Jumat, 13 Maret 2015

Analisis Kritis Atas Proyek “Revolusi Mental” Presiden Jokowi

Oleh : Kristoforus Sri Ratulayn K.N


Pengantar
Pada masa kampanye pemilu presiden yang lalu, Jokowi yang saat ini telah resmi dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke tujuh menulis sebuah opini dengan judul “Revolusi Mental” pada harian Kompas. Tulisan tersebut menjadi sebuah penegasan akan garis politik yang akan diusung Jokowi ketika terpilih dan menjabat menjadi Presiden. Lebih lanjut, di dalam tulisan tersebut termuat beberapa keprihatinan dan gagasan Presiden Jokowi tentang apa yang diperlukan bagi bangsa dan Negara Indonesia saat ini. Gagasan “Revolusi Mental” bisa dikatakan sebagai sebuah visi pribadi Presiden Jokowi selama lima tahun kedepan dalam memimpin Negara Indonesia.
Secara umum, gagasan Revolusi Mental yang dipaparkan oleh Presiden Jokowi berangkat dari fenomena kecemasan yang terjadi dalam masyarakat. Masyarakat masih saja mengalami kecemasan setelah puluhan tahun memasuki era refomasi. Presiden telah silih berganti dengan system pemilihan yang lebih demokratis dan mengakomodasi kebebasan berpendapat rakyat. Bidang ekonomi telah mengalami perkembangan yang cukup membanggakan. Namun mengapa masih terjadi kecemasan dalam masyarakat?
Presiden Jokowi berpendapat bahwa pasca reformasi yang menjadi pusat perhatian dan perbaikan hanya sebatas pada system kelembagaan dan konstitusi semata. Perbaikan yang terjadi pasca reformasi hanya berhenti pada system yang mengatur regulasi jalannya pemerintahan, mulai dari amandemen UUD 45, pembentukan lembaga independen seperti KPK, otonomi daerah, dan masih banyak lagi. Perbaikan tidak menyentuh pada manusianya sebagai pelaku dari system tersebut. Akhirnya, yang terjadi masih saja terjadi pewarisan budaya dari masa Orde Baru, seperti korupsi, intoleransi keberagaman, dan masih banyak lainnya. Dengan kata lain, secanggih apapun system yang dibentuk, tapi jika manusia yang menjalankannya tidak ikut dibentuk sama saja tidak ada artinya. Sama seperti seorang balita yang diberi gadget canggih, tentu akan dipukul-pukul dan dirusak karena memang tidak mengerti cara menggunakannya.
Perubahan dan perbaikan perlu sampai menyentuh pada perubahan cara pandangan atau paradigm manusia dan budaya politik. Lebih dalam, perlu adanya sebuah revolusi untuk menjawabi permasalahan-permasalahan tersebut. Revolusi yang dimaksud Presiden Jokowi bukanlah revolusi fisik, melainkan revolusi mental. Dengan kata lain, Jokowi ingin menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan national building yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.
Revolusi mental ini kemudian diisi oleh konsep Trisakti dari Presiden Sukarno, antara lain “Indonesia yang berdaulat secara politik”, “Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan “Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”. Revolusi mental dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu. Kemudian berlanjut ketingkat yang lebih luas, keluarga, lingkungan tempat kerja, masyarakat luas, dan akhirnya sampai pada tingkat negara
Tulisan ini ingin memberikan sebuah analisis kritis atas gagasan “Revolusi Mental” yang menjadi garis politik dan visi pribadi Presiden Jokowi. Dengan kata lain, penulis ini memberikan tinjauan secara teoritis dan kritis mengenai gagasan Revolusi Mental dari Presiden Jokowi. Penulis ingin memberikan pembenaran teoritis tentang gagasan Revolusi Mental yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi.
Sisi Lain Revolusi Mental
Gagasan Revolusi Mental memang menarik untuk dikajidan dipertimbangkan sebagai “obat” perbaikan bangsa dan Negara ini. Secara tajam Presiden Jokowi menyoroti bahwa pasca reformasi perubahan dan pembenahan yang terjadi hanya seputar dimensi konstitusional Negara. Artinya, banyak peraturan dibuat, system yang menjamin demokrasi dirancang, bahkan sampai mengamandemen UUD 45. Sedangkan lupa untuk mendidik manusia-manusia sebagai pelaku system tersebut agar siap secara moral menjalankan system yang dirancang. Sehingga yang terjadi system pemerintahan dan konstitusi melesat begitu maju tetapi manusia yang mejalankannya tetap dengan cara pandang dan budaya warisan Orde Baru yang sudah sangat mengakar kuat. Dengan kata lain, secanggih apapun system yang dibuat, jika tidak dibarengi dengan pengembangan manusia dengan cara pandang baru sama saja tidak ada gunanya. System dan manusia harus berjalan beriringan dalam perkembangannya.
Gagasan Revolusi Mental yang diusung oleh Presiden Jokowi di sisi lain membawa sejumlah kekawatiran bagi sebagian masyarakat. Gagasan Revolusi mental dianggap hanya sebagai upaya meningkatkan popularitas semata bagi Presiden Jokowi pada saat kampanye presiden agar banyak orang terpukau atasnya. Lebih lanjut, seperti upaya pencitraan pada umumnya yang menggunakan segala macam cara dan bujuk rayu untuk menghimpun dan memperoleh dukungan dari masyarakat. Sah-sah saja pendapat sebagaian orang tersebut. Karena memang mulai pelantikan Presiden dan dalam lima tahun kepemimpinannya baru akan terlihat dan terbukti apakah gagasan tersebut hanya sekedar teori atau sungguh-sungguh dilakukan oleh Presiden Jokowi dalam memimpin Negara ini. Waktu yang akan menjawab sanggahan pendapat kritis tersebut.
Lebih lanjut, jika memang gagasan Revolusi Mental sungguh-sungguh dilakukan, maka ada beberapa catatan lanjut yang perlu untuk juga dicermati dalam gagasan tersebut. Presiden Jokowi perlu secara kritis melihat konsekuensi logis dibalik gagasan besar Revolusi Mental yang akan menjadi garis politiknya. Kita perlu mengamati secara kritis-historis konteks penggunaan gagasan revolusi. Artinya, melihat kembali secara radikal apa yang dimaksud dengan revolusi? dan bagaimana sejarah mencatat berbagai gerakan yang mengatasnamakan revolusi? Bagaimana sesungguhnya revolusi yang dipahami oleh Presiden Jokowi? Pertanyaan-pertannyaan tersebut muncul dalam benak sebagian masyarakat yang mencoba mengambil jarak dari gagasan Revolusi Mental Presiden baru mereka. Berikut beberapa pertimbangan teoritis tentang revolusi atau setiap tindakan yang sifatnya revolusioner.
Pertama, ada beberapa arti revolusi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, revolusi 1) berarti perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata); 2) perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang; 3) peredaran bumi dan planet-planet lain dl mengelilingi matahari. Dengan melihat arti tersebut, dalam konteks politik atau pemerintahan revolusi selalu menggunakan arti yang pertama. Gagasan Revolusi Mental yang dicanangkan Presiden Jokowi jelas berada dalam konteks politik dan pemerintahan. Maka bisa disimpulkan bahwa revolusi yang akan dilakukan oleh Presiden kita tentu cenderung mempunyai tarikan yang kuat kepada arah kekerasan. Kata revolusi yang dipakai oleh Presiden Jokowi jelas mengerikan jika konsekuensinya kearah tindakan kekerasan bahkan dengan perlawanan bersenjata.
Lebih lanjut, revolusi jelas berbeda dengan evolusi. Revolusi berarti proses perubahan yang terjadi dengan seketika atau cepat. Sedangkan evolusi lebih pada sebuah proses perubahan bertahap yang terjadi dari waktu ke waktu yang cenderung lama. Revolusi tidak mengenal tahapan dalam proses perubahannya. Apa atau siapapun itu, mau atau tidak mau harus ikut berubah di dalamnya. Siapa yang mencoba melawan dalam gerakan perubahan seketika itu akan ikut digilasnya. Dengan demikian, jika Presiden Jokowi menginginkan sebuah revolusi jelas akan ada sebuah shock terjadi dalam masyarakat. Masyarakat harus dengan cepat mengikuti gerak perubahan yang diinginkan oleh gerakan perubahan tersebut. Siapa saja siap atau tidak siap harus bergerak di dalamnya. Pertanyaanya, apakah yakin tidak akan ada korban di dalam proses tersebut? Jika memakan korban, pengorbanan seperti apa yang ada dalam pikiran Presiden kita dalam revolusi ini?
Revolusi berkedatan dengan sikap perlawanan yang terjadi dalam masyarakat akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah yang ada. Sikap perlawanan tersebut dikarenakan pemerintahan yang berkuasa menindas terus menerus dan melanggar ketidakadilan masyarakat. Sedangkan revolusi sendiri berarti sebuah perlawanan yang tidak hanya menetang kebijakan atau peraturan tertentu, melainkan bertujuan untuk menumbangkan pemegang kekuasaan dan mengubah seluruh system ketatanegaraan. Revolusi menuntut sebuah perubahan mendasar dan mendadak undang-undang dasar Negara oleh sebuah gerakan massa. Lebih lanjut, yang menjadi cirri khas dari revolusi adalah sifanya yang tidak legal, atau tidak berdasarkan hukum yang berlaku. Dengan demikian, revolusi jelas tidak bisa dinilai dalam konteks legalitas, melainkan legitimasi moral. Karena memang revolusi sendiri bertentangan dengan hukum yang berlaku. Malahan revolusi akan menciptakan hukum dan ketatanegaraan baru apabila memperoleh kemenangan.
Kemudian pertannyaan yang muncul atas dasar penilaian legitimasi moral adalah apakah revolusi dapat dibenarkan? Apakah melawan sebuah pemerintahan yang menindas dan melanggar keadilan tidak dibenarkan? Saya tidak ingin memberikan jawaban yang pasti atasnya, melainkan hanya akan memberikan pertimbangan-pertimbangan jika memang jalan revolusioner yang dipilih. Sesungguhnya mengapa memilih jalan revolusi sebagai sarana mencapai tujuan?
Magnis Suseno dalam bukunnya memberikan beberpa pertimbangan. Pertimbangan pertama, jalan revolusi sesungguhnya jalan yang sudah pasti memakan banyak korban dan penderitaan. Dan sudah pasti rakyat kecillah yang paling banyak menjadi korbannya. Lebih dalam, akan juga terjadi banyak kerusakan diberbagai bidang, ekonomi, politik, bahkan budaya. Apakah layak dan pantas mengurbankan banyak orang demi mencapai tujuan tertentu di masa depan? Sepadankah penderitaan yang dialami selama proses revolusi demi mencapai sebuah tujuan dengan alasan demi masa depan anak cucu? Bukankah yang perlu dijaga, dirawat dan dilindungi adalah manusia-manusia yang hidup di masa kini, bukan masa depan?
Pertimbangan kedua, andaikata revolusi mampu menang dan mencapai tujuannya, seberapa besar jaminan bahwa para pemimpin gerakan revolusioner akan memberikan kebijakan yang lebih baik dibandingkan pemerintahan sebelumnya? Bukankah ketika selesainya revolusi semua hancur dan dimulai dari awal? Pengalaman hamper secara universal membuktikan bahwa pemerintahan hasil revolusi malah menjadi lebih jahat dari pemerintahan yang berhasil ditumbangkannya. Hal tersebut dikarenakan mental yang terbentuk dari para penggerak revolusi yang harus berjuang dengan keras, tegas, dan tanpa belas kasihan dalam menumbangkan kekuasaan yang ada. Hingga akhirnya ketika mereka berkuasa, mental tersebut terbawa saat mereka menjadi pemimpin yang baru.
Lebih lanjut, pemerintah revolusioner tidak pernah dapat diharapkan bersedia untuk menciptakan konstitusi-konstitusi yang lebih demokratis. Bagi mereka hal tersebut sama saja menyerahkan pemerintahan pada sebagaian orang kalangan menengan yang selama perjuangan tidak pernah sungguh-sungguh ikut memperjuangkannya. Sudah barang tentu mereka ingin menikmati hasil dari perjuangan mereka selama beberapa tahun.
