Selasa, 26 Agustus 2014

Keadilan Menurut Georg Wilhelm Hegel (1770-1831)

Oleh: Kristoforus Sri Ratulayn K.N

Dalam tulisan ini saya akan mencoba memaparkan pemikiran Hegel tentang keadilan. Lebih dalam, sesungguhnya saya tidak menemukan definisi secara eksplisit mengenai keadilan menurut Hegel. Dengan demikian, dalam tulisan ini saya akan mencoba menarik logika dari filsafat hukum Hegel.
Hidup dan Karyanya

sumber gambar : http://harissoekamti.blogspot.com/2012/06/hubungan-keadilan-sosial-yang-ada-dalam.html


Hegel adalah salah seorang filsuf Idealisme Jerman terbesar . Filsafatnya seolah ingin membentuk sebuah sistem yang berusaha segala sesuatu. Ia lahir di Stuttgart, Jerman pada 27 Agustus 1770. Ayahnya bekerja sebagai seorang pegawai negeri sipil. Pada tahun 1788 ia menjalani pendidikan Teologi Protestan di Universitas Tübingen. Di sanalah ia akhirnya bertemu dan berkawan dengan Schelling dan Hölderlin. Teman-teman Hegel tersebut mempunyai ketertarikan dalam Revolusi Perancis dan bersama-sama mempelajari Rousseau.
Sejak muda, Hegel memang menaruh perhatian yang besar terhadap filsafat dan teologi . Minat ini akhirnya akan tertuang dengan jelas dalam pemikiran-pemikiran dalam berfilsafat. Setelah lulus dari Universitas, Hegel bekerja sebagai tutor keluarga bangsawan di Swiss antara tahun 1793-1796 dan kemudian di Frankfurt antara tahun 1797-1800. Selanjutnya, tahun 1801 ia mengajr di Universitas Jena . Saat di Jena itulah ia menghasilkan karya pertamanya, yaitu Difference between the Philosophical Systems of Fichte and Schelling (Differenz des Fichteschen und Schellingschen Systems). Selain itu pada saat yang sama ia juga bekerjasama dengan Schelling dalam penyusunan jurnal filsafat.
Karya terbesarnya pun juga dibuat ketika di Jena, yaitu Die Phanomenologiae des Geistes (fenomenologi Roh). Karya besar lainnya yang ia hasilkan selanjutnya adalah Wissenschaft der Logik (logika), Enzyklopädie der philosophischen Wissenschaften im Grundriss (Ensiklopedia ilmu filsafat dalam ringkasan), dan Grundlinien der Philosophie des Rechts (Garis Besar Filsafat Hukum). Hingga akhirnya ia meinggal pada tahun 1831.

Filsafat Roh (Geistesphilosophie)
Secara umum, Hegel menjelaskan terdapat beberapa tahap perkembangan dari roh yang mengasingkan diri. Tahap tersebut terdiri atas roh subjektif, roh objektif, dan terakhir adalah roh absolut. Tahap roh subjektif berarti dalam tahap dimana roh masih berupa kesadaran atau “pikiran” subektif. Kemudian tahap kedua adalah dimana roh bergerak menuju kearah yang lebih luas, yaitu roh objektif. Lebih dalam, roh objektif terungkap secara nyata dalam tiga wadah, yaitu hukum, morlitas, dan tatanan moralitas. Tahap terakhir adalah tahap dimana roh mecapai kepenuhannya dan menjadi absolute. Lebih dalam, inilah puncak dari akhir sejarah.
Pembahasan Hegel mengenai keadilan dapapat secara implicit ditemukan dalam pemikiran Hegel dalam tahapan roh objektif. Karena memang pada tahap itulah Hegel menjelaskan pemikirannya mengenai filsafat hukum. Dengan mempelajari filsafat hukum tersebut akan dapat ditarik konsekuensi logis mengenai pemikiran hegel tentang keadilan. Membahas pemikiran filsafat hukum Hegel, maka akan ditemukan penjelasan mengenai tiga wadah perwujudan dinamika gerak roh.

Filsafat Hukum (Philosophy of Right)
Menurut Hegel, nilai tertinggi dalam kehidupan social adalah kebebasan. Lebih dalam, Negara berdasarkan konstitusi harusnya membuat manusia-manusia di dalanya merasa bebas dan penuh dengan penghargaan akan martabat manusia. Bebas berarti keadaan dimana seseorang mengalami perlindungan akan keamanaan dan tidak mengalami paksaan apapun.
Lebih lanjut, kebebasan adalah hakikat seluruh kerangka social. Kebebasan dalam konteks ini haruslah dimaknai sebagai sebuah antithesis dari gerak roh absolut sendiri dalam perkembangannya. Karena memang bagi Hegel sesungguhya tidak ada kebebasan, semua harus mengikuti gerak roh absolut itu sendiri. Dengan demikian kebebasan haruslah terungkap dalam tiga wadah, yaitu hukum, moralitas, dan tatanan moralitas (sittlickheit).

Hukum
Bagi Hegel, hukum adalah wadah pertama dalam usaha perwujudan kebebasan bagi seseorang. Hegel memberikan contoh perlindungan kebebasan pertama-tama dari hukum adalah mengenai perlindungan hak milik. Artinya, dalam benda milik seseorang terkandung pula kehendak dari orang tersebut dalam benda yang menjadi hak miliknya. Kemudian, dengan menghargai hak milik berarti menghargai pula kebebasan seseorang.
Lebih dalam, hukum menjadi tanda penjamin wilayah seseorang yang tidak boleh dicampuri oleh orang lain. Hukum bersifat mengatur masyarakat agar semua orang mencapai kesejahteraannya. Namun, menurut Hegel, hukum masih bersifat abstrak dan tidak selalu bisa mewakili kebutuhan-kebutuhan pribadi yang sifatnya subjektif. Lebih dalam, hukum tidak selalu bisa memuat kebutuhan subjektif manusia di dalamnya. “Dalam hukum, tujuan subjektif individu sama sekali tidak relevan”

Moralitas
Wadah kedua yang menjadi realisasi perlindungan kebebasan adalah moralitas. Moralitas pertama-tama adalah sebuah negasi dari hukum itu sendiri. Lebih dalam, kewajiban tidak lagi terikat pada hak milik atau benda-benda. Moralitas lebih memberikan penekanan pada pertimbangan subjektif manusia.
Pada tahap ini Hegel seolah setuju dengan apa yang dirumuskan oleh Kant mengenai tindakan yang didasarkan pada “suara hati” masing-masing individu. Sebuah tindakan hanya berlaku ketika berasal dari keputusan internal manusia. Lebih dalam, seseorang hanya tunduk oleh yang muncul dari dalam dirinya, keputusan masuk akal. Titik tolak moralitas adalah keyakinan individu.
Pada tahap hukum, kualitas tindakan dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan hukum. Namun, pada tahap ini kualitas tindakan diukur dari kesesuaian dengan suara hati. Hegel berpendapat, tidak boleh hanya berhenti sampai pada moralitas. Dengan kata lain, moralitas tetaplah harus mempunyai acuan dari luar diri manusia. Suara hati menjadi perintah yang kosong belaka jika tanpa acuan dari luar manusia. Maka Hegel melangkah kepada sintesis dari hukum dan moralitas. Kewajiban sebagai kewajiban itu kosong.

Tatanan Moralitas Sosial (Sittlichkeit)
Sittlichkeit ini menjadi sebuah patokan bagi setiap orang dalam melakukan sesuatu di dalam masyarakat. Setiap orang bebas melakukan sebuah peraturan karena memang di dalamnya terdapat moralitas. Pada tahap ini hukum dan moralitas menyatu (hasil dari dialektika). Lebih dalam, bidang antara kehendak umum dan khusus menyatu. Sittlichkeit terwujud dalam tiga lembaga, yaitu keluarga, masyarakat, dan Negara.
Ketiga lembaga tersebut amat menetukan dalam dinamika kehidupan sosial. Dalam ketiganya memuat adat istiadat, tradisi, dan hukum yang mengatur bagaimana manusia harus bertindak. Lebih dalam, tatanan moralitas sosial ini membantu seseorang tanpa harus memikirkan secara mendalam terlebih dahulu ketika hendak melakukan setiap hal. Manusia bertindak sesuai moral jika mengikutinya. Dengan demikian keadilan pun menjadi inhern di dalamnya.
Keadilan dapat tercapai apabila seseorang bertindak atas tatanan moralitas sosial. Tatanan moralitas sosial membebaskan manusia dari beban setiap kali harus mencari apa yang menjadi kewajibannya. Pelaksanaan kewajiban melalui tatanan moralitas sosial berarti membawa pula kepada sebuah keadilan.




Daftar Acuan
Copleston, Frederick, A History of Philosophy. Modern Philosophy: From the Post-Kantian Idealists to Marx, Kierkegaard, and Nietzsche. Vol. VII. Image Book, New York, 1994.
Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern. Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982
Suseno, Franz-Magnis, Pijar-pijar Filsafat. Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme. Kanisius. Yogyakarta, 2005
Tjahjadi, Simon Petrus L., Petualangan Intelektual. Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern. Kanisius. Yogyakarta. 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar