Oleh: Kristoforus Sri Ratulayn K.N
Lagi-lagi bangsa ini didera dengan kerusuhan yang bernuansa SARA. Bagaimana tidak? banyak fenomena kekerasan sampai pada pembunuhan yang mengatasnamakan agama. Mulai dari penyerangan jemaat Ahmaddiyah, pengerusakan Gereja di Temanggung, Jawa Tengah, dan masih banyak lagi lainnya. Kekerasan yang terjadi tersebut membawa duka dan panggilan bagi segenap elemen bangsa ini untuk mengoreksi diri.
Isu mengenai SARA sangat sensitif dan rawan terjadi salah paham di negara Indonesia. Apalagi ketika kita menengok bahwa Negara kita merupakan Negara multikultur. Orang mudah tersinggung ketika ada yang meremehkan kelompoknya. Sebagaian besar kelompok di Negara ini beranggotakan orang-orang yang cenderung mengarah ke sikap fundamental, eksklusif, dan tertutup untuk berdialog demi kesejahteraan bersama. Lantas apakah yang kurang dari Negara ini sehingga masih terjadi kekerasan dan pelanggaran hak asasi di dalamnya? Sebuah utopiakah harapan akan hidup bersama demi sebuah kesejahteraan bersama? Berharap akan terciptanya masyarakat multikultur yang hidup bersama dengan sebuah aturan yang mengarah kepada kebaikan bersama.
Kekerasan antar Umat Beragama
Peristiwa penyerangan hingga terdapatnya korban jemaat salah satu agama yang sedang melaksanakan ibadatnya sungguh menjadi pukulan tersendiri bagi bangsa ini. Para penyerang bertindak irasional. Bagaimana mungkin melakukan pembunuhan atas nama Tuhan ataupun agama? Tuhan seperti apa yang memerintahkan manusia saling membunuh? Bukankah sebuah kontradiksi yang terjadi dari pandangan penyerangan antar umat beragama. Di Indonesia masih sangat rawan terjadinya gerakan anarki, karena paham eksklusif masih sangat kental mewarnai dinamika hidup di dalamnya.
Penyerangan dan kekerasan yang mengatasnamakan agama sungguh sulit untuk dipahami dengan akal sehat. Karena jika memang benar ada agama yang memperbolehkan membunuh sesama manusia, maka bukankah atheisme yang humanis dan nasionalis lebih mulia? Hal ini jika dibandingkan mereka yang mengaku beribadah dan menyembah Tuhan, tapi saling menjadi serigala atas sesama manusia. Karena memang nilai penghormatan akan martabat manusia menjadi yang utama dalam dinamika hidup bersama. Menjadi sebuah tanda tanya tersendiri bagi penulis, apakah ini implikasi dari dipisahkannya akal budi dengan iman dalam sebuah agama? Dalam titik ini ajaran agama perlu dipertanyakan lagi dengan kajian yang lebih dalam lagi.
Lebih dalam, agama perlu juga melakukan pemahaman yang benar, menyeluruh, dan mendalam tentang ajaran-ajaran yang menjadi dogma mereka. Karena memang dimungkinkan penangkapan ajaran yang setengah-setengah dan kurang mendalamlah yang membuat pengikutnya bergerak kearah penganiayaan dan main hakim sendiri. Melakukan tindakan anarki tanpa melalui proses dialog dan komunikas. Apalagi kebanyakan orang Indonesia kurang terdidik untuk berpikir kritis dan menekankan pemikiran akal budi.
Kemudian, di sisi lain melihat kinerja para aparat penegak hukum yang terkesan tidak berkutik ketika tindakan main hakim sendiri terjadi. Peristiwa penyerangan tersebut seperti menjadi titik awal kehancuran sebuah Negara yang menjunjung tinggi nilai kebebasan beragama, seperti yang tertulis pada Undang-undang Dasar 1945. Negara atau mungkin lebih tepatnya para pemegang otoritas seolah tidak punya gigi lagi dalam menjamin kebebasan beragama para warganya. Dimanakah keadilan dan perlindungan akan martabat manusia yang seharusnya diberikan oleh penegak hukum?
Para pemegang otoritas untuk melindungi korban dan menjatuhkan sanksi kepada para pelaku penganiayaan seharusnya memegang kepercayaan legitimasi yang diberikan oleh rakyat. Rakyat sesungguhnya mempunyai harapan akan dipenuhinya perlindungan terhadap kebebasan dan hak asasi mereka. Dengan demikian pemerintah mempunyai legitimasi dan otoritas untuk menegakkan hukum ketika mulai dilanggarnya hak asasi seseorang. Namun, yang terjadi di Negara ini malah pemerintah seolah tidak lagi mampu memegang apa yang telah diamanatkan rakyat kepada mereka. Akhirnya tinggal menunggu rakyat mencabut legitimasinya terhadap pemerintah seperti saat penggulingan Orde Baru.
Masalah hidup keagaaman memang bukan urusan pemerintah dan memang pemerintah tidak berhak turut campur di dalamnya. Lebih dalam, bahwa antara agama dan politik praktis tidak boleh dicampur adukkan. Jika hal itu terjadi maka akan terjadi ketidakadilan dan penindasan di dalamnya, sejarah sudah banyak membuktikannya. Namun, pemerintah harus tegas ketika nilai-nilai pelanggaran hak asasi, kekerasan, apalagi sampai pada pembunuhan. Karena memang hal tersebut sudah masuk kedalam wilayah hukum positif negara.
Komunikasi
Sebagai Negara multikultur, diperlukan sebuah cara hidup bersama mengarah kepada kesejahteraan bersama. Adalah jurgen Habermas seorang filsuf aliran teori kritis Jerman yang mencoba menawarkan sebuah cara hidup bersama yang mengarah terciptanya kesejahteraan bersama. Habermas berpendapat bahwa diperlukan sebuah komunikasi yang berkualitas dalam membangun hidup bersama. Berkualitas artinya mengandung kejujuran, kebenaran, koherensi, tanpa dominasi, dan egaliter.
Lima unsur di atas perlu dibawa dan dihidupi oleh semua orang, dalam konteks ini semua elemen bangsa Indonesia. Dengan komunikasi yang berkualitas, kesalahpahaman dan kekerasan menjadi lebih kecil untuk terjadi. Alangkah indahnya jika sebagian besar bangsa ini mengedepankan sikap komunikasi atau dialog dengan unsure-unsur yang diajukan oleh Habermas di atas. Dalam titik inilah penulis katakan apakah itu hanya menjadi sebuah republic impian yang tidak akan pernah bisa terjadi? Hal ini mengingat kurang terbiasanya bangsa ini dengan sebuah dialog yang penuh kejujuran. Semua pasti menggendong kepentingan tersembunyi yang tidak berani diungkapkan secara fair.
Habermas kemudian melengkapi sistem idenya mengenai teori komunikasi. Karena dia mengamati memang tidak semua orang mampu untuk berkomunikasi. Akhirnya, Habermas menekankan pada pembuatan hukum harus didasarkan dan dihasilakan dari komunikasi yang berkualitas. Pembentukan hukum harus dilandaskan pada komunikasi yang jujur, benar, mendalam, egaliter, dan tanpa dominasi dari pihak tertentu.
Memang sebuah perjuangan tersendiri untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang terbiasa dengan komunikasi ala Habermas. Apalagi di tengah masyarakat yang multikultur dan kadang cenderung ekslusif. Namun, usaha untuk terus mengedepakan dialog dan komunikasi merupakan tanda sebuah Negara yang beradab. Dengan komunikasi yang berkualitas orang dituntun untuk semakin mendekati kebenaran. Sehingga terciptalah kesejahteraan bersama dalam republic ini.***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
- Aborsi
- Aristoteles
- belajar ilmiah
- Etika
- Etika Biomedis
- Etika Nickomakeia
- Etika Thomas Aquinas
- Filsafat Jawa
- Filsafat Ketuhanan
- Filsafat Manusia
- Filsafat Pendidikan
- Hegel
- Keadilan
- Kebenaran
- Keutamaan
- Komunikasi
- Opini
- Sejarah Filsafat Abad Pertengahan
- Soekarno
- theodicy
- tugas epistemologi
- tugas pengantar filsafat
- tugas resensi Filsafat Manusia
- Tulisan untuk buletin "Cogito" Nopember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar