Oleh : Kristoforus Sri R.K.N
Beberapa saat yang lalu publik dihebohkan dengan pemberitaan media seputar penyusunan dan penetepan Undang-Undang (UU) Pilkada oleh anggota DPR-RI. Kehebohan dan reaksi masyarakat berkaitan dengan isi dari UU tersebut yang menetapkan bahwa Kepala Daerah tidak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat, seperti yang telah berlangsung beberapa tahun belakangan, hak melainkan Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD. Keputusan tersebut jelas dianggap kontroversial oleh sebagian besar masyarakat. Tak pelak hal tersebut mengundang pro dan kontra dalam masyarakat sendiri.
Setidaknya ada beberapa argument yang didalilikan oleh koalisi yang mendukung pemberlakuan UU tersebut. Antara lain, pertama, peraturan tersebut untuk memurnikan kembali asas Pancasila mengenai demokrasi yang ada di Indonesia. Dengan kata, lain demokrasi yang ada di Indonesia wajib mengacu kembali apa yang sudah diamanatkan dalam Pancasila, khususnya sila keempat. Kedua, pemilu langsung dinilai menyebabkan ongkos politik yang amat besar. Ketiga, adanya kekhawatiran bahwa pemilu langsung dapat menyebabkan perpecahan di antara masyarakat. Keempat, pemilu langsung rentan terhadap terjadinya praktek politik uang di dalamnya.
Banyak argument tentang keberatan muncul terhadap UU tersebut dari berbagai kalangan. Salah satu pihak yang keberatan terhadap pengesahan UU tersebut baru-baru ini adalah Aliansi Ilmuwan Indonesia untuk Bangsa. Aliansi Ilmuwan Indonesia dibentuk oleh 350 orang ilmuwan dari berbagai lintas bidang ilmu di Indonesia. Mereka mengadakan diskusi “Kembalikan Kedaulatan Rakyat”. Dalam pernyataan sikapnya mereka kepada DPR RI dan para politisi yakni menolak dengan tegas segala bentuk manipulasi melalui penyalagunaan cara-cara prosedural-formal perumusan hukum dengan mengatasnamakan rakyat. Lebih lanjut, mereka juga mendesak agar para wakil rakyat menghentikan bentuk manipulasi dan permainan hukum untuk kepentingan kelompok.
Pada tulisan ini saya akan mencoba memberikan analisis kritis dari sudut pandang lain tentang isi UU Pilkada. Beberapa hal pokok yang akan saya uraikan adalah (1) Pancasila dan asas Pancasila. (2) analisis pemilu dan kaitannya dengan Hak asasi dan demokrasi.
Pemilu dan Asas Pancasila
Berbicara mengenai pemilu sebagai sebuah proses demokrasi di Indonesia jelas tidak bisa dipisahkan dengan Pancasila sebagai dasar Negara dan dasar hukum. Lebih khusus, sila yang langsung merujuk tentang penyelenggaraan demokrasi di Indonesia adalah sila ke empat. Sila keempat dari Pancasila adalah “Kerakyatan yang dimpimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” Bertitik tolak dari sila ini pulalah para anggota DPR-RI merancang dan mengesahkan UU Pilkada.
Secara historis, sesungguhnya telah terjadi perbedatan mengenai kedaulatan rakyat pada saat perumusan dan pengesahan Pancasila. Namun, perdebatan tersebut lebih condong kepada pengaktualisasian sila kedua. Terjadi perdebatan dalam pemenuhan prinsip ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Poin utama perdebatan tersebut adalah pertentangan mengenai hak-hak dasar manusia dengan semangat kekeluargaan. Permasalahannya adalah negara perlu memberikan ruang bagi rakyat untuk berkumpul, memberikan pendapat dan suaranya. Muhammad Yamin, Agoes Salim, Mohammad Hatta, dan Soekiman berpendapat tentang perlu adanya jaminan yang tegas mengenai kemerdekaan warga negara dalam UUD. Artinya, setiap orang tetap merasa bebas walaupun berada di payung UUD. Mohammad Hatta berpendapat paling kencang mengenai adanya jaminan yang tegas atas hak berserikat, berkumpul, dan berpendapat dalam konstitusi, agar kelak tidak terjadi kesewenang-wenangan kekuasaan yang mengatasnamakan semangat kekeluargaan. Seputar sila kedua ini akan saya bahas lebih lanjut pada bagian selanjutnya, yaitu hubungan antara pemilu dan hak asasi manusia.
Akhirnya, diambillah sebuah kompromi terhadap masukan-masukan yang disampaikan. Bentuk kompromi tersebut adalah dengan ditambahkannya pasal dalam UUD yang mengatur kebebasan penduduk untuk berkumpul dan menyuarakan pendapatnya. Kompromi tersebut termuat dalam pasal 28. Hingga berakhirnya masa persiapan BPUPKI pada tanggal 17 Juli 1945, BPUPKI berhasil menyusun dasar negara (Pancasila), pembukaan UUD (Piagam Jakarta) sebagai norma dasar yang menjiwai bantang tubuh UUD sebagai aturan dasar.
Jika diamati memang secara mekanisme sila keempat dari Pancasila memang mengarah kepada sebuah bentuk pemerintahan secara perwakilan. Hal tersebut tertulis dengan jelas dalam sila keempat. Namun, yang perlu dicermati adalah adanya syarat moralitas yang tinggi dalam lembaga perwakilan, yaitu dalam kata-kata ”dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan”. Dengan kata lain lembaga perwakilan yang ada tidak sekedar mewakili aspirasi seluruh Indonesia melainkan harus adanya kesadaran moralitas etis yang tinggi dalam diri para wakil rakyat. Perjuangan akan keadilan dan martabat manusia harus menjadi kunci perwakilan mereka.
Pada titik inilah dapat dipahami apa yang diserukan oleh para ilmuwan. Secara legal, memang pengesahan UU Pilkada sudah sesuai dengan formalitas hukum yang berlaku. Namun, yang menjadi sorotan tajam dari para ilmuwan adalah sisi moralitas yang ada dalam diri para anggota DPR yang menghendaki berlakunya UU Pilkada. Para ilmuwan menyebut mereka sebagai pembajak demokrasi yang tidak tahu berterima kasih kepada rakyat. Mereka dengan jelas mata hanya memperjuangkan kepentingan kelompoknya sendiri tapi dengan mengatasnamakan rakyat. Apakah mereka pernah mendiskusikannya dengan rakyat yang mereka wakili?
Lebih lanjut, jika mereka berargumen bahwa UU Pilkada ingin mengenbalikan kembali asas Pancasila, hal tersebut tentu juga mempunyai konsekuensi logis terhadap pelaksanaan pemilu Presiden dan Gubernur. Apakah dengan demikian mereka juga menolak pemilu langsung Presiden dan Wakil Presiden? Bukankah pemilu langsung juga merupakan buah dari reformasi yang terjadi untuk memperbaiki masa Orde Baru? Jika itu yang diinginkan oleh para anggota DPR yang menyetujui UU Pilkada, maka hal tersebut jelas merupakan sebuah kemunduran besar bagi demokrasi yang telah diawali secara tragis melalui reformasi. Jangan-jangan memang ada upaya untuk membangkitkan kembali negara totaliter ala Orde Baru.
Hak Asasi Manusia, Demokrasi Dan Pemilu
Istilah Hak Asasi Manusia atau yang sering disingkat HAM tentu sudah tidak asing lagi ditelinga kita. HAM mempunyai paham yang menegaskan bahwa setiap manusia mempunyai hak yang dimiliki oleh manusia bukan berasal dari negara ataupun hukum positif yang berlaku, melainkan karena martabatnya sebagai manusia. Dengan kata lain, manusia memilikinya karena manusia. Hal tersebut kemudian mengandaikan juga negara atau hukum tidak pernah bisa menghilangkan atau menghapusnya. Memang hukum dan negara bisa mengabaikan atau tidak mengakuinya. Namun, jika pengabaian itu terjadi, maka negara juga sama dengan mengabaikan martabat manusia.
Magnis Suseno menjelaskan bahwa menurut sifat dan arahnya masing-masing, hak asasi terbagi menjadi empat kelompok. Pertama, Hak-hak Asasi Negatif atau Liberal, hak ini diperjuangkan oleh kaum liberalisme yang pada dasarnya ingin melindungi kehidupan pribadi manusia dari campur tangan negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Beberapa contoh dari hak ini adalah hak atas hidup, kebebasan memilih jodoh, kebebasan memilih pekerjaan, kebebasan berpikir, kebebasan mengurus rumah tangga sendiri, dan masih banyak lagi lainnya. Hak-hak ini menjamin adanya sebuah ruang dimana setiap pribadi bebas menentukan sendiri dirinya. Pendasaran etis dari hak-hak ini adalah adanya tuntutan agar otonomi setiap orang atas dirinya sendiri selalu dihargai dan dihormati.
Kedua, Hak-hak Asasi Aktif atau Demokrasi, hak ini diperjuangkan oleh kaum liberal dan republikan yang mendasarkan diri pada pemahaman dasar hak-hak tersebut adalah keyakinan akan kedaulatan rakyat yang menuntut agar rakyat memerintahi diri sendiri dan setiap pemerintah berada di abwah kekuasaan rakyat. Hak ini disebut aktif karena memang rakyat menuntut adanya keikutsertaan aktif dalam menentukan arah perkembangan masyarakat. Lebih dalam, dalam paham ini menyakini adanya kesetaraan derajat sebagai manusia. Tidak ada pemerintahan yang sah apabila tidak ada penugasan oleh rakyat (pemerintah sebagai mandataris rakyat). Dalam hak ini pula pemahaman adanya hak semua warga negara untuk memilih wakil-wakilnya yang bertugas membuat undang-undang. Rakyat bebas mengangkat pemerintah dalam sebuah pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Lebih lanjut untuk kemudian juga mengontrol pemerintahan yang ada.
Ketiga, Hak-hak Asasi Positif, hak ini berkebalikan dengan hak negatif yang telah dibahas di atas. Hak-ahk positif justru menuntut prestasi-prestasi tertentu dari negara. Lebih lanjut, adanya pemenuhan-pemenuhan atau pelayanan-pelayanan yang diberikan pemerintah bagi masyarakat. Hak yang paling utama adalah perlindungan atas hukum. Hak positif ini berangkat dari anggapan bahwa keberadaan negara dan pemerintah sesungguhnya adalah untuk memberikan pelayanan-pelayanan tertentu. Dengan demikian negara wajib memberikan pelayanan karena memang masyarakat dengan sendirinya berhak menerimanya.
Keempat, Hak-hak Asasi Sosial, hak ini merupakan perluasan dari kewajiban pemerintah dalam memberikan jaminan perlindungan atas perjuangan kaum buruh dalam melawan kaum borjuis. Para buruh sering merasa terpaksa atas peraturan-peraturan sepihak yang ditetapkan oleh para pemilik modal karena memang mereka ada pada posisi yang membutuhkan pekerjaan. Sedangkan para pemilik modal dengan mudah meminggirkan mereka yang tidak menerima peraturan yang mereka tetapkan karena bisa dengan mudah mencari orang lain. Seolah kebebasan hanya yang dimiliki oleh kaum buruh tidak ada gunanya.
Pada titik ini kita bisa melihat hubungan pemilu dengan hak asasi manusia pada jenis hak asasi yang kedua, yaitu hak-hak asasi aktif dan demokrasi. Dengan lugas dapat dikatakan bahwa pemilu tidak langsung telah merenggut hak asasi manusia yang ingin ikut berpartisipasi aktif dalam menentukan perkembangan masyarakat dan negara. Pemilu tidak langsung yang ditetapkan dalam UU Pilkada jelas melawan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab yang termuat dalam sila kedua Pancasila. Kita bisa kembali pada perdebatan yang terjadi saat pendiri bangsa ini merumuskan Pancasila. Para pendiri bangsa ini sangat memberikan ruang yang luas bagi kedaulatan rakyat. Bagi mereka, kedaulatan rakyat menjad kunci bagi perkembangan dan kemajuan bangsa. Kedaulatan rakyat mengantisipasi praktek-praktek penomersatuan kepentingan kelompok yang disamarkan sebagai kepentingan rakyat seperti yang terjadi dalam proses di DPR saat ini. Dengan sangat jelas kepentingan golongan tertentu yang diutamakan oleh koalisi anggota DPR tertentu.
PUSTAKA
Latif, Yudi Negara Paripurna : Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia, Jakarta, 2011.
Suseno, Franz-Magnis, Etika Politik. Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
www.republika.co.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
- Aborsi
- Aristoteles
- belajar ilmiah
- Etika
- Etika Biomedis
- Etika Nickomakeia
- Etika Thomas Aquinas
- Filsafat Jawa
- Filsafat Ketuhanan
- Filsafat Manusia
- Filsafat Pendidikan
- Hegel
- Keadilan
- Kebenaran
- Keutamaan
- Komunikasi
- Opini
- Sejarah Filsafat Abad Pertengahan
- Soekarno
- theodicy
- tugas epistemologi
- tugas pengantar filsafat
- tugas resensi Filsafat Manusia
- Tulisan untuk buletin "Cogito" Nopember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar