Selasa, 14 Oktober 2014

Teodise

(Telaah Tuhan dan Masalah adanya Kejahatan dan Penderitaan dalam Filsafat Ketuhanan)
Oleh : Kristoforus Sri Ratulayn K.N


Pendahuluan
Siapa yang tidak pernah menangis selama hidupnya? Adakah manusia yang tidak pernah menangis sepanjang hidupnya? Hampir tidak ada manusia yang tidak pernah menangis. Bahkan, awal dan akhir dari hidup manusia selalu diiringi dengan sebuah tangisan. Bayi yang baru lahir harus menangis sebagai tanda kehidupannya. Bahkan kalau tidak menangis dibuat sedemikian rupa agar ia segera menangis. Selanjutnya, ketika kematian menjemput juga diiringi dengan tangisan. Tentu saja bukan tangisan dari orang yang meninggal, melainkan tangisan dari saudara dan kerabat yang ditinggalkan.
Lebih lanjut, menangis merupakan sebuah metafor atau proyeksi diri dari sebuah kejadian yang menyakitkan atau kadang juga menggembirakan. Misalnya, seseorang gadis menangis karena ditinggal oleh sang kekasih. Contoh lain, seorang ibu yang menangis terharu karena anaknya mampu meraih prestasi yang membanggakan. Namun, tangisan tentu lebih cenderung mengarah kepada sebuah proyeksi tentang sebuah penderitaan yang tengah dialami oleh seseorang yang menangis. Penderitaan menjadi realitas tentang sebuah hal yang menyakitkan atau tidak menyenangkan bagi sebagian orang. Pada intinya, saya ingin mengatakan bahwa ada realitas tersembunyi di balik sebuah tangisan/menangis, yaitu penderitaan.
Belum lagi jika kita menengok kembali kejadian-kejadian mengerikan seperti pembantaian enam juta orang Yahudi oleh Nazi, pemerkosaan dan pembunuhan yang terjadi di Bosnia, peristiwa Tsunami Aceh yang menelan ribuan nyawa, gempa di Jepang, gempa tektonik di Yogyakarta, dan ribuan bayi yang mati setiap hari karena penyakit AIDS. Manusia hidup seolah dalam bayang-bayang ketakutan dan kecemasan. Kita seolah hidup dalam situasi yang tidak aman dan damai.
Masalah adanya kejahatan dan penderitaan seolah menjadi skandal terbesar dan cukup sulit untuk dijelaskan jika disandingkan dengan konsepsi Tuhan yang mahakuasa (omnipotent), mahatahu (omniscient), dan mahabaik (benevolent). Orang yang beriman akan adanya Tuhan perlu memberikan penjelasan menenai masalah adanya kejahatan dan penderitaan. Kalau Tuhan ada, dari manakah datangnya penderitaan? Si Deus, unde Malum? Kalau Ia tak berdaya, apakah masih layak orang beriman kepada-Nya? Karena tidak bisa disangkal masalah adanya kejahatan dan penderitaan ini yang memicu munculnya ateisme. Adanya kejahatan dan penderitaan menjadi argument penguat bagi orang-orang ateis.
Tulisan ini ingin membahasa seputar masalah adanya kejahatan dan penderitaan. Penulis akan menampilakan pandangan beberapa aliran filsafat yang membahas mengenai masalah kejahatan dan penderitaan. Ada dua aliran besar yang ingin penulis tampilkan dalam menanggapi masalah teodise ini, yaitu aliran Teodise Agustinian beserta pengikutnya dan Teodise Irenian juga dengan banyak pengikutnya.

Arti dan Penyebab Masalah Teodise
Rumusan paling awal dari mengenai masalah Teodise dibuat oleh Epikurus (324-270 SM). Kemudian, Lactantius (260-340 SM) ungkapan dari Epikurus sebagai berikut:
“Tuhan atau mau menyingkirkan kejahatan dan Ia tidak mampu; atau Ia mampu, dan tidak mau; atau Ia tidak mau dan juga tidak mampu; atau Ia mau dan juga mau. Jika Ia mau dan tidak mampu, Ia lemah, yang berarti tidak sesuai dengan sifat Tuhan. Jika Ia mampu dan tidak mau, Ia jahat dan berarti juga tidak sesuai dengan sifat-Nya; jika Ia tidak mampu dan juga tidak mau, Ia jahat dan sekaligus lemah, berarti Ia bukanlah Tuhan; jika Tuhan mau dan mampu, yang merupakan cirri yang paling cocok untuk-Nya, dari manakah asal semua kajahatan? Atau kenapa Ia tidak menyingkirkan semua kejahatan tersebut?”
Masalah teodise, yang bersal dari kata theo artinya Tuhan dan dike artinya keadilan, ini untuk pertama kali disebut oleh filsuf Jerman Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716). Arti kata teodise kurang lebih adalah pembenaran Allah. Dengan kata lain, seperti pada kutipan kata-kata Epikurus di atas, teodise membahas adanya kejahatan yang bertentangan dengan sifat-sifat Allah.
Seperti pada penjelasan di bagian sebelumnya, teodise muncul dari persoalan filsafat yang cukup klasik. Lebih lanjut, masalah keberadaan kejahatan sesungguhnya mempermasalahkan sifat tradisional Tuhan yang diyakini oleh orang beriman. Sifat tersebut antara lain mahakuasa (omnipotent), mahatahu (omniscient), dan mahabaik (benevolent). Permasalahan adanya kejahatan dan penderitaan seolah menjadi argument penguat bagi orang-orang yang memang menolak keberadaan Tuhan dan sebaliknya menjadi masalah yang menghantui dan membuat gelisah orang-orang teistik.
Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan adanya penderitaan. Pertama, karena memang manusia sendiri yang menginginkan penderitaan tersebut. Lebih dalam, seseorang itu sendiri yang menginginkan penderitaan tersebut ia alami. Kejahatan jenis ini sering disebut kejahatan moral (malum morale). Kejahatan moral mengandung dua jenis, pertama kejahatan yang dengan kehendak bebasnya melakukan tindakan yang secara langsung mengakibatkan penderitaan bagi orang lain (evil by commission). Contoh orang melakukan korupsi, yang kemudian membuat hidup orang lain menjadi tidak sejahterah karena mengambil apa yang menjadi hak orang lain. Kedua, kejahatan moral karena membiarkan orang lain mengalami penderitaan (evil by omission).
Kedua, penderitaan yang disebabkan oleh alam. Kejahatan jenis ini sering disebut kejahatan alamiah (malum physicum). Dalam arti tertentu ini sering disebut sebagai sebuah bencana. Sesunguhnya, bencanapun ketika orang mau jujur, hal tersebut terjadi karena ulah manusia sendiri. Manusia dengan segala kerakusan dan optimismenya berusaha menguasai dan mengksplorasi alam. Sehingga pada waktu alam menunjukkan keganasannya dengan terjadinya bencana alam. Banyak contoh kerusakan alam yang telah terjadi di sekitar kita, mulai dari perubahan iklim, banjir, dan masih banyak lagi.
Ketiga, penderitaan yang memang dipilih dan dijalani karena ada perjuangan akan nilai yang lebih luhur di baliknya. Dengan kata lain, penderitaan sebagai sebuah konsekuensi logis dari tindakan seseorang yang berusaha memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, kemanusiaan, cinta kasih dan persaudaraan. Banyak contoh yang bisa kita ambil untuk penderitaan jenis ini, misalnya para pahlawan yang gugur memperjuangkan kemerdekaan. Perjuangan seorang yang memperjuangkan agar cinta kasih tercipta di bumi, kemudian harus mengalami sikasaan dan penderitaan.
Lebih lanjut terdapat tiga dimensi tentang masalah kejahatan. Pertama, dimensi logis (apriori) yang menampilkan adanya inkonsistensi antara proposisi sifat-sifat keyakinan tradisional tentang Tuhan beserta segala sifatnya dengan proposisi adanya kejahatan. Dengan kata lain, adanya kejahatan tidak bisa diterima secara logis oleh pikiran. Kedua, dimensi evidensial (masalah kejahatan aposteriori) yang mempertentangkan anggapan para penganut teisme dengan pengalaman kenyataan konkret tentang adanya kejahatan. Apakah masuk akal bisa memahami Tuhan jika kita melihat pengalaman kejahatan secara konkret seperti pembantaian oleh NAZI.
Ketiga, dimensi eksistensial dari kejahatan. Artinya, dimensi ini melihat secara mendalam aspek kehidupan nyata manusia dihadapan kejahatan. Pengalaman kejahatan pada aspek ini tentu menyangkut pengalaman konkret yang dialami oleh masing-masing orang. Lebih dalam, aspek ini menyangkut banyak unsure personal individu. Dengan kata lain, manakala seseorang mengalami kejahatan seperti tokoh Ivan Karamazov dalam buku Dostoevsky.
Seluruh dimensi tentang kejahatan dijadiakan sebuah dasar yang kokoh bagi beberapa orang nonteistik atau orang-orang yang menolak keberadaan Allah. Sedangkan bagi pada kaum teistik, persolan kejahatan dan penderitaan seolah menjadi tantangan yang menuntut penjelasan secara meyakinkan.

Tanggapan atas Masalah Teodise
Setidaknya ada dua sikap yang muncul dalam konteks tanggapan atas masalah Teodise. Ada sikap bertahan (defense), yang ingin menunjukkan bahwa padangan orang yang menolak adanya Tuhan mempunyai cacat argument dan sikap kedua adalah teodise (theodicy), yang ingin memberikan suatu dasar yang lebih positif, masuk akal, dan memadai mengenai adanya kejahatan. Pada bagian ini saya akan memaparkan dua aliran besar teodise, antara lain Teodise Agustinian, yang kemudian dilanjutkan oleh Thomas Aquinas dan Teodise Irenian, yang kemudian dikembangkan oleh John Hick.
Teodise Agustinian
Teodise Agustinian berfokus pada penjelasan kemunculan kejahatan di dunia untuk melepaskan Tuhan dari belenggu penyebab dari adanya kejahatan. Agustinus berpijak bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu baik adanya. Dengan kata lain, segala ciptaan yang ada baik pada dirinya sendiri. Dengan demikian, kejahatan tidak mungkin muncul dari kebaikan tersebut. Bagi Agustinus, kehajatan berarti “kekurangan kebaikan” (privation boni). Kejahatan muncul dari kesalahan penggunaan kehendak bebas, yang kemudian muncul pula apa yang disebut dengan dosa.
Penderitaan bukanlah sebuah esensi yang berdiri sendiri. Artinya penderitaan tidak pernah bernilai pada dirinya sendiri. Tidak akan pernah ada penderitaan yang bermakna bagi dirinya sendiri. Penderitaan selalu bergantung pada sebuah substansi yang lain. Kebaikan yang bersumber dari Tuhanlah yang bersifat substansial. Dengan kata lain, kejahatan hanya merupakan aksidental semata yang tidak ada pada dirinya sendiri. Sebagai contoh, adanya sebuah tembok merupakan kebaikan, namun pada tembok tersebut ada sebuah lubang, lubang itulah yang disebut sebagai kejahatan. Lubang merupakan factor aksidental semata dari sebuah tembok. Kejahatan tidak ada pada dirinya sendiri.
Pandangan ini kemudian dilanjutkan oleh Thomas Aquinas dalam bukunya Summa Teologica I masalah 49 artikel 1-3. Setidaknya ada tiga hal pokok yang ingin dibahas oleh Thomas Aquinas. Pertama, apakah yang baik dapat menjadi sumber kejahatan? Kedua, apakah yang Mahabaik, Tuhan, adalah sumber kejahatan? Ketiga, apakah ada entitas mahajahat yang menjadi sebab utama segala kejahatan?
Pada penjelasan untuk pertanyaan pertama, Thomas Aquinas menjelasakan bahwa jika ada dua prinsip yang saling bertolak belakang, maka tidak pernah bisa yang satu berasal dari yang lain. Kejahatan selalu bertentangan dengan kabaikan, maka tidak mungkin kejahatan berasal dari kebaikan. Namun, kejahatan memang harus mempunyai penyebab dari kemunculannya. Kejahatan tidak pernah berasal dari kejahatan yang lebih tinggi. Karena jika kejahatan berasal dari kejahatan yang lebih tinggi, maka akan ada kehancuran diri total dari kejahatan tersebut.
Thomas Aquinas menegaskan, memang kejahatan berasal dari kebaikan. Namun, sifatnya hanya aksidental saja. Argumennya senada dengan apa yang dijelaskan oleh Agustinus. Kejahatan muncul sebagai factor aksidental dari perealisasian kebaikan. Tuhan sebagai yang Ilahi hanya menyebabkan sesuatu yang esensial. Kemunculan kejahatan berasal dari tindakan particular ciptaanNya dan harus dibedakan dengan Tuhan pencipta.
Untuk pembahasan pertanyaan ketiga, seperti penjelasan di atas bahwa kejahatan tidak mungkin berasal dari sesuatu yang mahajahat lainnya. Karena jika kejahatan berasal dari kejahatan yang lebih tinggi di atasnya akan terjadi penghancuran diri total. Maka jelas tidak ada kejahatan yang eksisten pada dirinya sendiri.
Dengan demikian ada beberapa poin pokok dalam teodise Agustinian. Pertama, bahwa tidak ada kejahatan yang bersifat esensial. Kedua, kejahatan memang mengurangi kebaikan dalam ciptaan, namun hal tersebut bukanlah kejahatan mutlak karena jika mutlak akan menghancurkan dirinya sendiri. Ketiga, kejahatan itu adalah “kekurangan kebaikan” (privation boni) dari kebaikan yang esensial. Keempat, Tuhan bukanlah entitas yang bertanggung jawab atas adanya kejahatan.
Teodise Irenian
Teodise ini berasal dari St. Ireneus (120-202 M) bersama dengan rekan sezamannya Clementiunus dari Alexandria. Teodise ini kemudian dipopulerkan lebih lanjut oleh John Hick dan Friedrich Schleiermacher. Teodise ini memang bertitik tolak dari pandangan Agustinus mengenai kejatuhan manusia pertama dalam dosa.
Tradisi Irenian ini pada intinya menjelaskan bahwa kejatuhan manusia dalam dosa sesungguhnya merupakan bagian dari syarat mutlak bagi perkembangan manusia menuju ketingkat yang lebih dewasa. Lebih lanjut, sesungguhnya terdapat aspek positif dari sebuah kejahatan. Kejahatan sejatinya diperlukan dan bahkan menjadi syarat mutlak utama agar manusia menjadi lebih dewasa. Lebih dalam, kejahatan diperlukan agar kebaikan yang lebih tinggi dapat muncul. Proses pendewasaan itu merupakan bagian dari rencana ilahi yang mencapai puncaknya pada kehidupan setelah kematian.
Dalam pandangan Hick, adanya pemisahan antara ciptaan yang terbatas dengan Sang Pencipta yang tak terbatas. Manusia sebagai yang terbatas harus mengalami proses perjuangan sendiri untuk menghadapi setiap tantangan dan bahaya yang selalu ada dalam hidupnya, baik kejahatan moral maupun kejahatan oleh alam. Manusia harus dengan gagah berani menanggung segala beban penderitaan dan kejahatan arag semakin bertumbuh dalam moral dan spiritual. Hingga akhirnya manusia mengalami capaian kedewasaan dari hasil usahanya sendiri tanpa adanya intervensi dari yang ilahi.
Tradisi Irenian memberikan ruang gerak yang lebih bebas pada manusia. Artinya, atas hasil keputusan, perjuangan, dan keberanian dalam menghadapi tantangan yang ada manusia akan banyak belajar untuk menjadi semakin lebih baik atas hasil usahanya sendiri. Contohnya, dengan belajar dari penderitaan, seseorang akan belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang ia lakukan agar tidak mengalami penderitaan. Dengan demikian, manusia akan menjadi anak-anak Tuhan lewat pilihan moral dan spiritual yang bebas, bukan karena intervensi yang ilahi memaksa.
Kita bisa sedikit memberi kesimpulan bahwa tradisi Irenian yang dilanjutkan oleh John Hick memandang bahwa manusia terlahir bebas dengan berbagai pilihan moral. Manusia bebas karena memang Allah bukanlah Allah yang bersifat pemaksa. Pilihan bebas manusia tersebut akan menghantarkan manusia untuk menuju kedewasaan moral dan spiritual yang lebih tinggi.
Jika tradisi Agustinian memandang manusia tercipta baik adanya, tradisi Irenian lebih memandang bahwa manusia terlahir dengan segala keterbatasannya, terlebih keterbatasan moral. Adanya kejahatan menjadi saran bagi manusia untuk dapat berkembang kearah yang lebih sempurna. Lebih lanjut, manusia dilahirkan untuk selalu terarah kepada pada Sang Penciptanya.

Penutup
Masalah adanya kejahatan dan penderitaan menjadi sebuah tema dalam filsafat ketuhanan. Teodise mempertentangkan pandangan Tuhan tradisional beserta semua sifatnya dengan adanya kejahatan. Tradisi Agustinian berusaha menjelaskan bahwa kejahatan tidak bersifat esensial, melainkan hanya aksidental. Sedangkan tradisi Irenian menerima kejahatan sebagai sebuah syarat mutlak agar manusia dapat semakin dewasa dalam moral dan spiritual. Keberadaan kejahatan tidak bertentangan dengan adanya Tuhan, sang Pencipta dengan segala sifatNya.


DAFTAR PUSTAKA
Ahren, M.B, The Problem of Evil, Routledge & Kegan Paul Ltd, London, 1971
John Hick “An Irenaean Theodicy” dalam S. Davis (ed.), Encountering Evil, Live Options in Theodicy, Edinburgh: T & T Clark, 1981.
Peterson, M. (ed.), The Problem of Evil, Selected Readings, University of Notre Dame Press, Indiana, 1992.
Suseno, Franz-Magnis, Menalar Tuhan, Kanisius, Yogyakarta, 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar