Jumat, 29 Agustus 2014

Damailah Negeriku

Oleh: Kristoforus Sri Ratulayn K.N


Lagi-lagi bangsa ini didera dengan kerusuhan yang bernuansa SARA. Bagaimana tidak? banyak fenomena kekerasan sampai pada pembunuhan yang mengatasnamakan agama. Mulai dari penyerangan jemaat Ahmaddiyah, pengerusakan Gereja di Temanggung, Jawa Tengah, dan masih banyak lagi lainnya. Kekerasan yang terjadi tersebut membawa duka dan panggilan bagi segenap elemen bangsa ini untuk mengoreksi diri.
Isu mengenai SARA sangat sensitif dan rawan terjadi salah paham di negara Indonesia. Apalagi ketika kita menengok bahwa Negara kita merupakan Negara multikultur. Orang mudah tersinggung ketika ada yang meremehkan kelompoknya. Sebagaian besar kelompok di Negara ini beranggotakan orang-orang yang cenderung mengarah ke sikap fundamental, eksklusif, dan tertutup untuk berdialog demi kesejahteraan bersama. Lantas apakah yang kurang dari Negara ini sehingga masih terjadi kekerasan dan pelanggaran hak asasi di dalamnya? Sebuah utopiakah harapan akan hidup bersama demi sebuah kesejahteraan bersama? Berharap akan terciptanya masyarakat multikultur yang hidup bersama dengan sebuah aturan yang mengarah kepada kebaikan bersama.

Kekerasan antar Umat Beragama
Peristiwa penyerangan hingga terdapatnya korban jemaat salah satu agama yang sedang melaksanakan ibadatnya sungguh menjadi pukulan tersendiri bagi bangsa ini. Para penyerang bertindak irasional. Bagaimana mungkin melakukan pembunuhan atas nama Tuhan ataupun agama? Tuhan seperti apa yang memerintahkan manusia saling membunuh? Bukankah sebuah kontradiksi yang terjadi dari pandangan penyerangan antar umat beragama. Di Indonesia masih sangat rawan terjadinya gerakan anarki, karena paham eksklusif masih sangat kental mewarnai dinamika hidup di dalamnya.
Penyerangan dan kekerasan yang mengatasnamakan agama sungguh sulit untuk dipahami dengan akal sehat. Karena jika memang benar ada agama yang memperbolehkan membunuh sesama manusia, maka bukankah atheisme yang humanis dan nasionalis lebih mulia? Hal ini jika dibandingkan mereka yang mengaku beribadah dan menyembah Tuhan, tapi saling menjadi serigala atas sesama manusia. Karena memang nilai penghormatan akan martabat manusia menjadi yang utama dalam dinamika hidup bersama. Menjadi sebuah tanda tanya tersendiri bagi penulis, apakah ini implikasi dari dipisahkannya akal budi dengan iman dalam sebuah agama? Dalam titik ini ajaran agama perlu dipertanyakan lagi dengan kajian yang lebih dalam lagi.
Lebih dalam, agama perlu juga melakukan pemahaman yang benar, menyeluruh, dan mendalam tentang ajaran-ajaran yang menjadi dogma mereka. Karena memang dimungkinkan penangkapan ajaran yang setengah-setengah dan kurang mendalamlah yang membuat pengikutnya bergerak kearah penganiayaan dan main hakim sendiri. Melakukan tindakan anarki tanpa melalui proses dialog dan komunikas. Apalagi kebanyakan orang Indonesia kurang terdidik untuk berpikir kritis dan menekankan pemikiran akal budi.
Kemudian, di sisi lain melihat kinerja para aparat penegak hukum yang terkesan tidak berkutik ketika tindakan main hakim sendiri terjadi. Peristiwa penyerangan tersebut seperti menjadi titik awal kehancuran sebuah Negara yang menjunjung tinggi nilai kebebasan beragama, seperti yang tertulis pada Undang-undang Dasar 1945. Negara atau mungkin lebih tepatnya para pemegang otoritas seolah tidak punya gigi lagi dalam menjamin kebebasan beragama para warganya. Dimanakah keadilan dan perlindungan akan martabat manusia yang seharusnya diberikan oleh penegak hukum?
Para pemegang otoritas untuk melindungi korban dan menjatuhkan sanksi kepada para pelaku penganiayaan seharusnya memegang kepercayaan legitimasi yang diberikan oleh rakyat. Rakyat sesungguhnya mempunyai harapan akan dipenuhinya perlindungan terhadap kebebasan dan hak asasi mereka. Dengan demikian pemerintah mempunyai legitimasi dan otoritas untuk menegakkan hukum ketika mulai dilanggarnya hak asasi seseorang. Namun, yang terjadi di Negara ini malah pemerintah seolah tidak lagi mampu memegang apa yang telah diamanatkan rakyat kepada mereka. Akhirnya tinggal menunggu rakyat mencabut legitimasinya terhadap pemerintah seperti saat penggulingan Orde Baru.
Masalah hidup keagaaman memang bukan urusan pemerintah dan memang pemerintah tidak berhak turut campur di dalamnya. Lebih dalam, bahwa antara agama dan politik praktis tidak boleh dicampur adukkan. Jika hal itu terjadi maka akan terjadi ketidakadilan dan penindasan di dalamnya, sejarah sudah banyak membuktikannya. Namun, pemerintah harus tegas ketika nilai-nilai pelanggaran hak asasi, kekerasan, apalagi sampai pada pembunuhan. Karena memang hal tersebut sudah masuk kedalam wilayah hukum positif negara.

Komunikasi
Sebagai Negara multikultur, diperlukan sebuah cara hidup bersama mengarah kepada kesejahteraan bersama. Adalah jurgen Habermas seorang filsuf aliran teori kritis Jerman yang mencoba menawarkan sebuah cara hidup bersama yang mengarah terciptanya kesejahteraan bersama. Habermas berpendapat bahwa diperlukan sebuah komunikasi yang berkualitas dalam membangun hidup bersama. Berkualitas artinya mengandung kejujuran, kebenaran, koherensi, tanpa dominasi, dan egaliter.
Lima unsur di atas perlu dibawa dan dihidupi oleh semua orang, dalam konteks ini semua elemen bangsa Indonesia. Dengan komunikasi yang berkualitas, kesalahpahaman dan kekerasan menjadi lebih kecil untuk terjadi. Alangkah indahnya jika sebagian besar bangsa ini mengedepankan sikap komunikasi atau dialog dengan unsure-unsur yang diajukan oleh Habermas di atas. Dalam titik inilah penulis katakan apakah itu hanya menjadi sebuah republic impian yang tidak akan pernah bisa terjadi? Hal ini mengingat kurang terbiasanya bangsa ini dengan sebuah dialog yang penuh kejujuran. Semua pasti menggendong kepentingan tersembunyi yang tidak berani diungkapkan secara fair.
Habermas kemudian melengkapi sistem idenya mengenai teori komunikasi. Karena dia mengamati memang tidak semua orang mampu untuk berkomunikasi. Akhirnya, Habermas menekankan pada pembuatan hukum harus didasarkan dan dihasilakan dari komunikasi yang berkualitas. Pembentukan hukum harus dilandaskan pada komunikasi yang jujur, benar, mendalam, egaliter, dan tanpa dominasi dari pihak tertentu.
Memang sebuah perjuangan tersendiri untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang terbiasa dengan komunikasi ala Habermas. Apalagi di tengah masyarakat yang multikultur dan kadang cenderung ekslusif. Namun, usaha untuk terus mengedepakan dialog dan komunikasi merupakan tanda sebuah Negara yang beradab. Dengan komunikasi yang berkualitas orang dituntun untuk semakin mendekati kebenaran. Sehingga terciptalah kesejahteraan bersama dalam republic ini.***

Telaah Aborsi Dalam Etika Biomedis

Oleh :
Kristoforus Sri Ratulayn K.N
Stevanus Findy Arianto


Pendahuluan
Dewasa ini aborsi menjadi topik diskusi dan perdebatan terutama di dalam pro choice dan pro life. Di kalangan pro choice menganggap aborsi legal karena adanya alasan kesehatan dan kehidupan seorang ibu. Lebih lanjut, kalangan pro choice, aborsi memang diperkenankan karena asumsi dasar mereka tentang aborsi adalah intervensi pada bayi “yang belum jadi.” Berbeda halnya dengan pro choice, pro life lebih anti pada aborsi itu sendiri Karena bagi mereka aborsi merupakan pembunuhan. Pro life lebih memilih kehidupan dari pada pilihan untuk aborsi itu sendiri. Apabila kehamilan si ibu didiagnosis akan berpengaruh pada kesehatan dan kehidupan ibu, pro life akan terus menguasahkan keduanya (ibu dan bayi) selamat.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahun di dunia diperkirakan 40-50 juta wanita menghadapi kehamilan yang tidak direncanakan memutuskan untuk melakukan aborsi. Hal ini terkait dengan sekitar 125.000 aborsi per hari. Angka yang cukup mengerikan. Angka itu menunjukkan bahwa manusia dapat dengan mudah melakukan aborsi dengan alasan apapun tanpa (sebenarnya) tahu hukum moral yang harus dipakai dalam mempertimbangkan aborsi itu sendiri. Ironinya, dunia kedokteran bahkan menganggap aborsi sebagai satu hal yang biasa karena kedokteran kadang juga melupakan etikanya.
Di tengah realitas semacam itu, filsafat ingin melihat aborsi di dalam esensinya. Untuk inilah Filsafat dan Etika mengkritisi dan merefleksikan lagi hakikat aborsi. Dengan memahami esensi atau hakikat dari aborsi ini, diharapkan tahu nilai dan moralitas yang ada di balik aborsi itu sendiri. Dengan adanya etika sebagai line kritis, maka setiap tindakan harus selalu didasari oleh nilai-nilai moral tersebut. Sehingga manusia menuju apa yang baik itu sendiri.
Etika dewasa ini juga terus memperbaharui dirinya hingga muncul etika bisnis, etika pemasaran, hingga etika kedokteran. Dalam paper ini tentu saja kami akan menitik beratkan permasalahan aborsi dengan etika kedokteran itu sendiri. Etika biomedis sendiri pada dasarnya merupakan “the study of the ethical, social, legal, philosophical and other related issues arising in the biological sciences and in health care.” Di lihat dari definisi itu saja sudah jelas bahwa etika biomedis lebih cenderung mengarah pada ilmu kedokteran itu sendiri. Bioetika sendiri pada dasarnya berasal dari bahasa Yunani, “bios” yang artinya kehidupan dan ethikos yang artinya moral. Dalam pandangan kami, apabila etika biomedis ini diterapkan maka kehidupan akan menjadi satu hal yang menjadi tujuan dunia kedokteran.
Paper inipun lebih mengarah pada telaah etika biomedis terhadap aborsi itu sendiri. Artinya, kami ingin melihat dan memahami bagaimana etika biomedis memandang aborsi. Saat kita mengerti konsep-konsep aborsi dalam kacamata moral, maka moral judgement nya pun bisa dipahami dan diaplikasikan di dalam kehidupan. Dengan demikian, konsep secara aborsi baik secara konsep atau praksis menjadi jelas. Tanpa adanya pemahaman tentang aborsi dan seluk beluknya, maka aborsi akan terus rentan terjadi dan tak dapat dibendung. Akibatnya nilai-nilai moralpun menjadi kabur.
Untuk itu kami akan membagi paper ini menjadi beberapa pokok bahasan. Pertama, kami akan menjelaskan konsep aborsi itu sendiri dari sudut pandang etika dan moral. Kedua, kami akan menjelaskan The Beginning of Human Person’s life. Ketiga, penjelasan mengenai teori etika yang akan kami gunakan untuk kemudian menganalisis atau memberikan penilaian atas tindakan aborsi. Dan terakhir sebuah kesimpulan atas keseluruhan tulisan kami.

II. Hakikat Aborsi
Aborsi memiliki banyak pengertian dari berbagai sudut pandang. Dari sudut pandang kedokteran, aborsi merupakan Tindakan penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan (sebelum usia 20 minggu kehamilan), bukan semata untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dalam keadaan darurat tapi juga bisa karena sang ibu tidak menghendaki kehamilan itu. Logikanya, ilmu kedokteran melihat bahwa sebelum usia 20 minggu kehamilan janin tersebut bukan manusia tetapi hanya segumpal daging belaka.
Menurut kedokteran, aborsi memiliki bermacam-macam jenis, antara lain:
1. Spontaneous abortion: gugur kandungan yang disebabkan oleh trauma kecelakaan atau sebab-sebab alami.
2. Induced abortion atau procured abortion: pengguguran kandungan yang disengaja. Termasuk di dalamnya adalah:
a) Therapeutic abortion: pengguguran yang dilakukan karena kehamilan tersebut mengancam kesehatan jasmani atau rohani sang ibu, kadang-kadang dilakukan sesudah pemerkosaan.
b) Eugenic abortion: pengguguran yang dilakukan terhadap janin yang cacat.
c) Elective abortion: pengguguran yang dilakukan untuk alasan-alasan lain.
Dalam hal ini, kami akan membahas pengerti aborsi pada poin kedua yakni aborsi yang dilakukan dengan sengaja. Karena dalam pandangan kami, aborsi yang terjadi secara alami memang tidak membawa dampak moral.
Berbeda halnya dengan pengertian aborsi di atas, Etika dan moral mengartikan aborsi sebagai “The deliberate and direct killing, by whatever means it is carried out, of a human being in the initial phase of his or her existence, extending from conception to birth.” Dilihat dari arti ini, jelaslah bahwa aborsi adalah tindakan membunuh secara langsung. Artinya, intensi dari aborsi itu sendiri adalah membunuh bayi yang belum lahir. Maka tindakan aborsi lebih mengarah pada tindakan immoral itu sendiri.
Lepas dari alasan aborsi seperti kesehatan atau keselamatan nyawa ibu, aborsi pada dasarnya merupakan tindakan yang tidak menghargai kehidupan. Kehidupan manusia harus menjadi satu hal yang central dan fundamental dari etika biomedis. Artinya, pokok atau standart biomedis haruslah mengarah dan selalu diarahkan pada kehidupan manusia itu sendiri. Apabila kehidupan manusia tidak menjadi focus utama, maka yang terjadi adalah dehumanisasi (tidak memanusiakan manusia). Tujuan dan focus utama adalah kehidupan manusia, maka logikanya tindakan apapun yang mengakibatkan berhentinya kehidupan manusia adalah tindakan immoral. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa aborsi adalah tindakan immoral karena intensinya untuk membunuh.
Masalah utama di dalam aborsi adalah soal kapan manusia itu bermula (The Beginning of Human Person’s life). Dalam hal ini kita harus merunut lagi proses terjadinya janin. Beberapa pendapat mengatakan bahwa sebelum usia 20 minggu kehamilan, janin itu belum merupakan manusia. Jadi logikanya, janin pada usia 20 minggu ke bawah bisa diaborsi. Akan tetapi, pendapat lain mengatakan bahwa saat masih berbentuk Zigot, manusia sudah ada. Untuk itu, kami akan membahas hal itu lebih lanjut pada pokok pembahasan selanjutnya.

III. The Beginning of Human Person’s life
Jelaslah bahwa dunia kedokteran memandang kehidupan manusia bermula dari janin yang berusia 20 minggu ke atas. Maka, janin yang masih berusia 20 minggu ke bawah bukanlah manusia. Akan tetapi, secara etika permulaan kehidupan manusia itu dimulai pada saat ovum dibuahi. Artinya, etika melihat awal kehidupan manusia seara lebih dalam yakni saat terjadi proses pembuahan ovum oleh sperma. Logikanya, janin yang berusia 20 minggu kebawah adalah manusia itu sendiri.
"From the time that the ovum is fertilized, a new life is begun which is neither that of the father nor of the mother; it is rather the life of a new human being with his own growth. It would never be made human if it were not human already. To this perpetual evidence ... modern genetic science brings valuable confirmation. It has demonstrated that, from the first instant, the programme is fixed as to what this living being will be: a man, this individual-man with his characteristic aspects already well determined. Right from fertilization is begun the adventure of a human life, and each of its great capacities requires time ... to find its place and to be in a position to act".
St. Thomas Aquinas, seturut Aristoteles, dalam hal ini memandang embrio sebagai potensi. Artinya, di dalam embrio tersebut ada jiwa manusia yang berpotensi untuk menjadi tubuh yang bersifat material. Jiwa manusia memungkinkan manusia itu hidup. “Just as the soul in an embryo is in act, but imperfectly, so also it operates, but imperfect operations.” Artinya, di dalam embrio itu sudah ada jiwa yang mampu menggerakkan dan sekaligus menjadi esensi tubuh. Logikanya, apabila esensi manusia yaitu jiwa sudah ada di dalam embrio maka embrio itu sudah manusia karena ada substantial form di dalamnya.
Lebih lanjut, yang perlu dipahami di sini adalah konsep mengenai potensi dan aktus. Potensi merupakan sesuatu yang ada dan keberadaannya tidak bisa disangkal. Dalam hal ini, embrio manusia merupakan potensi yang dapat mengarah pada aktus itu sendiri, yakni manusia. Artinya, di dalam embrio itu ada potensi untuk menjadi manusia. “[Things] are always in potentiality to actuality when they can be reduced to actuality by their proper active principle with nothing external hindering them. However, seed is not yet such. For it must be by many changes that an animal comes from it. But when by its proper active principle, namely, something actually existing, it can already become such, it is then already in potentiality.”
Dengan demikian jelaslah bahwa permulaan kehidupan manusia itu ada pada saat ovum dibuahi dan kemudian membentuk embio atau zigot. Artinya, mulai dari tingkat yang paling kecil sekalipun embrio itu sudah manusia karena ada potensi dan bahkan jiwa di situ. Karena itu, manusia harus dihargai pada awal eksistensinya sebagai manusia karena diawal eksistenti itu, manusia sudah punya hak dan kebebasannya termasuk kebebasan dan hak untuk hidup.

III. Judgment Etika Terhadap Aborsi (Teori dan Analisis)
Pembahasan mengenai etika sangat menarik untuk terus dikaji setiap waktu. Apalagi ketika melihat fenomena masih sangat kuatnya daya ikat di zaman sekarang. Di tengah berbagai kemajuan teknologi, etika seoalah menjadi ”polisi” bagi para ilmuwan dalam melakukan eksperimen-eksperimen mereka yang terkadang hendak melampaui batas alamiah. Hal ini terlihat jelas ketika para ilmuwan mulai mampu melakukan cloning pada hewan dan hendak mengaplikasikannya pada manusia. Pada bagian ini akan kami bahas bagaimana etika memberikan pertimbangan moral atas kasus aborsi.
Etika sendiri merupakan salah cabang dari filsafat. Kata etika sendiri berasal dari bahasa Yunani Ethike dan tekhne yang berarti sebuah ilmu tentang moral. Jika ditelusuri lebih dalam, kata ethike berarti juga ethos yang artinya alami (nature). Dengan demikian etika kurang lebih berarti sebuah ilmu tentang tindakan manusia menurut hakikat alaminya. Dengan demikian jelas bahwa standar dari setiap tindakan manusia adalah apa yang menjadi hakikatnya sebagai manusia (nature).
Setiap tindakan manusia dikatakan baik apabila sesuai dengan hakikatnya sebagai manusia. Kemudian tindakan manusia dikatakan buruk jika tidak sesuai dengan kodrat atau hakikatnya. Lebih dalam, bahwa kebaikan dan kejahatan dalam tindakan manusia disebut sebagai moralitas. Moralitas menyangkut kebaikan atau kejahatan dalam tindakan manusia. Dengan demikian etika juga berarti ”studi mengenai sesuatu yang melekat dalam kebaikan dan kejahatan dari tindakan manusia sesuai dengan standar kodratnya sebagai manusia dalam sebuah keteraturan untuk mencari sesuatu yang baik untuk dilakukan”
Kemudian pertannyaan bagaimana aborsi dinilai berangkat dari definisi tentang etika tersebut? Dalam definisi tersebut ada lima poin penting yang terkandung di dalamnya. Pertama, mengenai sesuatu yang melekat (inhernt), artinya terdapat sebuah anugerah yang melekat atau diberikan begitu saja kepada manusia, menyatu di kodrat manusia. Kedua, mengenai moralitas (morality) seperti pada penjelasan sebelumnya, yaitu mengenai kebaikan dan kejahatan dalam tindakan manusia.
Ketiga, tindakan manusia (human acts) bahwa setiap tindakan manusia selalu antara atau baik atau buruk. Dengan kata lain, tidak ada tindakan yang netral. Manusia yang hidup berdasarkan kodratnya berarti tindakan yang ia lakukan adalah kebaikan. Namun tindakan yang jahat adalah tindakan yang tidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Manusia mempunyai kebebasan untuk hidup mengikuti atau menolaknya.
Keempat, berkaitan dengan kodrat manusia (human nature), yaitu bahwa manusia mempunyai sesuatu yang tertanam dalam dirinya karena ia merupakan ciptaan. Manusia tidak menciptakan dirinya sendiri. Dengan demikian tindakan baik atau buruk manusia ditentukan oleh Pencipanya. Semua mengarah kepada pencarian akan sesuatu yang baik untuk kemudian dilakukan.
Aborsi jelas menolak apa yang melekat dalam diri manusia, yaitu bahwa aborsi telah membunuh atau mencabut nyawa dan kehidupan manusia. Lebih lanjut, bahwa tubuh manusia merupakan anugerah dari Sang Pencipta dan bukan milik manusia pribadi secara mutlak. Tubuh bukan hanya sekedar alat untuk mencapai kebaikan, melainkan bermakna baik bagi dirinya sendiri. Lebih dalam, zygot sudah merupakan pribadi yang mempunyai martabat sama seperti manusia dewasa. Meskipun zygot ada dalam tubuh manusia dan belum berbentuk sempurna, namun tetaplah ia telah menjadi manusia yang unik.
Aborsi selalu merupakan sebuah kejahatan. Dengan kata lain tidak ada alasan yang membenarkan untuk melakukan aborsi. Alasannya jelas karena aborsi adalah sebuah pembunuhan. Lebih lanjut, pembunuhan merupakan sebuah tindakan yang tidak sesuai dengan kodrat manusia. Kodrat yang dimaksud di sini adalah bahwa seturut dengan perintah Sang Pencipta. Kehidupan bukanlah milik manusia seutuhnya, melainkan tetap dalam ikatan dengan Sang Pencipta.
Kualitas hidup dari janin sama derajatnya dengan manusia dewasa. Karena memang janin pun merupakan pribadi baru dan unik. Jadi janin tidak pernah boleh dikorbankan. Membunuh janin jelas melanggar kodrat dan martabat manusia.

IV. Kesimpulan
Aborsi aktif adalah sebuah tindakan menggugurkan atau membunuh dengan aktif janin yang ada dalam kandungan seorang perempuan. Sedangkan pengertian atau awal kehidupan manusia adalah ketika sperma dan ovum bertemu. Sejak sperma dan ovum bertemu, saat itulah seorang pribadi atau manusia utuh dalam bentuk potensi ada. Potensi menjadi sangat penting karena dari potensi itulah wujud manusia utuh juga ada dan terkandung di dalamnya. Kehidupan bukan berawal dari kelahiran manusia, melainkan berawal terbentuknya genetik baru dengan pertemuan sperma dan ovum.
Salah satu tinjauan etika adalah sebuah ilmu yang membawa penyadaran bahwa seseorang harus hidup berdasarkan kodratnya. Kodrat manusia merupakan sebuah anugerah dari Sang Pencipta yang tertanam sejak awal manusia hidup. Menggugurkan janin jelas melanggar kodrat dan martabat manusia. Hidup manusia bukanlah mutlak sepenuhnya menjadi milik manusia itu sendiri. Melainkan kehidupan dipandang sebagai anugerah dari Pencipta untuk kemudian dijalani dan dipertanggungjawabkan seturut kehendak Pencipta.






DAFTAR PUSTAKA
CONGREGATION FOR THE DOCTRINE OF THE FAITH, INSTRUCTION ON RESPECT FOR HUMAN LIFE IN ITS ORIGIN AND ON THE DIGNITY OF ROCREATION REPLIES TO CERTAIN QUESTIONS OF THE DAY
Doctrinal Congregation Instruction on Some Bioethical Questions, Instruction "Dignitas Personae". published today by the Congregation for the Doctrine of the Faith. Vatican City. 2008.
Eberl, Jason T., Thomistic Principles and Bioethics. Routledge Taylor and Francis Group. New York. 2006.
Nadres, Ramon. What is Ethics and Abostion (catatan perkuliahan Etika Biomedis pertemuan 1 dan 3). Universitas Katolik Widya Mandala. Surabaya. 2011.
Takala, Tuija., Herissone-Kelly, Peter, and Holm, Søren, Cutting through the Surface: Philosophical approaches to Bioethics. Rodopi. Amsterdam. New York. 2009.
Internet:
http://id.wikipedia.org/wiki/Gugur_kandungan diakses pada tanggal 4 Oktober 2011 pada pukul 10.32 WIB
http://www.prochoice.com/abort_what.html diakses pada tanggal 4 Oktober 2011 pada pukul 08.09 WIB
http://www.prolife.com/ diakses pada tanggal 4 Oktober 2011 pada pukul 08.10 WIB
http://www.worldometers.info/abortions/ diakses pada tanggal 4 Oktober 2011 pada pukul 09.25 WIB

Menjadi Manusia yang Berkeutamaan Menurut Buku II Etika Nickomakeia-Aristoteles

Oleh: Kristoforus Sri Ratulayn Kino Nara

Sebagai pengenalan awal, buku EN 2 Aristoteles ini terdiri dari sembilan bab. Jika ingin mengklasifikasikannya secara lebih terperinci, maka kita akan menemukan pembagian yaitu, bab satu sampai dengan empat berbicara tentang keutamaan moral, bab lima sampai dan tujuh tentang definisi dari keutamaan moral itu sendiri. Kemudian bab delapan dan sembilan berbicara mengenai karakteristik dari hasrat ektrem.
Paper ini terbagi menjadi dua bahasan.pokok. Pertama, bahasan secara keseluruhan isi dari EN 2 yaitu, tentang keutamaan, lebih tepatnya tentang asal-usul, definisi dan klasifikasi dari keutamaan, khusunya keutamaan etis. Kedua, secara khusus kita akan mencoba menjawab pertanyaan tentang apa pentingnya dan koherensinya Aristoteles memasukkan tema keutamaan dalam buku EN. Dalam pembahasan paper ini kita akan menggunakan buku Aristotle’s Nicomachean Ethics dari Michael Pakaluk sebagai “pisau bedah” dalam memahami isi dari buku EN 2 ini.

Arti Penting dan Asal-usul Keutamaan
Buku EN 2 ini masih mempunyai kaitan erat dengan buku satu pasal terkhir. Berawal dari penjelasan bahwa dalam hidupnya manusia mempunyai tujuan akhir dalam buku sebelumnya, Aristoteles mengajukan tiga criteria yang digunakan sebagai penguji tujuan akhir tersebut. Pertama, seseorang harus mengetahui apa yang menjadi akar dari tujuan yang ia miliki. Kedua, keadaan diri yang merasa berkecukupan (Self-Sufficiency). Ketiga, sesuatu yang paling disukai (greatest Preferability).
Aristoteles berpendapat bahwa untuk mampu mencapai apa yang menjadi tujuan akhirnya, seseorang memerlukan aktivitas-aktivitas yang mampu menyokong atau mendukungnya pula untuk mencapai tujuan akhir tersebut. Kegiatan itu adalah keutamaan. Segala aktivitas manusia dalam rangka mencapai tujuan akhirnya harus sesuai dengan keutamaan tersebut. Kembali pembahasan paragraf sebelumnya, keutamaan harus diuji dengan tiga kriteria tersebut. Dari sini kita mulai bisa melihat dimana peran penting dari keutamaan.
Menurut aristoteles keutamaan itu bersifat utuh dan tunggal. Maksudnya, keutamaan itu bagaikan sebuah alat yang di dalamnya terdapat banyak bagian yang berfungsi masing-masing. Bagaikan sebuah sepeda motor yang di dalamnya terdapat banyak unsur yang mempunyai fungsi masing-masing. Misalnya ada mesin, ban, dan lainnya. Keutamaan adalah keadaan ketika semua alat tersebut berfungsi sebagaimana mestinya.
Lebih lanjut, dalam Aristoteles menegaskan perbedaan antara mana yang menjadi bagian dari jiwa dengan mana yang merupakan bagian dari keutamaan (1102a15). Tentu saja jiwa yang ada dalam manusia harus di bedakan dengan jiwa yang ada dalam hewan. Beberapa hal yang menjadi bagian jiwa manusia adalah bagian yang memiliki alasan, tidak memiliki alasan dan respon tapi mampu menanggapi untuk alasan, dan bagian yang tidak mempunyai alasan dan yang tidak bisa mendengar dan menanggapi. Sedangkan bagian dari keutamaan manusia adalah intellectual virtue dan hubungan erat karakter keutamaan.
Bagi Aristoteles orang yang berkeutamaan adalah orang yang sudah biasa bertindak secara tepat. Keutamaan sendiri terdiri dari dua jenis, yaitu keutamaan intelektual dan keutamaan moral (1103a14-15). Keutamaan intelektual / teoritis muncul dan berkembang dari hasil pengajaran dan lebih condong pada tindakan dan penekanan pada proses berpikir manusia. Sedangkan keutamaan intelektual, Aritoteles menggambarkannya bagaikan sebuah potensi yang ada dalam diri manusia. Artinya, lebih dipertegas lagi bahwa keutamaan moral / etis adalah sebuah karakter yang lebih menekankan pada prakatek hidup manusia.
Asal-usul keutamaan disajikan di awal mendahului definisi keutamaan, karena memang yang hendak dicapai bukan sekedar mengetahui apa itu keutamaan. Melainkan untuk menjadi baik (1103b26-31). Dengan melihat asal-usul keutamaan, kita akan semakin bisa melihat pendasaran yang ada di dalam konsep keutamaan tersebut. Itulah alasan mengapa asal-usul dibahas di awal buku EN 2.
Keutamaan tumbuh secara alami dalam hidup manusia. Ibarat sebuah potensi yang telah ada dalam diri manusia sejak ia lahir. Maka dari itu perlu diadakan kebiasaan-kebiasaan yang membuatnya ada. Karena memang secara umum keberadaan manusia dilengkapi oleh alam dengan kecenderungan untuk melakukan sesuatu (1144b6).

Definisi dan Klasifikasi Keutamaan
Lalu sebenarnya hakikat semacam apa keutamaan itu? Keutamaan bukanlah sesuatu yang alami. Artinya sudah ada secara kodrat dalam diri manusia sehingga hanya perlu meningkatkan lagi apa yang telah ada tersebut. Keutamaan menuntut manusia dan mampu dimiliki seseorang dari hasil kebiasaan, sebuah proses belajar dan kebiasaan. Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa keutasmaan adalah sebuah karakter dan berasal dari kebiasaan (1103a26). Sebagai contoh, seseorang mampu berbuat jujur jika sejak kecil ia sudah terbiasa untuk melakukannya.
Keutamaan moral berkaitan erat dengan nikmat dan perasaan sakit. Jika kebijaksanaan berhubungan dengan nikmat dan perasaan sakit, dan setiap hasrat dan tindakannya disertai pula dengan kesenangan dan penderitaan, maka dengan alasan itu pulalah kebijaksanaan selalu berkaitan dengan nikmat dan perasaan sakit. Bagi Aristoteles, nikmat dan perasaan sakit ini perlu juga diperhatikan dalam usaha mengembangkan keutamaan. Dengan catatan bahwa nikmat dan perasaan sakit tidak menjadi tujuan pada dirinya sendiri, tapi malah mengarahkan pada apa yang menjadi yang utama.
Lebih lanjut, bahwa dua kekuatan tersebut harus diarahkan untuk pengembangan diri. Yaitu membuat seseorang semakin menikmati bertindak sesuai dengan moral dan mengesampingkan dorongan-dorongan yang lebih rendah. Dengan demikian diperlukan sebuah pendidikan moral yang sesuai di dalamnya. Pendidikan yang membuat seseorang untuk selalu terarah pada pelaksanaan keutamaan.
Pertanyaannya kemudian apakah keutamaan itu sendiri? Aristoteles membuka penjelasannya dengan menampilkan gagasan bahwa dalam jiwa terdapat tiga hal yaitu, hasrat, keterampilan, dan keadaan karakter. Keutamaan menjadi salah satu dari tiga hal tersebut. Hasrat berisikan tentang selera, kemarahan, ketakutan, kepercayaan, iri hati, kegembiraan, rasa persahabatan, kebencian, kerinduan, kasih sayang, dan sebagainya, yang semuanya disertai oleh kesenangan dan rasa sakit (1105b21-24).
Walaupun demikian keutamaan manapun tetap tidak bisa lepas dari jangkauan hasrat. Namun justru dari situlah Aristoteles ingin mengatakan bahwa keutamaan bukanlah emosi, melainkan sebuah pilihan cara bertindak yang terbaik. Memilih sikap yang tepat dalam menyikapi rasa nikmat yang ada. Sikap hati dalam mengambil keputusan yang mau mengusahakan apa yang terletak di tengah. Sebagai contoh, misalnya seseorang dihadapkan pada pilihan antara marah dan belaskasih, dengan keutamaan orang tersebut mampu mengambil apa yang ada di tengah dari keduanya (1106a3-6).
Akhirnya Aristoteles mengungkapkan pula bahwa tidak mudah untuk mengambil jalan tengah. Oleh karena itu seseorang memang perlu dan harus berani dihadapkan pada sebuah pertentangan.

Selasa, 26 Agustus 2014

Keadilan Menurut Georg Wilhelm Hegel (1770-1831)

Oleh: Kristoforus Sri Ratulayn K.N

Dalam tulisan ini saya akan mencoba memaparkan pemikiran Hegel tentang keadilan. Lebih dalam, sesungguhnya saya tidak menemukan definisi secara eksplisit mengenai keadilan menurut Hegel. Dengan demikian, dalam tulisan ini saya akan mencoba menarik logika dari filsafat hukum Hegel.
Hidup dan Karyanya

sumber gambar : http://harissoekamti.blogspot.com/2012/06/hubungan-keadilan-sosial-yang-ada-dalam.html


Hegel adalah salah seorang filsuf Idealisme Jerman terbesar . Filsafatnya seolah ingin membentuk sebuah sistem yang berusaha segala sesuatu. Ia lahir di Stuttgart, Jerman pada 27 Agustus 1770. Ayahnya bekerja sebagai seorang pegawai negeri sipil. Pada tahun 1788 ia menjalani pendidikan Teologi Protestan di Universitas Tübingen. Di sanalah ia akhirnya bertemu dan berkawan dengan Schelling dan Hölderlin. Teman-teman Hegel tersebut mempunyai ketertarikan dalam Revolusi Perancis dan bersama-sama mempelajari Rousseau.
Sejak muda, Hegel memang menaruh perhatian yang besar terhadap filsafat dan teologi . Minat ini akhirnya akan tertuang dengan jelas dalam pemikiran-pemikiran dalam berfilsafat. Setelah lulus dari Universitas, Hegel bekerja sebagai tutor keluarga bangsawan di Swiss antara tahun 1793-1796 dan kemudian di Frankfurt antara tahun 1797-1800. Selanjutnya, tahun 1801 ia mengajr di Universitas Jena . Saat di Jena itulah ia menghasilkan karya pertamanya, yaitu Difference between the Philosophical Systems of Fichte and Schelling (Differenz des Fichteschen und Schellingschen Systems). Selain itu pada saat yang sama ia juga bekerjasama dengan Schelling dalam penyusunan jurnal filsafat.
Karya terbesarnya pun juga dibuat ketika di Jena, yaitu Die Phanomenologiae des Geistes (fenomenologi Roh). Karya besar lainnya yang ia hasilkan selanjutnya adalah Wissenschaft der Logik (logika), Enzyklopädie der philosophischen Wissenschaften im Grundriss (Ensiklopedia ilmu filsafat dalam ringkasan), dan Grundlinien der Philosophie des Rechts (Garis Besar Filsafat Hukum). Hingga akhirnya ia meinggal pada tahun 1831.

Filsafat Roh (Geistesphilosophie)
Secara umum, Hegel menjelaskan terdapat beberapa tahap perkembangan dari roh yang mengasingkan diri. Tahap tersebut terdiri atas roh subjektif, roh objektif, dan terakhir adalah roh absolut. Tahap roh subjektif berarti dalam tahap dimana roh masih berupa kesadaran atau “pikiran” subektif. Kemudian tahap kedua adalah dimana roh bergerak menuju kearah yang lebih luas, yaitu roh objektif. Lebih dalam, roh objektif terungkap secara nyata dalam tiga wadah, yaitu hukum, morlitas, dan tatanan moralitas. Tahap terakhir adalah tahap dimana roh mecapai kepenuhannya dan menjadi absolute. Lebih dalam, inilah puncak dari akhir sejarah.
Pembahasan Hegel mengenai keadilan dapapat secara implicit ditemukan dalam pemikiran Hegel dalam tahapan roh objektif. Karena memang pada tahap itulah Hegel menjelaskan pemikirannya mengenai filsafat hukum. Dengan mempelajari filsafat hukum tersebut akan dapat ditarik konsekuensi logis mengenai pemikiran hegel tentang keadilan. Membahas pemikiran filsafat hukum Hegel, maka akan ditemukan penjelasan mengenai tiga wadah perwujudan dinamika gerak roh.

Filsafat Hukum (Philosophy of Right)
Menurut Hegel, nilai tertinggi dalam kehidupan social adalah kebebasan. Lebih dalam, Negara berdasarkan konstitusi harusnya membuat manusia-manusia di dalanya merasa bebas dan penuh dengan penghargaan akan martabat manusia. Bebas berarti keadaan dimana seseorang mengalami perlindungan akan keamanaan dan tidak mengalami paksaan apapun.
Lebih lanjut, kebebasan adalah hakikat seluruh kerangka social. Kebebasan dalam konteks ini haruslah dimaknai sebagai sebuah antithesis dari gerak roh absolut sendiri dalam perkembangannya. Karena memang bagi Hegel sesungguhya tidak ada kebebasan, semua harus mengikuti gerak roh absolut itu sendiri. Dengan demikian kebebasan haruslah terungkap dalam tiga wadah, yaitu hukum, moralitas, dan tatanan moralitas (sittlickheit).

Hukum
Bagi Hegel, hukum adalah wadah pertama dalam usaha perwujudan kebebasan bagi seseorang. Hegel memberikan contoh perlindungan kebebasan pertama-tama dari hukum adalah mengenai perlindungan hak milik. Artinya, dalam benda milik seseorang terkandung pula kehendak dari orang tersebut dalam benda yang menjadi hak miliknya. Kemudian, dengan menghargai hak milik berarti menghargai pula kebebasan seseorang.
Lebih dalam, hukum menjadi tanda penjamin wilayah seseorang yang tidak boleh dicampuri oleh orang lain. Hukum bersifat mengatur masyarakat agar semua orang mencapai kesejahteraannya. Namun, menurut Hegel, hukum masih bersifat abstrak dan tidak selalu bisa mewakili kebutuhan-kebutuhan pribadi yang sifatnya subjektif. Lebih dalam, hukum tidak selalu bisa memuat kebutuhan subjektif manusia di dalamnya. “Dalam hukum, tujuan subjektif individu sama sekali tidak relevan”

Moralitas
Wadah kedua yang menjadi realisasi perlindungan kebebasan adalah moralitas. Moralitas pertama-tama adalah sebuah negasi dari hukum itu sendiri. Lebih dalam, kewajiban tidak lagi terikat pada hak milik atau benda-benda. Moralitas lebih memberikan penekanan pada pertimbangan subjektif manusia.
Pada tahap ini Hegel seolah setuju dengan apa yang dirumuskan oleh Kant mengenai tindakan yang didasarkan pada “suara hati” masing-masing individu. Sebuah tindakan hanya berlaku ketika berasal dari keputusan internal manusia. Lebih dalam, seseorang hanya tunduk oleh yang muncul dari dalam dirinya, keputusan masuk akal. Titik tolak moralitas adalah keyakinan individu.
Pada tahap hukum, kualitas tindakan dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan hukum. Namun, pada tahap ini kualitas tindakan diukur dari kesesuaian dengan suara hati. Hegel berpendapat, tidak boleh hanya berhenti sampai pada moralitas. Dengan kata lain, moralitas tetaplah harus mempunyai acuan dari luar diri manusia. Suara hati menjadi perintah yang kosong belaka jika tanpa acuan dari luar manusia. Maka Hegel melangkah kepada sintesis dari hukum dan moralitas. Kewajiban sebagai kewajiban itu kosong.

Tatanan Moralitas Sosial (Sittlichkeit)
Sittlichkeit ini menjadi sebuah patokan bagi setiap orang dalam melakukan sesuatu di dalam masyarakat. Setiap orang bebas melakukan sebuah peraturan karena memang di dalamnya terdapat moralitas. Pada tahap ini hukum dan moralitas menyatu (hasil dari dialektika). Lebih dalam, bidang antara kehendak umum dan khusus menyatu. Sittlichkeit terwujud dalam tiga lembaga, yaitu keluarga, masyarakat, dan Negara.
Ketiga lembaga tersebut amat menetukan dalam dinamika kehidupan sosial. Dalam ketiganya memuat adat istiadat, tradisi, dan hukum yang mengatur bagaimana manusia harus bertindak. Lebih dalam, tatanan moralitas sosial ini membantu seseorang tanpa harus memikirkan secara mendalam terlebih dahulu ketika hendak melakukan setiap hal. Manusia bertindak sesuai moral jika mengikutinya. Dengan demikian keadilan pun menjadi inhern di dalamnya.
Keadilan dapat tercapai apabila seseorang bertindak atas tatanan moralitas sosial. Tatanan moralitas sosial membebaskan manusia dari beban setiap kali harus mencari apa yang menjadi kewajibannya. Pelaksanaan kewajiban melalui tatanan moralitas sosial berarti membawa pula kepada sebuah keadilan.




Daftar Acuan
Copleston, Frederick, A History of Philosophy. Modern Philosophy: From the Post-Kantian Idealists to Marx, Kierkegaard, and Nietzsche. Vol. VII. Image Book, New York, 1994.
Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern. Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982
Suseno, Franz-Magnis, Pijar-pijar Filsafat. Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme. Kanisius. Yogyakarta, 2005
Tjahjadi, Simon Petrus L., Petualangan Intelektual. Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern. Kanisius. Yogyakarta. 2004.

Kebenaran Menurut Georg Wilhelm Hegel (1770-1831)

Oleh: Kristoforus Sri Ratulayn K.N


Kebenaran adalah salah satu tema yang menjadi perdebatan panajang dalam sejarah pemikiran, filsafat. Hingga zaman inipun orang masih bisa memperdebatkan tentang apa yang benar. Makna kebenaran menjadi sangat beragam tergantung titik tolak atau paradigma yang dipakai seseorang. Memang akhirnya terkesan relativisme jika semua mempunyai makna dan kebenarannya masing-masing. Sesungguhnya apa itu kebenaran?
Pada tulisan ini saya akan membahas tentang tema kebenaran menurut Georg Wilhelm Hegel. Hegel dikenal sebagai salah satu filsuf Idealisme Jerman terbesar. Secara umum, terasa Hegel hendak membuat sebuah system filsafat yang ingin menjelaskan segala hal. Dalam pemaparan penjelasan nanti saya akan menyajikan pemikiran Hegel tentang fenomenologi Roh dan metode dialektika yang ia pakai dalam menjelaskan realitas. Dari pemikiran Hegel nanti akan ditemukan bahwa kebenaran adalah “Roh”, “Idea”, atau “Rasio” yang terus bergerak dan dinamis. Gerak Roh itulah yang menentukan jalannya sejarah dan realitas.



gambar dari : http://10108602.blog.unikom.ac.id/kebenaran.1i7



Hidup dan Karyanya
Hegel adalah salah seorang filsuf Idealisme Jerman terbesar . Filsafatnya seolah ingin membentuk sebuah sistem yang berusaha segala sesuatu. Ia lahir di Stuttgart, Jerman pada 27 Agustus 1770. Ayahnya bekerja sebagai seorang pegawai negeri sipil. Pada tahun 1788 ia menjalani pendidikan Teologi Protestan di Universitas Tübingen. Di sanalah ia akhirnya bertemu dan berkawan dengan Schelling dan Hölderlin. Teman-teman Hegel tersebut mempunyai ketertarikan dalam Revolusi Perancis dan bersama-sama mempelajari Rousseau.
Sejak muda, Hegel memang menaruh perhatian yang besar terhadap filsafat dan teologi . Minat ini akhirnya akan tertuang dengan jelas dalam pemikiran-pemikiran dalam berfilsafat. Setelah lulus dari Universitas, Hegel bekerja sebagai tutor keluarga bangsawan di Swiss antara tahun 1793-1796 dan kemudian di Frankfurt antara tahun 1797-1800. Selanjutnya, tahun 1801 ia mengajr di Universitas Jena . Saat di Jena itulah ia menghasilkan karya pertamanya, yaitu Difference between the Philosophical Systems of Fichte and Schelling (Differenz des Fichteschen und Schellingschen Systems). Selain itu pada saat yang sama ia juga bekerjasama dengan Schelling dalam penyusunan jurnal filsafat.
Karya terbesarnya pun juga dibuat ketika di Jena, yaitu Die Phanomenologiae des Geistes (fenomenologi Roh). Karya besar lainnya yang ia hasilkan selanjutnya adalah Wissenschaft der Logik (logika), Enzyklopädie der philosophischen Wissenschaften im Grundriss (Ensiklopedia ilmu filsafat dalam ringkasan), dan Grundlinien der Philosophie des Rechts (Garis Besar Filsafat Hukum). Hingga akhirnya ia meinggal pada tahun 1831.


Yang Absolut sebagai Kebenaran
Secara singkat, tujuan filsafat Hegel sesungguhnya adalah mengusahakan pengetahuan ilmiah tentang kebenaran . Artinya, usaha segala usaha Hegel dalam filsafatnya seolah ingin melanjutkan tema yang digeluti oleh Immanuel Kant. Kant berusaha menguji kemampuan akal budi guna memperoleh sesuatu yang sah disebut sebagai ilmu pengetahuan. Satu hal yang jelas ditolak Hegel dari pemikiran Kant adalah bahwa bukan pikiranlah yang membentuk realitas, melainkan oleh suatu Akal Kosmik tunggal yang disebutnya, Roh . Namun nampaknya Hegel lebih condong mengusahakan pengetahuan proses jalannya sejarah. Dengan demikian tidak heran bahwa banyak orang, khususnya orang Jerman yang menerima pemikiran Hegel sebagai sebuah pengetahuan yang mengagumkan.
Menurut Hegel, dalam analisis Kant terdapat oposisi antara fenomena dan numena. Dengan kata lain masih terdapat oposisi antara subjek dan objek . Hegel berada pada posisi sama seperti Schelling yang menghapus “das Ding an sich” (benda pada dirinya sendiri). Lebih dalam, Hegel menyebut bahwa Alam adalah perwujudan dari Roh. Roh mengasingkan diri terlebih dahulu dalam Alam. Akhirnya, bertolak dari Yang Absolut (das Absolute) itulah idealisme Hegel dibangun.
Hegel menegaskan bahwa Yang Absolut itu adalah seluruh kenyataan. Lebih dalam, realitas kemudian dilihat sebagai “proses menjadi”. Sampai pada pemahaman bahwa kebenaran adalah sesuatu yang bergerak dan hidup, “yang benar adalah yang menyeluruh” . Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang terus bergerak dan berproses berkembang sampai pada kepenuhannya. Dengan demikian, Hegel memandang realitas sebagai proses teleologis. Yang Absolut menjadi tujuan dari proses itu sendiri.
Menurut pemikiran tradisional, kebenaran adalah kesesuaian antara pikiran dan realitas. Artinya, terdapat kesamaan antara subjek yang berpikir dengan objek yang dipikirkan. Bagi Hegel, Yang Absolut adalah subjek. Jika demikian maka apa yang kemudian disebut sebagai objek? Hegel menegaskan bahwa objeknya adalah subjek itu sendiri yang menyadari dirinya . Logikanya jika Yang Absolut adalah keseluruhan realitas dan Yang Absolut itu menyadari dirinya, maka segala sesuatu menjadi proses refleksi diri. Realitas adalah berpikir itu sendiri.
Seluruh refleksi filosofis dan pengetahuan manusia adalah penegtahuan dari Yang Absolut itu sendiri . Seluruh proses sejarah adalah proses dari Yang Absolut menyadari dirinya kembali. Bagi Hegel, Yang Absolut juga berarti Rasio atau Idea. “Rasio sama luasnya dengan seluruh realitas, maka realitas adalah proses pemikiran atau Idea” .


Dialektika
Hegel menggunakan metode dialektika dalam menjelaskan seluruh gerak Yang Absolut. Artinya, Idea bergerak dengan metode dialektika tersebut. lebih dalam, Hegel malah berpendapat bahwa dialektika itu adalah realitas sendiri. Kenyaatan sebagai sebauh “proses dialektis”.
Dalam dialektika terdapat tiga unsure pokok, antara lain tesis, antithesis, dan sintesis. Singkatnya dialektika adalah cara pikir yang mempertemukan dua hal yang saling bertentangan (tesis dan antitesis) untuk kemudian diangkat pada tahap yang lebih tinggi (sintesis). Sebagai contoh, antara hitam (tesis) dilawankan putih (antitesis), maka akan menjadi abu-abu (sintesis). Pada abu-abu tidak ada lagi unsure yang dominan atau hitam atau putih. Sintesis mengangkat tesis dan antithesis tanpa mengalahkan satu diantaranya. Dalam bahasa Jerman aufheben, yang berarti mengangkat.
Pada penjelasan ini pula Hegel menjelaskan tentang tiga tahap penetahuan manusia. Tahap pertama adalah kemampuan indrawi, lalu akalbudi (Verstand), dan tertinggi adalah intelektualitas (Vernunft). Bagi Hegel, akalbudi tidak akan bisa menerima pertentangan dalam pengetahuan yang ia peroleh melalui indra. Akalbudi bekerja sesuai system atau skema dalam pikirannya. Maka seseorang perlu naik lagi ke tahap intelektualitas untuk mencari hubungan atau kesatuan dibalik apa yang diterima oleh akalbudi. Intelektualitas harus menguhasakan kesatuan atas hal-hal yang bertentangan. Dengan demikian, segala sesuatu bagi Hegel bisa dipahami.


Kesimpulan
Dengan demikian ada beberapa hal pokok untuk menjawab pertanyaan di awal tulisan ini mengenai apa kebenaran menurut Hegel? (1) kebenaran adalah sesuatu yang dinamis, bergerak, dan dalam proses menjadi. Kebenaran yang dinamis menjadi sifat dari Yang Absolut atau Idea atau Rasio. (2) gerak rasio dapat dimengerti dengan pola dialektika. Dialektika Idea atau Rasio membentuk realitas. Realitas yang menjadi kebenaran adalah hasil dari gerak Roh yang berdialektika.









Daftar Acuan
Copleston, Frederick, A History of Philosophy. Modern Philosophy: From the Post-Kantian Idealists to Marx, Kierkegaard, and Nietzsche. Vol. VII. Image Book, New York, 1994.
Garvey, James, 20 Karya Filsafat Terbesar. (terj.) Dr. Mulyatno Pr, Kanisius, Yogyakarta, 2010.
Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern. Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007.
Tjahjadi, Simon Petrus L., Petualangan Intelektual. Konfrontasi dengan Para Filsuf Dari Zaman Yunani Kuno Hingga Zaman Modern, Kanisius, Yogyakarta, 2004.