Jumat, 29 Agustus 2014

Menjadi Manusia yang Berkeutamaan Menurut Buku II Etika Nickomakeia-Aristoteles

Oleh: Kristoforus Sri Ratulayn Kino Nara

Sebagai pengenalan awal, buku EN 2 Aristoteles ini terdiri dari sembilan bab. Jika ingin mengklasifikasikannya secara lebih terperinci, maka kita akan menemukan pembagian yaitu, bab satu sampai dengan empat berbicara tentang keutamaan moral, bab lima sampai dan tujuh tentang definisi dari keutamaan moral itu sendiri. Kemudian bab delapan dan sembilan berbicara mengenai karakteristik dari hasrat ektrem.
Paper ini terbagi menjadi dua bahasan.pokok. Pertama, bahasan secara keseluruhan isi dari EN 2 yaitu, tentang keutamaan, lebih tepatnya tentang asal-usul, definisi dan klasifikasi dari keutamaan, khusunya keutamaan etis. Kedua, secara khusus kita akan mencoba menjawab pertanyaan tentang apa pentingnya dan koherensinya Aristoteles memasukkan tema keutamaan dalam buku EN. Dalam pembahasan paper ini kita akan menggunakan buku Aristotle’s Nicomachean Ethics dari Michael Pakaluk sebagai “pisau bedah” dalam memahami isi dari buku EN 2 ini.

Arti Penting dan Asal-usul Keutamaan
Buku EN 2 ini masih mempunyai kaitan erat dengan buku satu pasal terkhir. Berawal dari penjelasan bahwa dalam hidupnya manusia mempunyai tujuan akhir dalam buku sebelumnya, Aristoteles mengajukan tiga criteria yang digunakan sebagai penguji tujuan akhir tersebut. Pertama, seseorang harus mengetahui apa yang menjadi akar dari tujuan yang ia miliki. Kedua, keadaan diri yang merasa berkecukupan (Self-Sufficiency). Ketiga, sesuatu yang paling disukai (greatest Preferability).
Aristoteles berpendapat bahwa untuk mampu mencapai apa yang menjadi tujuan akhirnya, seseorang memerlukan aktivitas-aktivitas yang mampu menyokong atau mendukungnya pula untuk mencapai tujuan akhir tersebut. Kegiatan itu adalah keutamaan. Segala aktivitas manusia dalam rangka mencapai tujuan akhirnya harus sesuai dengan keutamaan tersebut. Kembali pembahasan paragraf sebelumnya, keutamaan harus diuji dengan tiga kriteria tersebut. Dari sini kita mulai bisa melihat dimana peran penting dari keutamaan.
Menurut aristoteles keutamaan itu bersifat utuh dan tunggal. Maksudnya, keutamaan itu bagaikan sebuah alat yang di dalamnya terdapat banyak bagian yang berfungsi masing-masing. Bagaikan sebuah sepeda motor yang di dalamnya terdapat banyak unsur yang mempunyai fungsi masing-masing. Misalnya ada mesin, ban, dan lainnya. Keutamaan adalah keadaan ketika semua alat tersebut berfungsi sebagaimana mestinya.
Lebih lanjut, dalam Aristoteles menegaskan perbedaan antara mana yang menjadi bagian dari jiwa dengan mana yang merupakan bagian dari keutamaan (1102a15). Tentu saja jiwa yang ada dalam manusia harus di bedakan dengan jiwa yang ada dalam hewan. Beberapa hal yang menjadi bagian jiwa manusia adalah bagian yang memiliki alasan, tidak memiliki alasan dan respon tapi mampu menanggapi untuk alasan, dan bagian yang tidak mempunyai alasan dan yang tidak bisa mendengar dan menanggapi. Sedangkan bagian dari keutamaan manusia adalah intellectual virtue dan hubungan erat karakter keutamaan.
Bagi Aristoteles orang yang berkeutamaan adalah orang yang sudah biasa bertindak secara tepat. Keutamaan sendiri terdiri dari dua jenis, yaitu keutamaan intelektual dan keutamaan moral (1103a14-15). Keutamaan intelektual / teoritis muncul dan berkembang dari hasil pengajaran dan lebih condong pada tindakan dan penekanan pada proses berpikir manusia. Sedangkan keutamaan intelektual, Aritoteles menggambarkannya bagaikan sebuah potensi yang ada dalam diri manusia. Artinya, lebih dipertegas lagi bahwa keutamaan moral / etis adalah sebuah karakter yang lebih menekankan pada prakatek hidup manusia.
Asal-usul keutamaan disajikan di awal mendahului definisi keutamaan, karena memang yang hendak dicapai bukan sekedar mengetahui apa itu keutamaan. Melainkan untuk menjadi baik (1103b26-31). Dengan melihat asal-usul keutamaan, kita akan semakin bisa melihat pendasaran yang ada di dalam konsep keutamaan tersebut. Itulah alasan mengapa asal-usul dibahas di awal buku EN 2.
Keutamaan tumbuh secara alami dalam hidup manusia. Ibarat sebuah potensi yang telah ada dalam diri manusia sejak ia lahir. Maka dari itu perlu diadakan kebiasaan-kebiasaan yang membuatnya ada. Karena memang secara umum keberadaan manusia dilengkapi oleh alam dengan kecenderungan untuk melakukan sesuatu (1144b6).

Definisi dan Klasifikasi Keutamaan
Lalu sebenarnya hakikat semacam apa keutamaan itu? Keutamaan bukanlah sesuatu yang alami. Artinya sudah ada secara kodrat dalam diri manusia sehingga hanya perlu meningkatkan lagi apa yang telah ada tersebut. Keutamaan menuntut manusia dan mampu dimiliki seseorang dari hasil kebiasaan, sebuah proses belajar dan kebiasaan. Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa keutasmaan adalah sebuah karakter dan berasal dari kebiasaan (1103a26). Sebagai contoh, seseorang mampu berbuat jujur jika sejak kecil ia sudah terbiasa untuk melakukannya.
Keutamaan moral berkaitan erat dengan nikmat dan perasaan sakit. Jika kebijaksanaan berhubungan dengan nikmat dan perasaan sakit, dan setiap hasrat dan tindakannya disertai pula dengan kesenangan dan penderitaan, maka dengan alasan itu pulalah kebijaksanaan selalu berkaitan dengan nikmat dan perasaan sakit. Bagi Aristoteles, nikmat dan perasaan sakit ini perlu juga diperhatikan dalam usaha mengembangkan keutamaan. Dengan catatan bahwa nikmat dan perasaan sakit tidak menjadi tujuan pada dirinya sendiri, tapi malah mengarahkan pada apa yang menjadi yang utama.
Lebih lanjut, bahwa dua kekuatan tersebut harus diarahkan untuk pengembangan diri. Yaitu membuat seseorang semakin menikmati bertindak sesuai dengan moral dan mengesampingkan dorongan-dorongan yang lebih rendah. Dengan demikian diperlukan sebuah pendidikan moral yang sesuai di dalamnya. Pendidikan yang membuat seseorang untuk selalu terarah pada pelaksanaan keutamaan.
Pertanyaannya kemudian apakah keutamaan itu sendiri? Aristoteles membuka penjelasannya dengan menampilkan gagasan bahwa dalam jiwa terdapat tiga hal yaitu, hasrat, keterampilan, dan keadaan karakter. Keutamaan menjadi salah satu dari tiga hal tersebut. Hasrat berisikan tentang selera, kemarahan, ketakutan, kepercayaan, iri hati, kegembiraan, rasa persahabatan, kebencian, kerinduan, kasih sayang, dan sebagainya, yang semuanya disertai oleh kesenangan dan rasa sakit (1105b21-24).
Walaupun demikian keutamaan manapun tetap tidak bisa lepas dari jangkauan hasrat. Namun justru dari situlah Aristoteles ingin mengatakan bahwa keutamaan bukanlah emosi, melainkan sebuah pilihan cara bertindak yang terbaik. Memilih sikap yang tepat dalam menyikapi rasa nikmat yang ada. Sikap hati dalam mengambil keputusan yang mau mengusahakan apa yang terletak di tengah. Sebagai contoh, misalnya seseorang dihadapkan pada pilihan antara marah dan belaskasih, dengan keutamaan orang tersebut mampu mengambil apa yang ada di tengah dari keduanya (1106a3-6).
Akhirnya Aristoteles mengungkapkan pula bahwa tidak mudah untuk mengambil jalan tengah. Oleh karena itu seseorang memang perlu dan harus berani dihadapkan pada sebuah pertentangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar