pastilah semua orang ingin bahagia. Pada kenyataannya Agustinus melihat masih banyak orang yang menolak Allah dalam hidup mereka. Tidak semua orang mau mengambil sukacita dari-Nya. Sesungguhnya sukacita terbit dari kebenaran dan kebenaran itu ialah Allah sendiri. Lantas mengapa manusia terkadang lebih tidak bersukacita karenanya, hal ini lah mengherankan bagi Agustinus.
Agustinus ternyata menemukan bahwa sesungguhnya manusia akan mencintai kebenaran jika kebenaran itu menampakkan cahayanya. Sedangkan akan membencinya jika kebenaran itu menudingnya. Intinya bagi manusia adalah mana yang menguntungkan dan mengenakkan itulah yang akan mereka pilih.
Akhirnya Agustinua sampai pada sebuah kesimpulan tentang ingatan. Agustinus menegaskan bahwa Allah benar-benar dalam ingatan. Namun tersimpannya Allah dalam ingatan tidak sama seperti tersimpannya gambaran benda-benda dalam ingatan. Lalu bagaimana Allah datang dalam ingatan? pertannyaan itu sungguh masih menjadi misteri juga bagi Agustinus. Dalam buku 10 ini ia tidak memberikan jawaban dengan pasti tentang pertanyaan itu.

Minggu, 03 Oktober 2010

Konsep Keselarasan / Harmoni Dalam Budaya Masyarakat Jawa


Kristoforus Sri Ratulayn K.N

I. Pendahuluan
Pada dasarnya setiap daerah memiliki kebudayaannya masing-masing dan unik. Lebih lanjut bahwa kebudayaan menjadi ciri khas dari sebuah daerah. Kebudayaan memang nyatanya adalah hasil dari pola hidup masyarakat tertentu yang diwariskan secara turun temurun. Sebagai sebuah warisan yang secara turun temurun diwariskan, maka tidak mengherankan hal setiap dilakukan dan dipikirkan seseorang cenderung dilatarbelakangi oleh budaya yang ada dalam masyarakat tempat ia tinggal. Misalnya, seorang mengadakan tirakatan karena memang sejak kecil di tempat daerah tinggalnya masyarakat selalu melakukan tirakatan pada saat-saat tertentu.
Melihat penjelasan di atas, bisa kita katakan bahwa budaya sungguh memegang peranan penting dalam dinamika hidup sebuah masyarakat. Dalam artian kemajuan atau malah kemunduran dalam berbagai segi hidup masyarakat sangat ditentukan oleh bagaimana budaya masyarakat tersebut. Masayarakat akan mengalami kemajuan jika budaya yang ada di dalamnya mengandung nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang luhur dan universal. Misalnya, nilai cinta kasih, keadilan, kepedulian terhadap sesama, dll. Sedangkan sebaliknya, masyarakat akan mengalami kemunduran atau kerusakan jika dalam budayanya tidak mengandung nilai-nilai kebaikan dan kebenaran secara universal.
Kebudayaan yang ada dalam sebuah masyarakat biasanya atau kebanyakan terungkap dalam simbol, cerita-cerita bijak, pepatah-pepatah, dan masih banyak lagi bentuknya. Sebagai contoh dalam masyarakat Jawa terdapat pepatah nasehat yang berbunyi Ing Karsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Sebuah nasehat yang intinya mengajarkan bagaimana seseorang hendaknya membangun sebuah keutamaan dalam setiap posisi dalam hidupnya. Melihat bentuk-bentuk budaya yang ada tersebut, kemudian memunculkan pertanyaan dalam diri saya. Sesungguhnya adakah sebuah konsep inti (nilai pusat) dalam sebuah kebudayaan? Konsep inti yang menjadi sumber atau nilai terdalam yang menjadi arah bagi setiap bentuk kebudayaan dalam sebuah masyarakat.
Akhirnya pencarian saya pusatkan pada masyarakat Jawa, yaitu tempat di mana saya hidup dan berkembang. Kemudian saya mendapatkan sebuah konsep metafisis yang kurang lebih layak disebut sebagai nilai dasar bagi setiap kebudayaan masyarakat Jawa. Konsep tersebut adalah tentang "keselarasan" atau "keharmonisan" dalam masyarakat Jawa.
Tulisan ini berjudul Konsep Keselarasan / Harmoni Dalam Budaya Masyarakat Jawa. Pada tulisan ini secara khusus saya akan mengulas apa itu konsep keselarasan dalam budaya masyarakat Jawa? Lalu mengapa konsep keselarasan menjadi sangat sentral dalam budaya masyarakat Jawa? dan bagaimana konsep keselarasan itu tertuang dalam praktek hidup sehari-hari masyarakat Jawa?. Saya memilih untuk mengamati konsep keselarasan karena memang inti dari kebudayaan dalam masyarakat Jawa (dalam hal metafisis) adalah keselarasan atau keharmonisan. Sedangkan mengapa lebih memilih mengamati budaya masyarakat Jawa adalah karena memang Jawa lah yang sungguh relevan dengan keberadaan diri saya sekarang ini.
Tulisan ini memfokuskan pencariannya akan konsep keselarasan atau keharmonisan dengan menganalisis dua nilai dasar yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa. Lebih dalam lagi karena dalam dua nilai itulah konsep tentang keselarasan termuat secara jelas dan gamblang. Pertama, nilai rukun. Masyarakat Jawa memegang teguh bahwa rukun merupakan sebuah kondisi untuk mempertahankan kondisi masyarakat yang harmonis, tentram, aman, dan tanpa perselisihan. Kedua, rasa hormat. Nilai ini berkaitan erat dalam hubungannya dengan orang lain, dengan kata lain mencakup relasi sosial. Lebih dalam bahwa dalam masyarakat Jawa terdapat sebuah hirarki yang membatasi mereka untuk bersikap kepada orang lain. Misalnya, hubungan antara orang tua-anak dan antar teman sebaya.
Dalam konteks Filsafat, konsep keselarasan atau keharmonisan lebih condong masuk ke dalam Filsafat Timur. Filsafat Timur isinya lebih menekankan pada ajaran mengenai jalan hidup, langsung berupa bentuk-bentuk praktis tuntunan hidup, dan tidak terlalu abstrak seperti dalam Filsafat Barat. Bentuk dari Filsafat Timur berupa cerita-cerita mitos, nasehat-nasehat, dan sering pula berhubungan dengan agama. Hal ini lah yang akan banyak kita temui dalam pembahasan konsep keselarasan.

II. Masyarakat Jawa
Pada bagian ini kita terlebih dahulu harus menyamakan persepsi tentang siapa masyarakat Jawa yang dimaksud dalam tulisan ini. Sebenarnya secara de facto yang disebut masyarakat Jawa adalah mereka yang hidup, besar, dan tinggal dipulau Jawa. Namun pendasaran ini kurang begitu tepat ketika melihat realitas bahwa orang Jakarta dan Jawa Barat kurang suka disebut orang Jawa. Maka pendasaran penentuan yang kita gunakan adalah berdasarkan bahasa. Dengan demikian masyarakat Jawa adalah mereka semua yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa dalam hidup sehari-hari. Masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa adalah sebagian besar di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur
III. Pergumulan terhadap Keselarasan / Harmoni Jawa
Konsep keselarasan atau keharmonisan sebenarnya tidak begitu nampak secara nyata dalam perilaku hidup sehari-hari masyarakat Jawa. Namun, prinsip keselarasan itu lebih pada konsep metafisis yang menjiwai seluruh dinamika masyarakat Jawa. Bagikan sebuah titik yang dari padanya menyinari segala proses dinamika atau tindakan masyarakat Jawa semua. Lebih dalam bisa kita katakan bahwa keselarasan merupakan inti dari seluruh budaya Jawa. Hal ini ditegaskan lebih ditegaskan oleh Mulder dalam bukunya Kebatinan Dan Hidup sehari-hari Orang Jawa bahwa cita-cita masyarakat Jawa pada hakekatnya adalah masyarakat yang harmonis (Mulder, 1983).
Bagi orang Jawa, keselarasan sosial atau keharmonisan merupakan sebuah rangkaian besar agar terjadinya kesejahteraan hidup bersama. Karena kesejahteraan terikat secara mutlak pada keselarasan sosial, antara sesama yang Ilahi, alam dan sesama manusia. Dengan demikian menjadi jelaslah peran penting dari keselarasan sosial.
Dalam memahami konsep keselarasan kita akan berangkat dari dua nilai yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa. Nilai-nilai tersebut adalah rukun dan rasa hormat. Kedua nilai inilah yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa dalam dinamika hidup sehari-hari. Lebih kontekstual lagi dengan tema keselarasan adalah bahwa dalam kedua nilai inilah konsep keselarasan dibahas dengan jelas. Menurut Geertz, prinsip rukun dan hormat dalam masyarakat Jawa merupakan kaidah dasar yang paling menentukan dalam pola hidup masyarakat Jawa.
Pertama, nilai rukun. Masyarakat Jawa memegang teguh bahwa rukun merupakan sebuah kondisi untuk mempertahankan kondisi masyarakat yang harmonis, tentram, aman, dan tanpa perselisihan. Masyarakat jawa berusaha sebisa mungkin menjaga kerukunan dalam lingkungannya. Berusaha bagaimana terjadinya keharmonisan dalam masyarakat luas. Perlu menjadi catatan penting bahwa individu dipandang tidak terlalu penting dalam kedudukan sosial. Individu harus selalu berusaha mementingkan sosial yang lebih luas dan bukan pribadinya sendiri. Setiap pribadi dituntu sikap untuk tidak mengacaukan keseimbangan sosial demi ambisi atau kepentingannya pribadi. Selain itu juga dituntutlah sebuah sikap yang sering disebut nrimo dalam setiap masyarakat Jawa. Dalam artian setiap individu harus punya sikap pasrah terhadap sebuah kekuatan yang lebih tinggi, menyadari bahwa hidupnya adalah bagian dari masyarakat luas (Mulder, 1983).
Kerukunan dengan alam dan lingkungan masyarakat oleh masyarakat Jawa dipandang mampu membawa ketenteraman, kenyamanan, dan kedamaian hidup. Inti prinsip kerukunan adalah tuntutan untuk mencegah segala kelakuan yang bisa menimbulkan konflik terbuka (Magnis, 1988). Dengan demikian akan mampu mewujudkan kesejahteraan bersama dalam dinamika hidup sehari-hari. Secara sederhana, indikator kerukunan adalah ketika semua pihak dalam kelompok berdamai satu sama lain.
Kedua, rasa hormat. Nilai ini berkaitan erat dalam hubungannya dengan orang lain, dengan kata lain mencakup relasi sosial. Lebih dalam, bahwa dalam masyarakat Jawa terdapat sebuah hirarki yang membatasi mereka untuk bersikap kepada orang lain. Prinsip hormat berhubungan erat dengan masyarakat yang teratur secara hirarkis. Misalnya, hubungan antara orang tua-anak dan antar teman sebaya. Dalam masyarakat Jawa hal tersebut telah terungkap jelas melalui bahasa yang mereka gunakan untuk menyebut atau berbicara dengan orang yang lebih tua.
Langkah pertama yang harus dilakukan oleh masyarakat Jawa dalam mengembangkan sikap hormat ini adalah mempunyai kesadaran akan kedudukan sosialnya. Masyarakat Jawa sejak dini telah menanamkan kesadaran akan kedudukan social ini kepada anak-anaknya. Penanaman kesadaran ini terungkap secara langsung dalam berberapa bentuk sikap, yaitu wedi, isin, dan sungkan. Sikap wedi yang berarti takut pertama-tama ditanamkan untuk orang-orang yang harus dihormati. Selanjutnya sikap isin berarti malu ádalah langkah pertama ke arah kepribadian Jawa yang matang (Magnis, 1988). Sikap isin ini berarti malu terhadap kesalahan, malu jika tidak menghormati orang yang pantas dihormati, dan sebagainya. Kemudian sikpa sungkan yang sebenarnya erat sekali dengan sikap malu, sungkan mempunyai makna yang lebih positif. Wedi, isin,dan sungkan merupakan sebuah sikap yang berkesinambungan yang mempunyai fungsi sosial untuk mendukung psikologis terhadap tuntutan-tuntutan prinsip hormat.
IV. Menggosip = Menjaga Keselarasan
Pembahasan bagian ini sedikit menampilkan sebuah fenomena yang menunjukkan bagaimana pelaksanaan prinsip keselarasan dalam masyarakat Jawa, yaitu menggosip. Sebuah fenomena yang dalam realitas hidup banyak mendapat sorotan negatif dari masyarakat luas. Karena menurut kebanyakan orang gosip dianggap sebagai sesuatu yang tidak jelas dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Tindakan menggosip hanya membentuk masyarakat menjadi manusia-manusia yang penuh kemunafikan. Menggosip adalah cerminan masyarakat yang tidak beradab.
Saya sengaja mengangkat fenomena ini agar masyarakat luas yang mengkritik gosippun melihat sisi lain dari fenomena budaya menggosip. Dengan kata lain mencoba menampilkan secara fenomenologi fenomena menggosip. Artinya memberi kesempatan budaya tersebut untuk menunjukkan alasan atau makna yang ada dibaliknya. Bagi masyarakat Jawa budaya menggosip sendiri ternyata punya maksud yang baik di baliknya.
Menggosip adalah tindakan membicarakan sesuatu di belakang sesuatu yang bersangkutan tersebut. Biasanya memang sesuatu itu sendiri adalah orang lain. Jadi membicarakan orang lain di belakang orang yang bersangkutan. Menggosip dilakukan biasanya ketika ada sesuatu yang tidak beres dalam masyarakat itu sendiri. Misalnya, menggosipkan tetangganya yang kemungkinan mempunyai istri simpanan.
Bagi masyarakat Jawa, secara lugas bisa dikatakan bahwa menggosip adalah usaha mereka untuk menjaga keselarasan atau keharmonisan. Misalnya menggosip ketika tetangganya mempunyai istri simpanan. Mereka menggosip karena merasa resah, kawatir, dan tidak nyaman dengan apa yang dilakukan tetangganya tersebut. Karena mereka melihat apa yang tetangganya tersenut lakukan bertentangan dengan apa yang menjadi ketetapan dihadapan Allah mereka. Mereka merasa takut apa yang tetangganya lakukan itu berdampak pada diri mereka sendiri.
Masyarakat Jawa menganggap sesuatu yang dilakukan tetangganya tersebut telah melanggar keselarasan atau keharmonisan. Akhirnya muncul sebuah keresahan di dalam batinnya. Keresahan itu akhirnya terungkap dengan menggosip dengan tetangga lainnya yang merasa resah juga dengan perbuatan tetangganya tersebut. Mengapa harus dengan menggosip? Sekali lagi itu juga upaya mereka menjaga keselarasan, karena mereka tidak ingin menimbulkan konflik jika mereka mengungkapkan keresahan mereka secara langsung. Dalam pemahaman mereka ketika keresahan mereka diungkapkan secara langsung, hal tersebut akan sangat rawan memicu munculnya konflik. Konflik terjadi apabila orang tersebut tidak terima dengan apa yang mereka ungkapkan.
Kemudian ketika apa yang mereka gosipkan menjadi kenyataan, yaitu bila terjadi bencana terhadap tetangganya yang melanggar keharmonisan hal itu akan semakin menguatkan anggapan mereka. Menguatkan bahwa apa yang tetangganya alami adalah akibat dari perbuatan tetangganya yang melanggar keselarasan kosmos. Mereka akan berkata “ya benarkan? Itulah akibat dari perbuatannya”.
Pada akhirnya bisa kita tegaskan kembali menggosip sebagai wujud masyarakat Jawa dalam menjaga keselarasan dengan dunia. Mereka resah jika ada sesuatu yang tidak beres dalam masyarakat. Lebih lanjut karena memang kehidupan masyarakat Jawa erat kaitannya dengan hubungan sosial dengan sesama dan dengan yang kosmik atau kekuatan di luar diri mereka.
V. Tanggapan Kritis atas Konsep Keselarasan
Layaknya segala hal di muka bumi ini yang selalu mengandung sisi positif dan sisi negatif. Begitu pula dengan konsep keselarasan yang sekilas nampaknya indah dan baik itupun tidak bisa lepas juga dari sisi-sisi negatif di dalamnnya. Berikut ini saya mencoba untuk menampilkan beberapa dampak negatif yang muncul dari konsep keselarasan:
Pertama, konsep keselarasan yang ada dalam masyarakat Jawa membentuk masyarakat Jawa menjadi manusia-manusia konformis. Konformis maksudnya orang lebih cenderung bersikap pasif terhadap keadaan yang sebenarnya tidak ia kehendaki. Orang konformis selalu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan keadaan namun dengan selalu kehilangan jatidirinya. Dengan begitu jelaslah konformis pun berbeda dengan adaptasi. Adaptasi adalah proses menyesuaikan diri dari seseorang namun dengan tetap mempunyai prinsip dalam diri yang tidak bisa dikurbankan dalam proses penyesuaiannya.
Seseorang hanya pasrah terhadap keadaan yang menimpanya. Akhirnya orang tidak lagi mampu menjadi dirinya sendiri yang otentik karena selalu menjadi penjilat. Konformis sebagai dampak keselarasan dalam masyarakat Jawa bisa dipertegas lagi dengan mengambil sebuah contoh. Misalnya, karena masyarakat Jawa begitu kuat memperjuangkan sikap untuk mejaga keselarasan akhirnya mereka cenderung untuk menghindari konflik. Orang Jawa kurang berani menegur atau melakukan konfrontasi secara langsung ketika terjadi ketika sesamanya bersalah. Mereka cenderung hanya memendam dan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa ketika dihadapan sesamanya yang bersalah. Itulah sifat konformis sebagai dampak dari menjunjung keselarasan.
Kedua, sebenarnya hanya merupakan lanjutan dari sikap konformis, yaitu membentuk masyarakat yang penuh kemunafikan. Secara lugas argumen mengenai dampak kedua ini adalah karena selalu menjaga keselarasan dan keharmonisan membuat orang Jawa cenderung menghindari konflik. Akhirnya seseorang cenderung menyimpannya dalam batin tanpa pernah mengungkapkan secara langsung kepada orang bersangkutan. Seoalah-olah dihadapan orang yang bersangkutan semua baik-baik saja. Cara satu-satunya yang akhirnya muncul juga dalam rangka menjaga keseklarasan adalah melakukan gosip atau ngrasani dengan orang yang lebih dekat dengan mereka, biasanya tetangga sekitar rumah mereka sendiri. Dengan demikian orang Jawa menjadi penuh dengan kemunafikaan dan bermental penjilat.
Ketiga, Konsep keselarasan lebih banyak bertentangan dengan hukum positif dan upaya bisnis masyarakat Jawa itu sendiri. Secara umum, bagi masyarakat Jawa prinsip keselarasan kedudukannya mampu mengalahkan hukum positif atau hukum yang dibuat oleh manusia. Hal tersebut bisa dimaklumi karena memang seperti yang telah kita bahas di atas bahwa keselarasan. Namun memang kritik ini kurang begitu relevan ketika kita melihat realitas masyarakat Jawa saat ini. Masyarakat Jawa saat ini sudah sungguh menyadari pentingnya hukum positif yang mengatur nilai-nilai moral yang ada di dalamnya. Namun masyarakat Jawa pada dasarnya tidak boleh menghiraukan prinsip keselarasan.
Kritik selanjutnya terhadap prinsip keselarasan yang dijunjung masyarakat Jawa adalah kedilemaan ketika berhadapan dengan pola bisnis. Dalam artian, kita semua mengetahui bahwa bisnis berorientasi pada keuntungan / laba / profit. Lebih lanjut bahwa terkadang dalam bisnis terjadi persaingan sengit antara satu dengan yang lain. Hal-hal tersebut jelaslah bertentangan dengan prinsip keselarasan dalam masyarakat Jawa dalam dinamika hidup bersama. Konsep keselarasan masyarakat Jawa yang lebih cenderung mengedepankan terciptanya ketenteraman dan jauh dari keinginan untuk melakukan persaingan. Karena persaingan sendiri mulai mengarah kepada sebuah perselisihan dan itu lah yang harus dihindari menurut prinsip keselarasan.

VI. Pustaka
Greetz, H. The Javanese Family. A Study of Kindship and Sicialization, The Free press of Glencoe.
Mulder, N. Kebatinan Dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta: Gramedia. 1983.
Suseno, F.M. Etika Jawa Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup

Teori Pendidikan: Teori Pengembangan Konstruktivisme Sosial Lev Vygotsky (1896-1934)

(Kristoforus Sri Ratulayn K.N / 1323009009)

I. Pendahuluan
Pendidikan pada zaman ini memegang peran yang sentral dalam hidup manusia. Karena dengan pendidikan, dalam hal ini pendidikan formal, mampu membantu seseorang untuk dengan mudah memperoleh pengetahuan yang logis dan sistematis. Dengan melihat betapa penting dan sentralnya pendidikan dalam rangka mendidik anak-anak bangsa, maka perlulah untuk menyambut dengan penuh penghargaan bagi mereka yang telah dengan rela memfokuskan perhatian kepadanya. Perlu juga untuk mengusahakan bagimana metode pendidikan yang sesuai dan efektif bagi pengembangan kognitif anak.
Filsafat pendidikan adalah sebuah cabang dalam filsafat secara umum. Filsafat pendidikan memberikan pendasaran bahwa kata pendidikan / education, menurut bahasa aslinya, Latin, Educere mempunyai makna membantu untuk mengembangkan, memajukan, dan atau menumbuhkan. Filsafat pendidikan memaknai bahwa pengetahuan adalah sebuah keadaan ketika seseorang mampu menciptakan model dalam pikirannya tentang objek yang telah dilihatnya. Maka ketika objek itu telah tidak ada dihadapannya sekalipun orang tersebut masih mempunyai konsep model benda tersebut dalam pikirannya.
Dalam mata kuliah filsafat pendidikan dijabarkan pendasaran mengenai yang Paper ini berjudul Teori Pendidikan: Teori Pengembangan Konstruktivisme Sosial Lev Vygotsky (1896-1934). Masalah utama yang akan dibahas dalam paper ini adalah melihat atau melakukan sebuah pengkajian bagaimana ketika teori Pengembangan Konstruktivisme Sosial Vygotsky dilihat dengan kacamata filsafat pendidikan mengenai Pendidikan dan Budaya (Education and Culture). Sehingga mungkin ditemukan kesamaan antara keduanya. Tujuannya adalah untuk mencoba bercermin dan memberikan masukan secara tepat dalam menangani pendidikan anak.
Dalam pembahasan ini terdiri dari beberapa pokok bagian pembahasan. Pertama, kita akan melihat secara menyeluruh tentang teori pengembangan konstruktivisme sosial Vygotsky. Secara definitif, teori Vygotsky merupakan bagian atau cabang dari teori besar konstruktivisme. Pembahasan teori Vygotsky lebih berpusat pada argumen bahwa relasi sosial dengan masyarakat dan budayalah yang membentuk pengetahuan seorang.
Kedua, kita akan melakukan analisis teori pengembangan konstruktivisme social Vygotsky dalam terang filsafat pendidikan. Apakah teori Vygotsky mempunyai kesamaan atau sejalan dengan teori yang ada di dalam filsafat pendidikan?
Akhirnya dalam kesimpulan nanti kita bisa dapatkan sebuah teori Vygotsky ternyata sejalan dengan apa yang ada dalam filsafat pendidikan. Artinya dalam teori Vygotsky pun terdapat beberapa hal yang juga menjadi unsur dalam teori filsafat pendidikan. Misalnya bahwa seorang guru bukanlah seorang yang mahatahu, melainkan dari dialog dan interaksi keduanya lah yang lebih penting untuk terjadi.

II. Latar Belakang Singkat Teori Lev Vygotsky (1896-1934)
Lev Vygotsky adalah seorang psikolog yang berasal dari Rusia, dan hidup pada masa revolusi Rusia. Vygotsky sering juga dihubungkan dengan psikolog Swiss bernama Piaget. Lahir pada masa yang sama dengan Piaget, seorang psikolog yang juga mempunyai keyakinan bahwa keaktifan anaklah yang membangun pengetahuan mereka. Vygotsky meninggal dalam usia yang cukup muda, yaitu ketika masih berusia tigapuluh tujuh tahun.
Antara Vygotsky dan Piaget terdapat persamaan yang mendasar dari teori yang mereka kemukakan. Teori mereka berdua masing-masing merupakan dua cabang dalam teori Konstruktivisme psikologis. Konstruktivisme secara singkat adalah mempunyai argumen bahwa pengetahuan merupakan konstrkusi dari seseorang yang mengenal sesuatu. “Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian/pengetahuan secara aktif dan terus-menerus” . Hanya saja yang membedakan dari keduanya adalah Piaget lebih memfokuskan perhatian teorinya pada sudut pandang personal, individu, dan subjektif. Sedangkan Vygotsky lebih pada sosial (socioculturalism).

III. Inti Teori Vygotsky
Seperti sudah sedikit dibahas dalam penjelasan sebelumnya, bahwa Vygotsky lebih menekankan pada peran aspek sosial dalam pengembangan intelektual atau cognitif anak. Vygotsky memandang bahwa cognitif anak berkembang melalui interaksi sosial. Anak mengalami interaksi dengan orang yang lebih tahu.
Secara singkat, Teori Pengembangan Sosial berpendapat bahwa interaksi sosial dengan budaya mendahului. Maksudnya dari relasi dengan budaya membuat seorang anak mengalami kesadaran dan perkembangan kognisi. Jadi intinya Vygotsky memusatkan perhatiannya pada hubungan dialektik antara individu dan masyarakat dalam pembentukan pengetahuan. Pengetahuan terbentuk sebagai akibat dari interaksi sosial dan budaya seorang anak.
Pengetahuan tersebut terbagi lagi menjadi dua bentuk, yaitu pengetahuan spontan dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan spontan mempunyai sifat lebih kuran teridentifikasi secara jelas dan tidak logis dan sistematis. Sedangkan pengetahuan ilmiah sebuah pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal dan sifatnya lebih luas, logis dan sistematis. Kemudian proses belajar adalah sebuah perkembangan dari pengertian spontan menuju pengertian yang lebih ilmiah.
Pengetahuan ilmiah terbentuk dari sebuah proses relasi anak dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini bergantung pada seberapa besar kemampuan anak dalam menangkap model yang lebih ilmiah. Dalam proses ini bahasa memegang peranan yang sangat penting. Bahasa sebagai alat berkomunikasi yang membantu anak dalam menyampaikan pemikirannya dengan orang lain. Dengan demikian diperlukan sebuah penyatuan antara pemikiran dan bahasa.
Seorang anak dalam masa pembelajarannya, idealnya harus mampu memvisulisasikan apa yang menjadi pemikirannya dalam bahasa. Ketika hal tersebut telah mampu terwujud itu berarti ia juga telah mampu menginternalisasikan pembicaraan mereka yang egosentris dalam bentuk berbicara-sendiri. Menurut Vygotsky seorang anak yang mampu melakukan pembicaraan pribadi lebih berpeluang untuk lebih baik dalam hubungan sosial. Karena pembicaraan pribadi adalah sebuah langkah awal bagi seorang anak untuk lebih mampu berkomunikasi secara sosial. Bahasa adalah sebuah bentuk awal yang berbasis sosial. Pandangan Vygotsky ini berkonfrontasi dengan Piaget yang lebih menekankan pada percakapan anak yang bersifat egosentris.
Unsur selanjutnya yang perlu untuk dibahas lebih lanjut adalah mengenai kebudayaan dan masyarakat. Seperti sudah dikatakan pada awal penjelasan tadi, dalam teori Vygotsky, kebudayaan adalah penentu utama perkembangan individu. Kebudayaan sendiri terdiri dari beberapa bentuk, seperti bahasa, agama, mata pencaharian, dan lainnya.
Dengan demikian, bisa sedikit kita simpulkan bahwa dalam teori Vygotsky berisikan tiga klaim besar. Pertama, bahwa kemampuan kognitif seorang anak mampu mengetahui hanya jika ia analisa dan penafsirannya. Kedua, dikatakan bahwa kemampuan kognitif didapat dengan bantuan kata, bahasa, dan bentuk percakapan. Sebuah bentuk alat dalam psikologi yang membantu seseorang untuk mentransformasi kegiatan mental. Vygotsky berargumen bahwa sejak kecil seorang anak mulai menggunakan bahasa untuk merencanakan setiap aktivitasnya dan mengatasi masalahnya. Ketiga, kemampuan kognitif berasal dari hubungan-hubungan sosial ditempelkan pada latar belakang sosiokultural.

III. The Zone of Proximal Development (ZPD)
“Vygotsky’s term for the range of tasks that are too difficult for children to master alone but that can be mastered with guidance and assistance from adults or more-skilled children”
Salah satu konsep mendasar yang ada dalam teori Vygosky adalah sebuah penjelasan mengenai relasi antara pembelajaran dan perkembangan, yang sering disebut dengan Zone of Proximal Development (ZPD). Kutipan di awal paragraf mungkin bisa membuat kita mampu langsung menangkap apa yang dimaksud dengan zone of proximal development. Secara singkat konsep ini merupakan sebuah wilayah tempat bertemunya pengetahuan spontan anak dengan pengetahuan ilmiah seseorang yang lebih dewasa.
Pengetahuan spontan anak yang bertemu dengan pengetahuan ilmiah orang dewasa akan menghasilkan perkembangan bagi pengetahuan spontan anak.

IV. The More Knowledgeable Other (MKO)
Istilah ini jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Orang Lain yang lebih tahu. Dari situ kita bisa langsung sedikit menangkap sebuah penjelasan yang terdapat di dalamnya. MKO mengacu kepada siapa saja yang mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dari pelajar, dalam hal ini bisa guru, teman sebaya, atau bahkan computer.
Seorang pelajar perlu berintarksi dengan orang yang mempunyai pengetahun lebih dari dirinya. Karena hal tersebut akan lebih memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan sosial kognitif pelajar tersebut. Sekali lagi, bagi Vygotsky faktor interaksi sosial dengan sesuatu yang lebih kompeten di luar diri menjadi kunci perkembangan kognitif anak.

V. Aplikasi dan Implikasi Teori dalam Pendidikan
Agar pembahasan kita tentang teori Vygotsky lebih mendarat dan langsung terasa bagi usaha pengembangan kognitif. Banyak usaha konkret yang bisa kita lakukan dalam mengaplikasikan teori tersebut, misalnya:
1. Teori Vygotsky menuntut pada penekanan interaksi antara peserta didik dan tugas-tugas belajar. Mengedepankan suatu proses belajar dimana siswa lebih berperan aktif. Dengan demikian peran guru lebih bergeser lebih menjadi fasilitator konstruksi siswa
2. Menggunakan zone of proximal development. Dengan penyesuaian terus menerus
3. banyak menggunakan teman sebaya sebagai guru. Artinya bahwa memang bukan hanya orang dewasa yang mampu membantu seorang anak dalam perkembangan kognitifnya. Karena faktanya memang bahasa teman sebaya lebih mudah untuk dipahami dalam interaksinya

VI. Analisis : Filsafat Pendidikan
Analisis awal adalah langsung membandingkan inti teori Vygotsky. Hal pertama yang menjadi sorotan kita adalah tentang argumen bahwa interaksi sosial dan budaya lebih berperan dalam pengembangan kognitif anak. Inti penekanan teori Vygotsky adalah bahwa interaksi sosial dengan sesuatu di luar dirinya yang membuat kognitif anak berkembang. Dengan demikian, zone proximal development anak semakin meningkat.
Teori Vygotsky tentang bahasa sebagai alat untuk seseorang dalam mengembangkan kognitif mengalami keselarasan dengan pandangandalam filsafat pendidikan. Dalam filsafat pendidikan pun beranggapan bahwa manusia membutuhkan pendidikan untuk bertahan. Manusia membutuhkan bahasa untuk mampu mendapatkan pengetahuan ia mempelajari bahasa yang berfungsi sebagai alat transformasi pengetahuan tersebut. Lebih dalam bahwa proses transfer ilmu mampu terjadi dengan menggunakan bahasa sebagai sarananya.
Budaya dalam filsafat pendidikan mempunyai dua unsur, yaitu spiritual dan material. Spiritual terdiri dari bahasa, seni, dan agama. Sedangkan unsur material terdiri dari factor genetic, geografis, dan ekonomi. Jika kembali menengok teori Vygotsky, dalam teori tersebut juga dikatakan bahwa bahasa mempunyai peran penting bagi perkembangan anak. Karena bahasa adala sebuah bentuk awal untuk berinteraksi sosial.
Kemudian dalam teori Vygotsky terdapat pula beberapa unsur yang menjadi agen perubahan. Artinya seorang anak perlu mendapat bimbingan dari orang lain yang mempunyai pengetahuan yang lebih dari dirinya. Proses pendampingan secara dialektika membantu meningkatkan perkembangan kognitif anak. Pengetahuan anak yang awalnya masih dalam bentuk spontan, berubah menjadi semakin tertata, sistematis dan logis.
Teori Vygotsky di atas juga mengalami keselarasan dengan teori dalam filsafat pendidikan. Dalam filsafat pendidikan kita bisa menemukan beberapa konsep tentang agen-agen perubahan untuk membantu anak mengembangkan kognitifnya. Agen-agen perubahan dalam filsafat pendidikan adalah keluarga dan negara. Agen-agen perubahan seolah-olah menjadi tombak dalam usaha mengembangkan kongnitif atau intelektual. Peran mereka sangat sentral dalam membantu anak mengolah pengetahuan spontan mereka menjadi pengetahuan yang lebih tertata, sistematis, dan logis.

VII. Kesimpulan
Pada initinya kita bisa menyimpulkan bahwa dalam teori Vygotsky sedikit banyak telah mengandung banyak unsur yang terdapat dalam filsafat pendidikan, khususnya pokok bahasan pendidikan dan budaya. Jika dalam teori Vygotsky anak perlu berinteraksi dengan budaya. Maka dalam filsafat pendidikan pun dapat kita temukan bahwa bahasa, sebagai hasil budaya juga menjadi sangat sentral bagi berkembangnya kognitif. Bagaimana tidak, bahasa menjadi alat transfer ilmu.
Bererapa konsep dalam filsafat pendidikan juga selaras dengan teori pengembangan kognitif Vygotsky. Filsafat pendidikan telah memberika pendasaran filosofis bagi teori-teori pengembangan intelektual.

William Ockham Sang "Penggoyang" Kejayaan Masa Skolastik


(Kristoforus Sri Ratulayn Kino Nara / 1323009009)


Usaha untuk mempersatukan iman dan akan budi merupakan sebuah hal yang khas dalam sejarah filsafat abad pertengahan. Usaha ini mencapai puncaknya dalam era kehidupan Thomas Aquinas atau lebih sering dikenal dengan Skolastik. Jika mau melihat lebih detail, sejarah filsafat abad pertengahan terbagi dalam beberapa jenis dan periode. Periode paling awal adalah masa patristik atu lebih dikenal dengan nama bapa-bapa bangsa. Selanjutnya masa pra-skolastik, Arab, Yahudi, Skolastik, Pasca Skolastik, dan Neo-skolastik.
Tulisan ini akan berfokus pada masa pasca skolastik, khususnya menyoroti salah satu tokoh yang ada di dalamnya. Tokoh yang akan kita amati adalah William Ockham. Kita akan melihat bagaimana William Ockham dengan teorinya pisau cukurnya turut berperan besar dalam masa ini, pasca skolastik. Lebih dalam ingin melihat bagaimana Ockham "mengoyang" kejayaan masa skolastik dengan metode filsafatnya.
Kemudian untuk susunan pembahasannya, pertama kita akan menguraikan tentang kejayaan masa skloastik, setelah itu baru melihat Ockham dengan metode pisau cukurnya menggoyang kejayaan masa skolastik tersebut. Sebelumnya pun perlu kita ketahui bahwa masa pasca skolastik adalah masa di mana terjadinya kemunduran dari masa skolastik. Kemunduran atas usaha besar penggabungan antara iman dan akal budi.

Kejayaan Masa Skolastik
Seperti sudah sedikit dibahas pada pengantar, ciri khas sejarah filsafat abad pertengahan ialah kentalnya usaha dalam penggabungan iman dan akal budi. Lebih dalam mengusahakan bagaimana iman mampu dipertanggungjawabkan secara logis, kritis, sistematis, dan rasional. Filsafat banyak digunakan untuk membantu menjelaskan teologi akan iman yang dihayati. Bahkan sampai muncul sebuah ungkapan yang sangat terkenal dalam bahasa Latin, yaitu Philosophia ancilla Teologiae.
Kekhasan penggabungan iman dan akal budi dalam filsafat abad pertengahan mencapai puncaknya pada masa skolastik, dengan tokohnya yang sangat terkenal sepanjang sejarah, dialah Thomas Aquinas. Kebesaran Thomas Aqunias membuatnya menjadi icon sejarah filsafat abad pertengahan. Artinya, jika berbicara mengenai filsafat abad pertengahan, tidak bisa dilepaskan dari sosok ini. Karena Thomas mampu membuat sebuah sintesis besar antara iman dan akal budi, dan akhirnya mampu menjelaskan iman yang terbaik. Semuanya terangkum dalam dua bukunya yang sangat terkenal Summa Teologiae dan Summa Contra Gentiles.
Awalnya, oleh otoritas saat ini, terjadi pelangarang untuk membaca dan mengajarkan karya-karya Aristoteles. Namun dengan diam-diam Thomas Aquinas membaca dan mempelajari karya-karya Aristoteles. Hingga pada akhirnya, dengan kecemerlangannya, Thomas Aquinas mampu membuktikan bahwa tidak semua ajaran Aristoteles bertentangan dengan teologi kristiani. Salah satunya konsep tentang Potentia dan Actus. Aquinas malah memakainya dalam usaha membuktikan keberadaan Tuhan, yaitu bahwa Tuhan adalah penggerak utama yang tidak digerakkan. Pembuaktian tersebut lebih sering dikenal sebagai lima jalan pembuktian keberadaan Tuhan. Lebih lanjut, tidak mengelakan lagi sebagai konsekuensi logisnya, muncul pula konsep-konsep besar di dalamnya. Sebagai contoh seperti konsep keilahian, ketuhanan, kemanusiaan, dan masih banyak lagi. Konsep-konsep seperti inilah yang akan ''digoyang'' oleh William Ockham, dan akan kita lihat lebih lanjut nanti. Dengan demikian semakin nyatalah kejayaan masa skolastik dengan Thomas Aquinas sebagai iconnya.
Masa skolastik dalam sejarah filsafat abad pertengahan ditandai dengan mulai munculnya banyak universitas. Sebuah tempat dimana semua bidang ilmu masuk di dalamnya dan dipelajari. Sekolah-sekolah jaman skolastik mempunyai ciri khas metode lectio dan disputatio dalam pengajarannya. Singkatnya lectio berarti kegiatan membaca untuk memahami sebuah teks. Kemudia disputatio berati sebuah proses dialektika yang terjadi dalam pelajaran, yaitu di mana salah seorang mengungkapkan pengetahuannya dan ditanggapi oleh peserta lainnya.

Pisau Cukur Ockham (Ockham's Razor) sebagai Penggoyang
Konsep yang paling terkenal dari metode pisau cukur Ockham ini adalah "entities should are not be multiplied beyound necessity or Don't multiply entities beyond necessity". Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti bahwa entitas tidak boleh diperbanyak melebihi kebutuhan. Intinya ingin mengatakan bahwa dalam menganalisis segala sesuatu gunakanlah prinsip yang paling sederhana dan mampu menjelaskannya dengan lengkap.
Pisau cukur Ockham sering juga disebut sebagai prinsip parsimoni. Sebuah metode yang lebih mengarahkan ke arah kesederhanaan dalam membangun teori-teorinya. Prinsip kesederhanaan sangat sentral dalam tema filsafat Ockham. Ockham menggunakan metode pisau cukurnya untuk membuang hipotesis-hipotesis yang tidak pasti (unnecessity). Sejalan dengan makna yang terkandung dalam fungsi sebuah pisau cukur, yaitu menyederhanakan, memotong bagian-bagian sehingga menjadi sederhana.
Hal tersebut secara langsung juga menunjukkan bahwa Ockham seorang nominalis. Ockham berargumen bahwa "yang universal tidak mempunyai eksistensi di luar pikiran, universal hanyalah sebuah nama yang orang gunakan untuk mengarahkan pada kelompok dari individu atau bagian dari individu". Ockham berpendapat bahwa kita tidak membutuhkan segala sesuatu yang universal untuk menjelaskan segala sesuatu.
Lebih jelas, bisa kita terjemahkan Ockham ingin mengatakan kita tidak perlu membicarakan sesuatu yang necessity jika kita tidak mampu menjelaskannya. Sekali lagi karena memang sesuatu yang unversal itu tidak ada, yang ada hanya individu. Sebagai contoh misalnya konsep humanity yang terkandung dalam manusia. Jika mendengar konsep tersebut, ia pasti akan mengatakan bahwa itu hanya ada dalam pikiran manusia, yang nyata hanyalah masing-masing individu.
Dengan demikian bukanlah humanity yang ada, melainkan misalnya Kristo sebagai individu. Akhirnya di situlah letak bahwa metode pisau cukur, ia gunakan untuk memotong segala sesuatu yang universal menjadi sederhana.

Keterikatan Manusia Terhadap Hukum Kodrat St. Thomas Aquinas


Kristoforus Sri Ratulayn K.N


Teori hukum kodrat merupakan sebuah konsep yang telah dirumusakan oleh St. Thomas Aquinas dalam ajarannya mengenai etika. Sebenarnya jika mau ditelusuri lebih jauh hukum kodrat sudah mulai ada sejak jaman Yunani Kuno dengan Aristoteles sebagai tokoh yang pertama mengajarkannya. Namun, pada masa Abad Pertengahan St. Thomas Aquinas mencoba merumuskan kembali konsep hukum kodrat tersebut.
Ajaran St. Thomas Aquinas mengenai etika sangat berpengaruh kuat sampai saat ini. Pengaruh itu terasa sangat kuat khususnya dalam agama Katolik. Ajaran Gereja Katolik mengenai etika banyak mendasarkan diri pada teori hukum kodrat St. Thomas Aquinas. Fenomena kuatnya pengaruh tersebutlah yang kiranya menarik untuk mendapat sorotan tersendiri. Sebenarnya sejah mana manusia terikat oleh teori etika hukum kodrat yang diajarkan oleh St. Thomas Aquinas?
Fenomena itu semakin menarik untuk dibahas ditengah dunia yang memang saat ini banyak disuarakan isu-isu mengenai kebebasan manusia sebagai seorang individu. Aura kebebasan yang dalam sejarahnya dimulai dari masa filsafat modern, yang sangat mengedepakan kebebasan individu. Manusia berusaha melepaskan diri dari kungkungan adat, agama, dan berbagai hal lain yang membelenggu mereka dalam berpikir dan mengekspresikan diri. Lantas bagaimana sebenarnya keterikatan manusia terhadap hukum kodrat?
Tulisan saya kali ini akan mencoba mengulas mengenai keterikatan manusia terhadap teori hukum kodrat St. Thomas Aquinas. Dengan kata lain mencoba melihat sebenarnya seberapa besar keterikatan manusia terhadap hukum kodrat. Saya ingin menjawab pertanyaan apakah hukum kodrat itu mengikat manusia secara mutlak dan universal? Lalu seberapa besar daya ikat itu sendiri? Kemudian apa akibat yang dialami manusia jika ia melanggar hukum kodrat?
Namun, sebelum menjawab pertannyaan-pertanyaan di atas tadi, saya akan menampilkan ulasan secara mendetail sebenarnya apa dan bagaimana teori hukum kodrat dari St. Thomas Aquinas. Karena dengan melihat teori hukum kodrat dari St. Thomas Aquinas, akan semakin memudahkan kita dalam membedah masalah keterikatan manusia terhadapnya. Bagian selanjutnya saya akan melakukan analisis fenomena-fenomena yang terjadi dalam diri manusia dalam terang teori hukum kodrat.

Hukum Kodrat St. Thomas Aquinas
Menurut St. Thomas Aquinas, definisi dari hukum itu sendiri adalah "pengaturan akal budi demi kepentingan umum yang dipermaklumkan oleh yang bertugas memelihara masyarakat". Sedangkan menurut pandangan tradisional, hukum kodrat adalah sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah, bersifat universal, dan mengalami keteraturan dengan hukum alam. Ditangan St. Thomas Aquinas, yang notabene adalah seorang filosof Kristiani, hukum kodrat dimaknai sebagai partisipasi aktif makhluk berakal budi dalam hukum abadi. Hukum abadi tersebut secara singkat adalah kebijaksanaan Allah sendiri sebagai asal-usul dan penentu kodrat ciptaaan.
Jika kita melihat definisi dari hukum kodarat yang adalah sebuah partisipasi aktif dari akal budi terhadap hukum abadi, maka kita pun perlu melihat terlebih dahulu apa hukum abadi itu sendiri. Hukum kodrat akan semakin mudah untuk kita pahami jika terlebih dahulu kita pun memahami apa itu hukum abadi. Hal ini adalah sebuah konsekuensi logis karena memang hukum kodrat itu sendiri bergantung pada hukum abadi.
St. Thomas Aquinas, dalam bukunya Summa Theologica quaesiones 91 yang diterjemahkan oleh Franz-Magnis mengatakan bahwa hukum abadi adalah sebagai berikut:
"... Sebagaimana kami katakan di atas, hukum itu tidak lain perintah akal budi praktis dari penguasa yang memerintah atas komunitas sempurna [negara]. Nah jelaslah, apabila dunia diperintah oleh penyelenggaraan Ilahi sebagaimana dinyatakan dalam bagian pertama, seluruh komunitas alam semesta diperintah oleh Akal Budi Ilahi. Oleh karena itu, pemerintahan segala hal dalam Allah, penguasa alam semesta, bersifat hukum. Karena pengertian Akal Budi Ilahi tidak berada di bawah [jangkauan] waktu, melainkan bersifat abadi, sesuai Amsal 8:23, maka kesimpulannya bahwa hukum semacam itu harus disebut abadi.
Pemakluman dilakukan secara lisan atau tertulis, dan hukum abadidipermaklumkan dengan dua cara itu karena baik Sabda Ilahi maupun penulisan Buku Kehidupan adalah abadi..."

Kutipan paragraf di atas telah dengan sangat jelas memaparkan apa yang St. Thomas Aquinas maksud dari hukum abadi. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa hukum abadi menurut St. Thomas Aquninas adalah Allah sendiri.
Teori hukum kodrat jika mau dijabarkan sebenarnya terdiri dari tiga bagian. Pertama, berpijak dari premis awal bahwa segala "sesuatu dalam alam mempunyai tujuan". Kemudian dalam konteksnya dengan manusia ditegaskan bahwa apakah dalam hidupnya manusia mendekati tujuan akhirnya atau malah menjauhinya. Tujuan akhir hidup manusia adalah kebahagiaan. Maka menurut St. Thomas Aquinas, dalam hal tujuan akhir ini Tuhan diperlukan untuk membuat gambaran ini menjadi lengkap. "Nilai dan tujuan, oleh karenanya, dikonsepkan sebgai dasar dari kodrat hal-hal itu karena dunia dipercaya sebgai ciptaan yang menuruti rencana ilahi".
Jika tujuan akhir hidup adalah kebahagiaan dan Tuhan sebagai Sang Pencipta alam yang mempunyai tujuan maka bisa disimpulkan bahwa kepenuhan kebahagiaan hanya terdapat dalam Tuhan. St. Thomas Aquinas menegaskan bahwa konsep kebahagiaan yang dimaksud Aristoteles masih merupakan kebahagiaan yang belum sempurna. Kebahagiaan yang sempurna ada pada di kehidupan setelah kematian, saat manusia kembali bersatu dengan Tuhan.
Berdasarkan penjelasan bahwa segala sesuatu mempunyai tujuan, maka perintah dasar moral hidup berdasarkan pada hukum kodrat adalah wajib bertindak ke arah yang baik dan menjauhi yang jahat. Sesudah orang mengerti dan memahami tentang mana yang baik dan mana yang buruk, ia harus selalu mengarahkan dirinya pada apa yang baik. Hukum kodrat membantu seseorang menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Kedua, hukum kodrat membuat konsep adanya dari sesuatu tercampur juga dengan bagaimana seharusnya. Dalam bahasa Inggris perbedaan ini menjadi lebih jelas antara are dan should be. Artinya hidup menurut hukum kodrat tidak lagi hanya sekedar apa adanya kaitanya dengan alam, melainkan sebagai sebuah keharusan alam. Keharusan dengan alam ini menyangkut seperti hukum fisika dan kimia, bahkan kecenderungan impuls seksual.
Ketiga, teori hukum kodrat mengarahkan pada pertannyaan tentang pengetahuan moral. Pertanyaan tersebut adalah bagaimana seseorang menentukan apa yang benar dan salah? Hukum kodrat menegaskan bahwa hal "yang benar untuk dilakukan adalah tindakan apa pun yang sesuai dengan pikiran yang paling rasional".
Dengan demikian bisa sedikit kita simpulkan bahwa hukum kodrat adalah partisipasi aktif akal budi dalam hukum abadi, Allah sendiri, sebagai penentu kodrat ciptaan-Nya. "Hidup sesuai dengan hukum kodrat berarti hidup sedemikian rupa hingga kecondongan-kecondongan kodrati mencapai tujuan khas masing-masing, tetapi dalam keselarasan menurut pengaturan akal budi".

Manusia Sebagai Subjek Hukum Kodrat
St. Thomas Aquinas melalui teori hukum kodratnya telah berhasil membangun sebuah etika yang bersifat umum dan universal. Karena memang yang ditekankan adalah tuntutan akal budi atau rasionalitas. Artinya, dalam menentukan setiap tindakannya, manusia harus mendasarkan atau menyertakan pada sebuah pemikiran akal budi (rasio). Manusia harus lepas dari hanya sekedar perasaan suka-tidak suka, enak-tidak enak, dan sebagainya.
Lebih lanjut dalam kaitannya hukum kodrat dengan manusia, St. Thomas Aquinas menjelaskan bahwa manusia adalah sebagai sarana yang tepat untuk meluruskan pemahaman yang benar tentang hakikat hukum. Dalam hukum kodrat sebenarnya ingin menampilkan juga bahwa hukum itu bersifat universal, sebab "hukum terbentuk dari akal budi (dalam arti perintah akal budi) yang dimiliki oleh setiap orang". Dari sini sudah mulai tampak daya ikat dari hukum kodrat terhadap manusia,yaitu sebuah konsekuensi logis karena hukum kodrat harus berdasarkan akal budi dan hanya manusialah yang mempunyai akal budi rasional.
Namun, yang menjadi masalah adalah bagimana jika terjadi sebuah fenomena penggunaan akal budi untuk merusak, misalnya membuat bom. Pada intinya pembuat bom tersebut juga menyertakan akal budi dalam perakitannya. Hukum kodrat juga tidak mampu melarangnya untuk tidak membuat bom. Kasus lain lagi mengenai menikah dan tidak menikah. Seseorang menikah sesuai dengan perkembangan organismenya. Namun ternyata dengan pertimbangan akal budinya, ia meyakini bahwa tidak menikah pun sebagai nilai yang baik. Lantas apakah ia pun melanggar hukum kodrat. Siapa yang akan memaksa seseorang wajib untuk menikah? toh nyatanya tidak ada. Apakah seseorang yang maju berperang demi membela negaranya dan akhirnya mati juga melanggar hukum kodrat? St. Thomas Aquinas tidak bisa memberikan kriteria yang kuat untuk itu semua.
Melihat kelemahan-kelemahan itu semua, tidak bisa juga kita mengatakan bahwa teori hukum kodrat St. Thomas Aquinas tidak memberikan sumbangan apapun. Teori hukum kodrat mampu memberikan sebuah masukan tentang keuniversalan etika yang didasarkan pada realitas dan bukan sekedar pemikiran sujektif dalam bertindak. Lebih lanjut, pada intinya hukum kodrat memang tidak mempunyai keketaatan mengikat yang kuat terhadap manusia.
Hukum kodrat hanya menjadi sebuah kriteria atau landasan dalam manusia bertindak yang baik. Dengan kata lain membantu manusia untuk menemukan dan mampu menentukan apa yang baik dan apa yang buruk. Hukum kodrat juga memberikan nasehat untuk selalu melakukan yan baik dan menjauhi yang buruk. Sedangkan dalam pelaksanaannya manusia tetap bebas untuk menentuka setiap tindakan dalam hidupnya sehari-hari. Keharusan untuk melakukan sebuah kebaikan sesungguhnya merupakan kewajiban yang diharuskan oleh diri manusia sendiri. Dengan kata lain daya ikat yang sesungguhnya ada dalam diri manusia.
Manusia dengan akal budinya bertanggung jawab dan diharuskan oleh dirinya sendiri untuk melakukan keutamaan-keutamaan dalam hidupnya. Misalnya, keutamaan untuk memperjuangkan keadilan, kesetiaan, kejujuran, cinta kasih, dan sebagainya. Bahkan ketika manusia malah melakukan tindakan yang buruk hukum kodrat tidak bisa berbuat apa-apa, melainkan hanya hukum positif atau hukum manusia yang berbicara. Hukum manusialah yang ahkirnya memberikan sangsi kepada orang tersebut. Hukum kodrat merupakan keharusan yang ada dalam diri manusia sendiri.

Sabtu, 29 Mei 2010

MELIHAT MANUSIA DALAM TERANG FILSAFAT ISLAM (IBN RUSYD)


BAB I
PENDAHULUAN


Perbincangan mengenai manusia sudah dimulai sejak jaman Yunani Kuno. Para pemikir jaman Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles sudah mulai memperbincangkan apa itu manusia? Manusia begitu komplek dan mencakup banyak dimensi di dalamnya.
Paper ini berjudul Melihat Manusia Dalam Terang Filsafat Islam (Ibn Rusyd). Inti pembahasannya adalah mengulas mengenai manusia menurut filsafat islam. Dengan kata lain, sebuah analisis teks mengenai konsep manusia menurut filsafat Islam. Saya memilih tema ini dengan alasan ingin semakin mengetahui dan mendalami bagaimana pendasaran filosofis Islam dalam memandang manusia. Hal ini menjadi semakin menarik untuk didalami ketika kita sedikit melihat relevansinya dengan fenomena terorisme yang banyak dilakukan oleh kaum muslim. Mereka melakukan pengeboman yang menewaskan banyak manusia.
Kemudian tokoh filsafat islam yang dipilih untuk mewakili gagasan tentang manusia tersebut adalah Ibn Rusyd (Averroes). Konsep tentang manusia yang akan dibahas pun langsung difokuskan pada konsep tubuh dan jiwa. Alasan memilih tokoh Ibn Rusyd untuk mewakili pandangan tentang manusia pun sebenarnya ingin juga untuk semakin mengenalkan tokoh ini kepada khalayak ramai. Karena selama ini, tokoh filsafat islam sangat didominasi dengan nama besar Ibn Sina (Avicenna). Jadi sekaligus memaparkan kekayaan intelektual yang ada dalam filsafat islam.
Pemilihan tokoh Ibn Rusyd ini pun kiranya sejalan dengan alasan pemilihan tema. Ibn Rusyd adalah sebuah model bagi keberanian berpikir. Ia berani untuk memberikan kritik terhadap otoritas dan kemapanan sebuah agama, jika memang agama dalam prakteknya mengabaikan kebenaran. Hal itu pulalah yang juga menginspirasikan banyak orang Eropa pada abad 13/14 melakukan kritik terhadap otoritas Gereja.
Paper ini terdiri dari empat bagian besar. Bagian pertama, termasuk pembahsan ini, adalah sebuah pendahuluan untuk melihat secara umum isi paper ini. Berisikan pembahasan-pembahasan yang sifatnya menghantar kita pada pembahasan utama paper ini. Kemudian pada bagian kedua kita akan melihat secara umum filsafat Islam, dan latar belakang hidup Ibn Rusyd. Selanjutnya, bagian tiga berisikan sebuah analisis teks tentang jiwa menurut Ibn Rusyd. Keempat, tubuh menurut Ibn Rusyd. Kelima, sedikit relevansi berdasar realitas negara Indonesia, khususnya tentang terorisme yang mengatasnamakan agama, sehingga menewaskan banyak orang. Bagian terakhir sebuah kesimpulan atas seluruh isi paper ini dan tanggapan kritis saya atas teori tubuh dan jiwa Ibn Rusyd.









BAB II
FILSAFAT ISLAM DAN
LATAR BELAKANG FILSAFAT IBN RUSYD

2.1 Filsafat Islam
Topik-topik yang dibahas dalam filsafat Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang menjadi topik filsafat barat (Eropa), khususnya pada masa Abad Pertengahan. Berikut sebuah kutipan penjelasan tentang topik-topik bahasan dalam filsafat Islam:
"Filsafat Islam meneliti problematika Yang Satu dan Yang-Banyak, menyelesaikan korelasi antara Allah dengan para makhluk-Nya, sebagai problematika yang menyulut perdebatan panjang di kalangan Mutakallimin. Filsafat Islam berupaya memadukan antara antara wahyu dengan akal, antara akaidah dengan hikmah, antara agama dengan filsafat dan berusaha menjelaskan kepada manusia bahwa wahyu tidak bertentangan dengan akal akaidah jika diterangi dengan sinar filsafat akan menetap di dalam jiwa dan akan kokoh di hadapan lawan, agama jika bersaudara dengan filsafat akan menjadi filosofis sebagaimana filsafat menjadi religius."
Membaca kutipan di atas kita bisa sedikit menyimpulkan bahwa topik-topik yang dibahas dalam filsafat Islam khas sekali dengan latar belakang filsafat Abad Pertengahan. Filsafat banyak digunakan untuk menjelaskan iman akan agama yang mereka anut. Para filsuf Islam menggunakan filsafat untuk memberikan pendasaran rasional untuk menjelaskan berbagai ajaran agama mereka, terutama yang terdapat dalam Al-Quran. Akhirnya tidak bisa di sangkali lagi, filsafat yang ada dalam filsafat Islma sifanya filsafat religius-spiritual.
Melihat sifat filsafatnya yang religius, namun bukan berarti filsafat Islam mengabaikan topik-topik besar yang ada dalam filsafat. Filsafat Islam juga mengulas tema tentang ada (ontologi), logika, epistemologi, moral, dan politik.
2.2 Hidup dan Karya Ibn Rush (Averroes)
Abdul Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd lahir di Cordova pada tahun 1126 (520 H) dari keluarga pengacara. Di Barat (Eropa) ia lebih dikenal dengan nama Averroes. Ayahnya adalah seorang hakim terkemuka.
Ibn Rusyd hidup pada masa yang disebut-sebut sebagai zaman keemasan islam. Pada masa ini agama islam sungguh penuh dengan pendasaran rasional akibat pengaruh dari filsafat. Penghayatan agama yang didasarkan oleh rasionalitas yang kritis, membuat agama islam mengalami perkembangan pesat. Salah satu buktinya adalah banyak lahir pemikir di dalamnya, yang juga turut mengembangkan aspek hidup lainnya.
Walaupun demikian, pada masa Ibn Rusyd hidup itu pula lah mulai banyak pihak, terutama para ulama konservatif yang mengecam adanya filsafat dalam agama islam. Ia pun banyak mendapatkan tekanan, karena filsafatnya dianggap sangat bertentangan dengan ajaran agama. Bahkan ia pernah dibuang oleh Khalifah Abu Yusuf, diasingkan ke Lucena.
Karya Ibn Rusyd lebih cenderung dan tampak dalam menterjemahkan teks-teks filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, terutama karya-karya Aristoteles. Bahkan Eropa mampu mengenal Aristoteles secara lebih luas adalah karena karya-karyanya. Ia membuat berbagai tulisan komentar tentang ilmu kesehatan dan astronomi yang ditulis oleh Aristoteles. Kemudian ia menulis juga tulisan komentar terhadap buku Republic dari Plato.
2.3 Latar Belakang Filsafat Ibn Rush
Filsafat Ibn Rusyd banyak mengacu pada ajaran-ajaran Aristoteles, khususnya dalam kaitannya dengan konsep "materi" dan "bentuk". Tema-tema yang menarik Ubn Rusyd adalah seperti pengetahuan Tuhan terhadap soal-soal juziat, tentang terjadinya alam maujudat dan perbuatannya, tentang kezaliman dan keabadian alam, dan tentang gerak dan keazaliannya, serta akal yang universal dan satu.
Sebuah sumber mengatakan bahwa Ibn Rusyd pernah berguru pada Ibnu Thufail. Bahkan seorang filsuf terkenal di Eropa bernama Musa Ibnu Maimun yang lebih dikenal dengan Ibn Rusyd (Mozes Maimonides) adalah murid dari Ibn Rusyd. Dalam pemikiran, Ibn Rusyd lebih banyak bertentangan dengan filsafat Al Ghazali. Hal tersebut dapat terlihat jelas dalam bukunya yang berjudul Tahafutul-tahafut.
Ibn Rusyd menjadi seorang pembela mati-matian filsafat Yunani Kuno yang ditolak oleh Al Ghazali. Ibn Rusyd mengatakan bahwa mereka yang menghakimi ahli-ahli filsafat, disebabkan karena mereka tidak memahami maksud para filsuf tersebut. Al Ghazali bermaksud menjaga kemurnian agama, sedangkan Ibn Rusyd bermaksud mengadakan sebuah perpaduan antara filsafat dan agama.


BAB III
JIWA MENURUT IBN RUSYD


3.1 Jiwa
Dualisme mengenal dua jenis being yang ada dalam diri manusia. Pertama adalah apa yang digerakkan (bendanya) dan apa yang menjadi penyebab penggerak benda tersebut. Dengan kata lain juga bisa kita definiskan sebagai sesuatu yang jasmani dan spiritual. Bagi Ibn Rusyd, unsur spiritual dalam diri manusia mempunyai kesatuan dan kesempurnaan yang lebih tinggi dari semua yang ada. Namun tetap yang materi pun mempunyai peran yang besar dalam proses rasio. Artinya dalam diri manusia bukan lagi terdapat dua substansi melainkan satu "materi" dan "bentuk" sebagai kesatuan dan mempunyai korelasi.
Ibn Rusyd dengan tegas mengatakan bahwa jiwa manusia berhubungan dengan tubuh, seperti Form dan Matter. Ia menolak argumen Ibn Sina yang mengatakan bahwa jiwa yang abadi sifatnya banyak. Lebih dalam menurut De Boer "The soul has an existence only as a completion of the body with which it is associated". Maksudnya kurang lebih bahwa jiwa mempunyai eksistensi hanya sebagai sebuah pelengkap dari tubuh, yang denganynya dipersatukan juga oleh jiwa.
Ibn Rusyd dalam tulisannya yang berjudl Fil Nafsi menegaskan bahwa antara nyawa (al-Ruh) dengan jiwa (al Nafis) merupakan dua realitas yang berbeda. Namun yang menarik adalah Ibn Rusyd bahwa ketika berbicara tentang ruh, Ibn Rusyd menggunakan ayat dalam Al Quran di dalam surat al-Isra ayat 85. Isinya kurang lebih mengatakan bahwa ruh itu urusan Tuhanku. Manusia tidak diberika ilmu sedikitpun tentang itu. Kutipan penjelasn di bawah ini bisa langsung menghantar kita untuk semakin jelas mengenali apa itu jiwa:
"Jiwa berbeda dengan nyawa, dan juga dengan akal. Jiwa itu suatu zat, dan bukan suatu tubuh. Jiwa adalah sesuatu yang membuat manusia menjadi manusia. Syailul lazi yashbahu bihil insanu insianan, artinya jiwa itu sesuatu yang hidup dan berilmu dan berkodrat."
Kutipan paragraf di atas seolah ingin menekankan bahwa kegiatan jiwa lebih pada seputar kegiatan berpikir. Hal tersebut yang kemudian membuat Ibn Rusyd mendeskripsikan jiwa sebagai suatu kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanis. Disebut alamiah dan mekanistik dengan tujuan ingin membedakan dengan kesempurnaan-kesempurnaan yang berasal dari perilaku dan emosi. Makna kesempurnaan ini pun ingin juga mengarahkan pada keberagaman dari bagian jiwa, seperti jiwa nutrisi, jiwa sensorik, jiwa khayalan, jiwa hasrat dan jiwa rasional. Definisi tersebut sebenarnya sudah dipakai oleh Aristoteles dalam mendeskripsikan jiwa.
Jiwa itu hakikatnya adalah satu. Ibn Rusyd sering menyebut kesatuan jiwa itu sebagai jiwa umum.
3.2 Akal Sebagai Wujud Jiwa
Menurut Ibn Rusyd wujud jiwa paling nyata tampak dalam akal yang dipunyai manusia. Akal manusia itu adalah satu dan universal. Lebih dalam "akal yang aktif" yang dimaksud bukan saja akal yang esa dan universal, melainkan juga menyangkut "akal kemungkinan" (reseptif). Akhirnya Poerwantana dalam bukunya menyimpulkan bahwa akal yang dimaksud Ibn Rusyd ini dianggap sebagai monopsikisme.
Akal kemungkinan lah yang membuat manusia sungguh menjadi individu ketika ia berhubungan dengan tubuh masing-masing manusia. Melihat sifat akal yang ada dalam individu tersebut sifatnya reseptif, resikonya bahwa ketika manusia meninggal, maka akal kemungkinan pun akan lenyap. Akal yang dimiliki seseorang sifatnya tidak abadi, yang abadi adalah akal yang esa dan universal, sesuatu yang menjadi sumber dan tempat kembalinya akal masing-masing manusia.
"...pengakuan Ibn Rusyd tentang akal yang bersatu dimaksudkan sebagai pengakuannya atas roh (jiwa) manusia yang bersatu, sebab akal adalah mahkota terpenting dari wujud roh (jiwa) manusia. Dengan kata lain, akal itu di sini hanyalah sebagai wujud rohani yang membedakan jiwa (roh) manusia atau mengutamakannya lebih dari jiwa (roh) hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah yang dimaksud dengan monopsikisme (bahan yang menjadikan segala jiwa). Maksud Ibn Rusyd roh universal itu adalah satu dan abadi (kekal)."
Penjelasan mengenai akal universal dan akal reseptif tidak bisa lantas membuat kita langsung menyimpulkan bahwa Ibn Rusyd menolak kehidupan setelah kematian. Dalam filsafatnya, Ibn Rusyd juga berbicara mengenai kebangkitan jasmani. Ibn Rusyd menyangkal apa yang dikatakan oleh Al Ghazali bahwa filsuf-filsuf mengingkari kebangkitan jasmani.




BAB IV
TUBUH MENURUT IBN RUSYD


Melihat latarbelakang filsafat Ibn Rusyd yang banyak mendasarkan diri pada pemikiran Aristoteles, hal itu juga terungkap dalam ajaran Ibn Rusyd dalam memandang tubuh. Berbeda dengan Plato yang menganggap bahwa tubuh hanya menjadi penjara bagi jiwa. Antara tubuh dan jiwa mempunyai sebuah korelasi. Korelasi tersebut secara jelas bisa terlihat dalam proses pengenalan rational.
Secara khusus, saya sulit untuk menemukan definisi Ibn Rusyd tentang apa itu tubuh? Ibn Rusyd lebih banyak menjabarkan tentang aktivitas jiwa yang berkorelasi dengan tubuh. Salah satu konsep yang akan kita jabarkan adalah panca indera. Karena di dalamnya kita bisa langsung menangkap bagaimana tubuh pun mempunyai peran dan berkorelasi dengan jiwa.
4.1 Panca Indera
Ibn Rusyd menjabarkan bahwa panca indera itu adalah indera pengelitahan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan terakhir peraba. Pengelihatan berfungsi menerima makna secara bebas dari akal potensial, yang bagaimanapun merupakan makna-makna yang bersifat individual. Daya pengelihatan mempersepsi dengan menggunakan perantara transparansi.
Pendengaran. Intinya bahwa dengan menggunakan penedengaran manusia mampu menangkap suara-suara yang muncul akibat benturan dari benda-benda keras. Udara yang bergerak akibat benturan dari benda keras sampai ketelinga. Udara tersebut kemudian menggerakkan udara yang ada dalam telinga sebagai bagian dari tubuh yang berfungsi sebagai alat pendengaran.
Ketiga indera Penciuman. Bagian dari fungsi tubuh yang berfungsi sebagai alat untuk menangkap bau. Indera ini membutuhkan air dan udara sebagai perantaranya. Seperti halnya Aristoteles, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa penciuman manusia lebih lemah daripada hewan.
Keempat, indera pengecapan (perasa). Sebuah daya untuk menangkap rasa sesuatu. Kerjanya dengan meletakkan objek di atasnya.
Kelima, indera peraba. Sebuah daya jiwa yang menggunakan tubuh untuk mengenali objek. Daya yang mengalami kesempurnaan karena berbagai hal yang diraba.
4.2 Kebangkitan Jasmani (Hidup Setelah Kematian)
Ibn Rusyd berpendapat bahwa tidaklah benar apa yang dikatakan oleh Al Ghazali bahwa para filsuf menolak kebangkitan jasmani. Pandangan Ibn Rusyd mengeai hidup setelah kematian ini banyak mendasarkan diri pada ajaran-ajaran agamanya. Bagi Ibn Rusyd keimanan mengenai kebangkitan jasmani merupakan sebuah keharusan.
Pendasaran untuk hal ini menyangkut ajaran agamanya mengenai amal dan keutamaan-keutamaan dari seseorang sepanjang masa hidupnya. Seseorang yang selama hidupnya mempunyai keutamaan dengan menjalankan ajaran-ajaran agama, salat,berkurban akan memperoleh balasan saat di akhirat nantinya. Dalam hal ini filsafat membantu seseorang untuk memberikan cara mencapai kebahagiaan kepada manusia yang berpikiran tinggi.


BAB IV
RELEVANSI TEORI

Manusia sebagai kesatuan tubuh dan jiwa menurut Ibn Rusyd bisa membantu kita dalam melihat realitas yang terjadi saat ini. Salah satu fenomena yang relevan adalah fenomena terorisme yang merenggut banyak nyawa manusia. Sebenarnya Ibn Rusyd sudah memberikan dasar yang baik (filosofis) dalam melihat manusia. Lantas mengapa terorisme dengan mudah meledakkan bom yang merenggut banyak nyawa. Sebuah kontradiksi memang.
Satu hal yang saya bisa temukan, hal tersebut terjadi karena para pelaku terorisme menginggalkan pendasaran rasional dalam melihat manusia, seperti yang dijabarkan Ibn Rusyd. Meninggalkan dan meniadakan filsafat dalam korelasi dengan agama. Akhirnya, Fundametalisme dalam agama lah yang membuat para pelaku terorisme melakukakannya. Terlalu harafiah dalam menghayati ajaran agamanya.
Pandangan sempit bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan dan harus mematuhi segala perintahNya yang ada dalam agamanya. Jika ada yang melanggarnya berarti menjadi sah untuk dihabisi nyawanya. Akhirnya meninggalkan apa yang dikatakan oleh Ibn Rusyd, bahwa harusnya sebagai manusia yang mempunyai jiwa mereka mampu berpikir dan kritis tentang kebenaran. Lantas kalau tidak berpikir apakah para pelaku masih bisa disebut manusia? Sungguh disayangkan, namun kiranya itulah yang terjadi dalam negara kita.



BAB V
KESIMPULAN


Akhirnya, kita dapat menyimpulkan beberapa hal dari analisis teks tentang tubuh dan jiwa menurut Ibn Rusyd. Pertama, bahwa filsafat Islam mempunyai ciri yang erat dengan filsafat abad pertengahan. Menggunakan filsafat untuk memberikan pendasaran bagi agama. Namun sayang banyak mendapat tolakkan keras dari kaum ulama, seperti yang dialami oleh Ibn Rusyd.
Kedua, bahwa dalam diri manusia terdapat dua unsur yang tetap menjadi satu substansi, yaitu tubuh dan jiwa (forma dan materi). Artinya terjadi sebuah korelasi dari keduanya yang membentuk menjadi seoarng manusia.
Jiwa sebagai suatu kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanis mempunyai sifat yang satu. Jiwa adalah sesuatu yang berilmu. Dalam kegiatan berilmu itu jiwa membutuhkan tubuh untuk wadah eksistensinya. Tubuh menangkap materi yang ada objek yang ada di luar, kemudian jiwa merenungkannya. Secara khusus melihat indera-indera dalam tubuh.
Tanggapan Kritis
Satu hal yang ingin saya kritik terhadap pandangan IBn Rusyd adalah mengenai jiwa yang selalu dikaitkan dengan jiwa univeresal (Tuhan). Pandangan Ibn Rusyd tentang tubuh dan jiwa yang dipengaruhi oleh Aristoteles sebenarnya sangat menarik. Namun karena selalu dikaitkan dengan jiwa yang universal akhirnya membawa konsekuensi pada penyangkalan kebakaan jiwa perorangan.
Hal ini tentu saja membawa pada sebuah kontradiksi dalam diri Ibn Rusyd. Dia yang juga memegang bahwa adanya hidup setelah kematian, namun juga menolak adanya eksistensi jiwa perorangan setelah kematian. Bagaimana mungkin jiwa tidak baka, jika ternyata di akhirat dia juga mengatakan akan ada balasan bagi manusia yang melakukan kehendak Tuhan dalam agama, mempunyai keutamaan-keutamaan, dan sebagainya.














DAFTAR PUSTAKA

Audi, Robert. The Cambridge Dictionary of Philosophy. USA: Cambridge University Press. 1995.
Bakry, Hasbullah. Disekitar Filsafat Scholastik Islam. Solo: Ab Sitti Sjamsijah. 1965.
De Boer, T.J.. The History of Philosophy In Islam. New York: General Publishing Company. 1967.
Poerwantana, dkk. Seluk-beluk Filsafat Islam. Bandung: CV Rosda Bandung, 1988.

Internet:
http://hankkuang.wordpress.com/2008/12/07/ibn-rusyd-1126-1198-m/
http://najmu-addin.blogspot.com/2009/04/jiwa-menurut-ibnu-rusyd.html

Tuhan Orang Indonesia


Bangsa Indonesia mempunyai kultur yang kuat akan akan sistem kepercayaan kepada sesuatu yang transenden. Hal tersebut terbukti dengan hasil besar dari penelitian yang dilakukan oleh para ahli, yaitu akan adanya sebuah sistem kepercayaan kuno Animisme dan Dinamisme. Artinya bahwa mereka percaya bahwa adanya sebuah eksistensi sesuatu yang sifatnya imateri. Misalnya percaya akan masih eksisnya roh nenek moyang mereka, hidup di sekitar mereka. Kepercayaan lain pula bahwa dalam sebuah benda terdapat roh di dalamnya.
Paper ini akan menampilkan paparan tentang Tuhan orang Indonesia. Intinya akam melakukan sebuah analisis tentang fenomena Tuhan yang ada dalam Indonesia. Menjawab sebuah pertanyaan apa dan bagaimana Tuhan menurut orang Indonesia. Orang Indonesia di sini akan saya bagi dalam beberapa bagian. Pertama, Tuhan dalam konsep orang Indonesia (kaum) yang beragama. Kedua, Tuhan bagi orang tradisional (kepercayaan religius). Terakhir, "tuhan" bagi kaum "sekuler". Artinya tuhan bagi orang-orang karier, ilmuwan, intelektual.
Kemudian, konsep untuk menetukan (kriteria) tentang Tuhan di sini berdasarkan acuan dari penjelasan yang ada dalam Filsafat Ketuhanan. Saya mendasarkan konsep tentang Tuhan dari konsep Tuhan yang ada dalam Theodicy. Artinya memakai pembuktian tentang keberadaan Tuhan dari Santo Thomas Aquinas, yang terangkum dalam bukunya Summa Teologica.

Tuhan Kaum Beragama
Melihat realitas sebagai sebuah negara yang agamis, mau tidak mau jika berbicara tentang Tuhan kita juga akan langsung dikaitkan dengan agama. Karena dalam agamalah secara kita bisa secara langsung dihantar untuk menemukan konsep tentang Tuhan. Di Indonesia sedikitnya ada enam agama besar yang paling nampak eksistensi kederadaannya, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindhu, Budha.
Masing-masing agama punya konsepnya sendiri-sendiri mengenai Tuhan. Konsep Tuhan sebagai penggerak utama yang ada dala Filsafat Ketuhanan akan mendapat pemaknaan sendiri-sendiri dalam masing-masing agama. Karena agama sesuatu yang universal, artinya dimana pun juga ajaranya selalu sama, jadi kita tidak perlu mengulasnya secara lebih mendetail. Karena kita tentu pun pasti sudah mengetahui bagaimana konsep Tuhan yang ada dalam masing-masing agama.
Intinya yang perlu ditekankan dalam di Indonesia adalah bahwa adanya kesatuan penghayatan akan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat beriman Indonesia mengakui bahwa Tuhan itu satu dan Maha Esa (infinite).

Tuhan Kaum Tradisional Indonesia
Di negara Indonesia masih terdapat banyak sekali aliran kepercayaan lokal. Artinya sebuah kepercayaan akan adanya roh gaib yang mempunyai eksistensi dalam hidup manusia. Misalnya kepercayaan bahwa di dalam keris terdapat sebentuk roh yang harus dihormati.
Kepercayaan akan dalam sebuah benda juga terdapat eksistensi akan roh gaib membawa dampak bahwa orang tersebut sadar atau tidak telah menjadikan benda tersebut sebagai "tuhan" mereka. Tuhan mereka adalah benda-benda dengan kekuatan mistis tertentu tersebut. Hal tersebt terungkap melalui tindakan yang mereka lakukan terhadap benda-benda tersebut. Misalnya, setiap malam satu suro (tahun baru kalender Jawa) mereka memandikan keris dengan air bunga. Contoh lain lagi melakukan tapa di bawah pohon tertentu dengan tujuan mendapatkan kesaktian atau materi yang melimpah.
Perlu juga untuk diketahui bahwa melalui pengamatan sehari-hari, ternyata mereka yang menganut kepercayaan tradisional ini tidak terbatas dari golongan tertentu. Bahkan yang lebih mengejutkan, mereka yang beragama pun juga masih mempercayai konsep tuhan dalam kepercayaan ini. Sebuah ironi memang. Seseorang yang mengaku memeluk agama tertentu, yang di mana konsep tentang Tuhan pun sudah dikemukakan secara jelas. Ternyata masih mempercayai konsep tuhan yang ada dalam aliran tradisional. Misalnya, pagi pergi ke Gereja tapi di rumah memandikan keris.

Tuhan Kaum Sekuler
Berbeda lagi halnya dengan konsep Tuhan bagi orang Indonesia yang tergolong sekuler, seperti kaum karier, kaum intelektual, dan masih banyak lainnya. Artinya tuhan tidak lagi hanya sekedar sesuatu yang transenden. Memang jumlah kaum ini tidak begitu banyak dan langsung nampak, namun itu ada.
Kita pun akan menemukan jawaban yang beragam dari masing-masing orang tentang apa dan bagaimana itu Tuhan dalam kenyataan hidup mereka. Misalnya bagi kaum intelektual yang sangat mengedepankan rasio, mungkin akan menolak konsep Tuhan yang ada dalam sebuah agama. Lebih ekstrem lagi rasionalitaslah tuhan mereka.
Contoh lain lagi adalah bagi mereka yang menjadi pekerja keras, yang sudah beorientasi pada pencarian materi. Akhirnya pun jatuh pada men-tuhan-kan materi. Segalanya dilakukan demi memperoleh materi semata. Hal tersebut bisa langsung terungkap jika melihat mereka yang menjadi pelaku korupsi. Bagaimana mungkin mereka menyebut dirinya beriman jika apa yang mereka lakukan sungguh berada di luar cerminan orang beriman. Orang beriman yang mempercayai adanya Tuhan yang menjadi penggerak utama dan tak terbatas tentu tidak akan mau mendewakan materi, uang.

Minggu, 28 Februari 2010

Menjadi Manusia Otentik

Kristoforus Sri Ratulayn K.N
1323009009

Berbicara mengenai manusia, kita akan menemukan banyak hal yang menjadi tema pembahasannya. Dalam artian entah dilihat dari sisi biologis, sosiologis, antropologis, dan masih banyak lagi. Dalam tulisan ini kita akan memfokuskan pembahasan pada pembahasan manusia dilihat dari perspektif Filsafat Manusia. Lebih tepatnya adalah melakukan sebuah resensi dari buku diktat Filsafat Manusia: Menjadi Manusia Otentik.
Filsafat membantu orang untuk mampu berpikir kritis, logis, sistematis, dan tidak mudah percaya. Dengan demikian hal tersebut akan membantu kita mampu dengan mudah untuk dihantar sampai pada penemuan hakekat tentang segala sesuatu, khususnya tentang manusia. Tema tentang manusia menjadi satu cabang khusus dalam studi Filsafat, yang dikenal dengan nama Filsafat Manusia. Intinya menyajikan secara khusus refleksi filosofis mengenai menjadi manusia otentik.
Sebenarnya apa yang dimaksud manusia otentik? Secara singkat akan kita temukan bahwa manusia otentik adalah orang yang bahagia dan bebas. Lebih dalam lagi, menjadikan kedua hal tersebut menjadi tujuan hidup mereka. Bahagia dan bebas di sini salah satunya adalah suatu kondisi di mana seseorang mampu sungguh-sungguh merasakan dengan penuh kesadaran setiap hal yang mereka lakukan kedamaian. Mampu merasa enjoy dengan menjadi diri sendiri, serta tanpa terpengaruh oleh tekanan dari luar diri mereka. Intinya tetap otentisitas adalah menjadi dirinya sendiri secara sungguh-sungguh, menemukan apa yang sering disebut sebagai jatidiri.
Teori otentisitas mengatakan bahwa mereka yang otentik adalah mereka yang mampu mengosongkan diri dan mengarahkan segenap perhatian mereka pada tujuan atau panggilan hidup mereka. Mengosongkan diri di sini mempunyai arti bahwa mereka mampu melepaskan diri dari hanya sekedar perasaan-perasaan, kebutuhan semu, hasrat-hasrat. Melainkan lebih mengarahkan focus tujuan hidup mereka untuk nilai yang lebih tinggi yang ada dalam hidup.
Lantas apa penting dan perlunya manusia menjadi otentik? Secara singkat jika telah mampu sadar dan mengenali dimensi-dimensi hakiki, maka diharapkan seseorang mampu menjadi pribadi yang mandiri dan memiliki integritas. Artinya mampu dengan dewasa menentukan sikap atau keputusan-keputusan praktis dalam hidup sehari-hari. Mampu dengan bijaksana menempatkan diri, dengan tetap menjadi diri mereka apa adanya. Orang tersebut menjadi mampu dipercaya oleh orang lain karena orang lain telah mengenalnya sebagai pribadi yang selalu menampilkan diri apa adanya dan memperjuangkan nilai yang lebih tinggi.
Menjadi manusia otentik bukan semudah apa yang dibayangkan. Seperti semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan perjuangan mati-matian untuk dapat mencapainya, dan banyak sekali rintangan atau hambatan yang akan kita temui dalam memperjuangkannya. Salah satu hambatan tersebut adalah ketika kita melihat zaman sekarang banyak sekali beredar buku-buku self-help yang lebih condong mencetak manusia sesuai penulis buku tersebut. Buku-buku self-help cenderung menipu, karena ingin menarik seseorang untuk keluar dan lepas dari jatidirinya yang unik.
Akibatnya jika seseorang menjadi hampa dan kering dalam hidupnya. Sekali lagi karena ia dipaksa melakukan apa yang bukan dirinya. Belum lagi efek yang terjadi ketika orang tersebut gagal atau belum mampu untuk mencapai apa yang ditulis dalam buku-buku tersebut. Orang cenderung lebih sering merasa menjadi orang yang selalu gagal dan hidupnya seakan tidak bermakna.
Menjadi manusia otentik dalam sebuah proses panjang. Namun tidak berarti hal tersebut tidak mungkin untuk dicapai. Untuk menjadi manusia otentik sekali lagi terlebih dahulu orang harus sadar dan mengenali sungguh siapa dirinya, memahami berbagai keunikan dan realitas yang ada dalam dirinya. Akhirnya dikatakan bahwa itulah proses belajar tertinggi. Karena dengan mampu mengenali dirinya seseorang akan mengalami kebahagiaan dalam menjalani hidupnya.
Banyak unsur yang harus dilihat dalam pengenalan diri. Salah satu yang akan kita bahas dalam resensi kali ini adalah mengenai motivasi. Karena motivasilah yang mendasari dan mendorong setiap tindakan manusia. Lebih lengkap lagi bahwa motivasi adalah sebuah program internal yang ada dalam diri seseorang, yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan tertentu.
Secara jelas motivasi punya peran mendasar dalam proses pengenalan diri manusia guna mencapai tujuan menjadi manusia otentik. Dengan melihat dan mengenali motivasi yang ada dalam dirinya manusia semakin dibawa menuju kesadaran dari setiap yang ia kerjakan. Misalnya motivasi terdalam apa yang ada di balik seseorang mempelajari sesuatu. Apakah hanya untuk sekedar nilai, memenuhi rasa ingin tahunya, atau hanya keterpaksaan dari pihak luar dirinya.
Bahasan selanjutnya untuk menganalisis menjadi manusia otentik dengan berfokus pada manusia dan kesadaran. Membuka bahasan ini kita akan sedikit mengutip ungkapan terkenal dari filsafat Descartes Cogito Ergo Sum. Intinya ia ingin mengatakan bahwa pikiran adalah pusat dari manusia. Pikiran ini erat kaitannya dengan kesadaran. Orang sadar adalah orang yang menggunakan pikirannya dalam setiap tindakan yang ia kerjakan. Kesadaran merupakan kondisi internal manusia yang harus dibedakan dengan kondisi fisik.
Kesadaran diperlukan agar manusia mampu mengenali dirinya secara utuh. Karena kesadaran berperan besar untuk menghantar manusia mampu merefleksikan setiap fenomena yang terjadi dalam hidupnya. Sampai pada menentukan bagaimana ia harus bertindak dengan tepat. Akhirnya sampailah pada manusia yang otentik.

Jumat, 29 Januari 2010

Paper Sejarah Filsafat Yunani Kuno

“Rokok: Kebutuhan Tubuh yang Memenjarakan Jiwa Ditinjau Dari Filsafat Plato Tentang Tubuh dan Jiwa”


PAPER AKHIR PENGGANTI UAS MATA KULIAH
SEJARAH FILSAFAT YUNANI KUNO








Oleh:
Kristoforus Sri Ratulayn Kino Nara



BAB I
PENDAHULUAN


Bagi sebagian besar orang, rokok telah menjadi kebutuhan yang bahkan disamakan dengan kebutuhan untuk makan dan minum. Kebutuhan akan rokok sudah menjadi kebutuhan yang sangat sentral. Mereka disebut sebagai perokok berat. Bahkan ada yang mengatakan bahwa rokok telah menjadi “istri” kedua mereka. Dengan demikian bisa kita katakan bahwa kebutuhan akan rokok selalu menuntut seorang perokok untuk mencari dan menghisapnya. Tentu banyak faktor yang harus kita lihat dalam membicarakan masalah ini. Namun dalam pembahasan ini, kita akan melihat bagaimana kebutuhan akan merokok dikritisi atau ditinjau dari sisi filsafat.
Paper ini berjudul “Rokok: Kebutuhan Tubuh yang Memenjarakan Jiwa Ditinjau Dari Filsafat Plato Tentang Tubuh dan Jiwa”. Masalah yang ingin dibahas dalam paper ini adalah melihat bagiamana kebutuhan tubuh akan rokok jika ditinjau dari sisi filsafat? Kemudian mengkaitkan dengan tema ketidak bebasan macam apa yang ada dibalik fenomena rokok, yang tentunya juga dilihat dari sisi filsafat. Latar belakang pengambilan tema rokok dan kebebasan sebagai bahan penelitian awalnya karena terinspirasi dari mulai maraknya perdebatan tentang rokok, khususnya jika melihat ramainya perdebatan pro-kontra mengenai keputusan dikeluarkannya peraturan daerah tentang larangan merokok. Berdasarkan penjelasan di atas, menjadi jelas bahwa rokok yang sudah menjadi sebuah kebutuhan manusia akhirnya harus berbenturan dengan kewajiban sebagai anggota sebuah masyarakat.
Saya mengeluarkan sebuah argumen guna menuntun alur pembahasan yang ada dalam papar ini. Argumen saya adalah bahwa dengan merokok, manusia tidak bebas. Saya akan membagi pembahasan paper ini dalam tiga bagian. Pertama, kita akan melihat bagaimana ajaran Plato tentang tubuh dan jiwa. Pada bagian pertama ini kita akan melihat secara detail teori Plato tentang tubuh dan jiwa dari beberapa sumber acuan. Kedua, analisis dengan mengacu pada teori Plato tentang tubuh dan jiwa dengan kaitannya dalam kebutuhan manusia akan (me)rokok. Dengan kata lain kita akan langsung mensintesakan teori Plato tentang tubuh dan jiwa pada bagian pertama tadi dengan analisis gejalah yang terjadi ketika orang mengkonsumsi rokok. Kemudian pada bagian terakhir nantinya adalah sebuah kesimpulan, bahwa rokok merupakan kebutuhan tubuh yang memenjarakan jiwa manusia.












BAB II
KERANGKA TEORI


Teori Plato tentang Tubuh dan Jiwa Manusia
Plato (429-437), seorang filsuf terbesar dalam sejarah filsafat Yunani Kuno, lahir dalam sebuah keluarga terkemuka di Athena. Ayahnya bernama Ariston dan ibunya bernama Periktione. Ia adalah salah seorang teman diskusi Sokrates. Plato menjadi salah seorang filsuf terbesar sepanjang sejarah filsafat, karena ia membuka tema-tema pembicaraan abadi dalam filsafat. Bahkan sampai muncul sebuah argumen bahwa filsafat selanjutnya hanyalah catatan kaki dari filsafat Plato.
Semasa hidupnya ia sangat produktif dalam hal menulis. Semua tulisannya selalu berbentuk dialog. Hal ini karena mungkin dipengaruhi oleh Sokrates yang terkenal sangat membenci tulisan. Sehingga akhirnya Plato pun akhirnya mencoba membuat sebuah sintesis antara tulisan dan lisan. Beberapa karya utamanya dalam filsafat mencakup Protagoras, Gorgias, Meno, Apology, Phaedo, Crito, Republic, Parmenides, Theatetus, Sophist, dan, laws.
Ajaran filsafat Plato yang terkenal adalah mengenai ide-ide dan tentang dualisme dari manusia. Bagi Plato kenyataan sesungguhnya hanya ada dalam dunia. Sedangkan realitas yang ada di dunia hanyalah sekedar bayangan dari ide-ide. Ajaran Plato mengenai ide-ide juga diterapkan dalam ajarannya mengenai dualisme manusia.
Dualisme Plato memandang bahwa manusia terdiri dari dua hakikat yang berlainan, tubuh dan jiwa. Tubuh mempunyai sifat yang rapuh, mudah berubah, dan tidak tetap. Hal ini nantinya sejalan dengan perbandingan antara ide-ide abadi dengan realitas di dunia yang selalu berubah. Sedangkan jiwa adalah sesuatu yang kasat mata, tetap dan abadi. Plato berargumen karena jiwa mampu mengenali ide-ide, maka jiwapun mempunyai sifat-sifat yang sama dengan ide-ide. Jiwa selalu mempunyai kerinduan untuk mencapai kearifan dan kebijaksanaan.
Bagi Plato tubuh adalah kuburan bagi jiwa (soma-sema). Dalam artian, jiwa sudah ada di suatu tempat yang penuh dengan kearifan sebelum dilahirkan. Dunia inilah tempat kediaman jiwa yang sesungguhnya. Pada suatu ketika jiwa mengalami inkarnasi dan masuk ke dalam tubuh. Jadi dunia yang sekarang ditempati jiwa ketika masuk ke dalam tubuh bukanlah tempat tinggal jiwa. Hal inilah yang menjadi penegas dari dualime Plato.
Tubuh yang mempunyai sifat rapuh, tidak tetap, dan selalu berubah menjadi penghalang bagi jiwa untuk mencapai kearifan dan kebijaksanaan. Karena sifatnya yang tidak tetap dan selalu berubah itu lah muncul argumen dari Plato bahwa tubuh akan “membingungkan” manusia dalam usaha mencari kebenaran.
Kerinduan jiwa adalah terbebas dan pulang kembali memasuki dunia ide-ide Menurut Plato berfilsafat berkaitan hanya dengan pikiran atau jiwa. Untuk hal tersebut manusia harus berusaha sebisa mungkin melepaskan diri dari belenggu tubuh yang memenjarakannya. Memenjarakan artinya menuntut manusia untuk selalu memenuhi kebutuhan tubuh, bersenang-senang dan “memuja” tubuh.
Dalam bukunya yang berjudul Phaedo, Plato menambahkan bahwa yang diperluakan untuk memasuki kawasan entitas ide-ide hanya lah jiwa. Sedangkan jiwa bernalar paling indah, ketika tidak satu pun dari hal-hal yang ragawi, seperti pendengaran, peglihatan, duka cita ataupun kesenangan, menghalanginya untuk mencapai kebenaran. Dengan meninggalkan tubuhnya manusia akan mampu menemukan hakikat segala sesuatu. Seperti sudah kita tahun bahwa tubuh mempunyai sifat mengarahkan seseorang untuk mencari kesenangan, misalnya makan dan minum. Manusia yang terlalu terpengaruh oleh tubuh akan menjadi pemuja tubuh. Inilah yang sungguh menjadi penghambat bagi jiwa untuk mampu bernalar hingga mencapai kearifan dan kebijaksanaan.
Berikut sebuah kutipan dari salah satu karya Plato yang berjudul Phaedo, yang menyatakan secara jelas bagaimana Plato menyangkali peran konstruktif apapun dari tubuh manusia dalam usaha mencapai kebenaran yang hakiki:

“Selama kita memiliki tubuh yang menemani argumen yang kita kembangkan dalam penyelidikan kita, dan jiwa kita tercampur dengan hal jahat semacam ini, kita tidak akan pernah mendapatkan apa yang kita inginkan”

Kita bisa mengambil sebuah contoh yang kiranya dapat membantu kita untuk lebih mudah memahami ajaran Plato tentang tubuh dan jiwa, khususnya berkaitan dengan tubuh sebagai penghalang jiwa mncapai kebijaksanaan. Suatu ketika seorang mahasiswa mengalami sakit panas yang memaksanya harus beristirahat untuk beberapa minggu. Padahal ia harus belajar dan memahami materi ujian yang akan dia hadapi. Dengan demikian nampak secara langsung bahwa tubuh menghalangi jiwa untuk bernalar dan mencapai kebijaksanaan.

BAB III
ANALISIS TEMA


Pada bagian ini kita akan mengulas lebih dalam mengenai kebutuhan akan merokok dengan kebebasan. Dimana letak hubungan antara rokok dan tubuh sehingga dikatakan menjadikan tidak bebas?
Jelaslah bahwa rokok adalah kebutuhan tubuh. Tubuhlah -yang karena efek nikotin- membuat manusia ketagihan untuk mengkonsumsinya. Jika tidak merokok dalam waktu lama, tubuh akan mengalami kesemutan di lengan dan kaki, berkeringat dan gemetar, gelisah, susah konsentrasi, sulit tidur, lelah atau pusing. Bahkan terkena resiko-resiko penyakit seperti penyakit jantung, kanker paru-paru, osteoporosis, katarak, dan masih banyak lagi. Dengan bahasa lain kita bisa mengatakan, bahwa seorang pecandu rokok harus menghisap rokok secara rutin. Rokok adalah kebutuhan tubuh.
Tubuh yang sudah mulai kecanduan rokok selalu menuntut pemilik tubuh tersebut untuk selalu menghisapnya. Orang menjadi tidak bebas lagi untuk menguasai tubuhnya. Entah tiap jam atau menit tubuh memerlukan rokok untuk “menstabilkan” kondisinya. Artinya menjadi semacam sebuah pelarian sementara untuk menenangkan diri bagi mereka yang sudah kecanduan rokok. Jika mau dilihat dari sisi psikologis, maka mungkin dari sini juga bisa disimpulkan orang menjadi tidak bebas lagi.
Setelah kita melihat teori Plato tentang tubuh dan jiwa, lalu membuat pendasaran di atasnya. Kemudian melihat hasil analisis tentang hubungan antara rokok dan tubuh. Akhirnya kita bisa membayangkan apa yang akan dikatakan Plato, jika ia masih hidup saat ini. Dengan lantang Plato akan berkata bahwa rokok adalah “kuburan” bagi jiwa manusia. Argumen tersebut secara langsung dapat dijelaskan lebih detail ketika melihat logika pemikiran yang ada di dalamnya. Logikannya demikian: karena rokok adalah kebutuhan tubuh, sedangkan tubuh sendiri adalah penjara bagi jiwa. Maka rokokpun adalah sebuah penjara atau kuburan bagi jiwa manusia.
Penarikan logika di atas mampu dengan jelas menjadi pembuktian bahwa kebutuhan tubuh akan rokok membuat jiwa tidak bebas. Rokok menhalangi manusia untuk mencapai pengetahuan, kearifan atau kebijaksanaan yang sempurna, sesuai dengan apa yang dikatakan Plato dalam teorinya. Dengan kata lain juga semakin menghalangi cita-cita jiwa, kembali kedalam kerajaan ide-ide. Kebutuhan akan rokok menjadi penjara atau penghambat manusia untuk mencapai kebenaran, karena manusia menjadi “hamba” dari tubuh. Kebutuhan tubuh akan rokok menuntut manusia untuk selalu mendahulukannya, setelah itu terpenuhi baru memenuhi kebutuhan yang jiwa akan pencarian kebenaran dan kebijaksanaan.
Penegasan singkat mengenai letak ketidakbebasan: Berdasarkan penjelasan paragraf sebelumnya, kita bisa menemukan dimana letak ketidakbebasan yang muncul dari hubungan antara rokok dan tubuh. Secara logis, ketidakbebasan tersebut pun terdapat dan dikenakan pada jiwa. Rokok membuat jiwa tidak bebas.
Kita bisa mengambil contoh. Suatu ketika seseorang pecandu rokok yang berprofesi sebagi dosen harus memberikan kuliah kepada mahasiswanya namun kebutuhan akan merokoknya belum terpenuhi sebelumnya. Kita bisa mengkira-kira apa yang terjadi pada dosen tersebut? Tidak tenang, sulit berkonsentrasi, dsb.
Contoh lain lagi ketika seorang bapak rumah tangga, yang juga seorang pecandu rokok. Pada suatu ketika dihadapkan pada dua pilihan yang berbeda. Pilihan pertama bahwa anaknya memerlukan susu bayi. Pilihan kedua kebutuhan untuk mengkonsumsi rokok. Akhirnya ia memilih untuk mendahulukan kebutuhannya untuk membeli rokok. Dari contoh tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa betapa rokok sebagai kebutuhan tubuh sungguh memenjarakan jiwa yang lebih mencari kebijaksanaan dan kearifan.
















BAB IV
KESIMPULAN dan TANGGAPAN


Bagian terakhir ini sekedar untuk lebih menegaskan kembali argumen awal, bahwa (me)rokok adalah kebutuhan yang memenjarakan manusia, terutama ditinjau dari teori Plato tentang tubuh dan jiwa. Rokok adalah kebutuhan tubuh, karena berkaitan dengan tubuh yang juga menjadi penjara jiwa untuk mencapai kebijaksanaan maka bisa kita simpulkan bahwa rokokpun menjadi penjara atau kuburan bagi manusia.
Sebagai tanggapan kritis, saya ingin mengkriktik teori Plato mengenai tubuh dan jiwa. Secara tegas saya tidak setuju dengan argument Plato yang mengatakan tubuh hanya menjadi penggangu manusia untuk mencapai kebenaran atau kebijaksanaan. Saya melihat adanya kontradiksi dalam teori tersebut. Bagaimana Plato dengan tegas menolak peran tubuh dalam keberadaan manusia sedangkan di sisi lain dalam mengenali ide-ide abadi, Plato tidak bisa mengingkari bahwa dengan begitu dia pun membutuhkan tubuh untuk mengenali ide-ide. Bagaimana jiwa bisa mengenali ide-ide abadi jika tidak dibantu oleh tubuh untuk menangkap realitas yang ada di dunia, yang kemudian membantunya untuk ingat kembali akan ide-ide abadi yang pernah dilihatnya sebelum masuk kedalam tubuh.
Relevansi yang bisa kita ambil dari semua pembahasan di atas adalah; mari kita mengkritisi kembali keputusan kita yang memilih untuk “dijajah” oleh rokok. Rokok yang sebenarnya justru memperbudak kita, sehingga tidak dapat mencapai kebaikan. Mari kita tanamkan hidup sehat dan bijaksana tanpa rokok!!!.


BAB V
DAFTAR ACUAN

1. B. Woodhouse, Mark. Filsafat: Sebuah Langkah Awal. Yogyakarta: Kanisius. 2002.
2. Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani Kuno. Yogyakarta: Kanisius. 1999.
3. Diktat Mata Kuliah Sejarah Filsafat Yunani Kuno: Pengantar ke dalam Dialog Plato Pertemua ke-8 Sejarah Filsafat Yunani Kuno: Pengantar ke dalam Dialog Plato.
4. L. Tjahjadi, Simon Petrus. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius. 2004.
5. Rakhmat, Ioanes. Sokrates Dalam Tetralogi Plato: Sebuah Pengantar dan Terjemahan Teks, Jakarta: Gramedia. 2009.
6. Snijders, Adelbert. Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta: Kanisius. 2006.
7. http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/kedokteran/dampak-merokok-bagi-kesehatan,