Beberapa pertimbangan tersebut menunjukkan betapa jalan revolusi memiliki harapan yang kecil untuk terjadinya perubahan kearah yang lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada jaminan pasti bahwa setelah revolusi, jaminan akan perlindungan hak-hak asasi, keadilan, dan penghargaan terhadap martabat manusia akan lebih baik. Karena revolusi sesungguhnya juga bagian dari sarana memperoleh kekuasaan. Dan setelah kekuasaan berada dalam genggaman belum tentu juga dengan mudah mereka berikan kepada kehendak umum masyarakat. Sisi lain, secara etis, tidak pernah boleh mengurbankan manusia demi mencapai tujuan yang diharapkan.
Kedua, dalam teori sejarah, gerak peruabahan secara revolusi digambarkan seperti sebuah garis sejarah yang terputus-putus. Lebih dalam, digambarakan seperti sebuah garis yang bergerak lurus kemudian terputus begitu saja karena revolusi dan dimulai dari titik nol lagi, begitu terus selanjutnya. Gerak sejarah dengan revolusi membuat keterputusan dengan proses yang terjadi sebelumnya. Perubahan tersebut berbeda dengan gerak sejarah secara siklis ataupun dialektika. Gerak sejarah dialektika selalui merupakan proses pembaruan terus menerus tanpa meninggalkan konteks gerak sebelumnya. Jika digambarkan gerak sejarah secara dialektika, maka akan didapatkan seperti sebuah spiral. Dalam proses dialektika ada tesis yang berhadapan dengan antithesis, kemudian muncul sintesis. Sintesis kemudian berubah menjadi tesis baru dan muncul sintesis baru pula, begitu seterusnya.
Apakah gerak sejarah revolusi yang demikian yang diinginkan oleh Presiden Jokowi? Sebuah gerakan perubahan yang sungguh-sungguh baru dan membuang segala hal yang telah ada dari hasil proses sebelumnya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana hal tersebut mungkin untuk terjadi. Pertanyaanya apakah sungguh tidak ada kebaikan dalam proses yang terjadi sebelumnya? Sungguhkah tidak ada paradigma dan cara pandang, atau budaya poltik baik yang terjadi pasca reformasi? Bukankah Presiden Jokowi juga terpilih dari budaya poltik hasil dari proses pasca reformasi? Jika Presiden Jokowi menganggap hal tersebut kurang meyakinkan, berarti sah juga kalau orang lain juga meragukan dirinya. Karena memang beliau juga terpilih dari budaya dan cara pandang demikian.
Ketiga, terakhir yang menjadi pertanyaan saya untuk gagasan Revolusi Mental. Pada bagian awal gagasannya Presiden Jokowi berpendapat bahwa yang perlu dibenahi adalah sisi manusianya sebagai pelaku dari system. Lebih lanjut, beliau berpendapat selama ini yang menjadi fokus hanya sekedar pembenahan system dan belum menyentuh aspek pembentukan cara berpikir manusia sebagai pelaku system. Namun, dalam gagasan Trisakti sebagai isi dari Revolusi Mental, lagi-lagi beliau kembali dan lebih condong kepada pembenahan system. Pada titik mana gagasan Trisakti tersebut sungguh-sungguh menggarap sisi pembentukan manusia yang menyentuh sampai pada pembentukan paradigm manusia sebagai pelaku system.
Cita-cita bersama menjadi sebuah Negara yang berdaulat dan berbudaya memang perlu senantiasa diperjuangkan oleh segenap komponen Negara ini. Namun cita-cita yang baik perlu juga mempertimbangkan cara-cara yang baik dan benar pula untuk mencapainya. Perlu adanya sebuah gerakan pertimbangan yang lebih mendasar yaitu legutimasi etis, ketimbang pertimbangan legalitas semata. Bangsa ini membutuhkan gerakan sadar moral ketimbang sadar hukum yang selama ini didengung-dengungkan. Selamat berkarya Presiden Jokowi. Jaya terus Indonesia!!!

PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 2011.
Suseno, Franz-Magnis. Etika Politik. Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar