Oleh : Kristoforus Sri Ratulayn K.N
Pendahuluan
Filsafat sejarah merupakan salah satu cabang dari filsafat. Filsafat sejarah menjadikan sejarah sebagai objek material dalam refleksi filosofisnya. Lebih lanjut, objek formal yang digunakan adalah pandangan filosofis, baik secara metafisis, spekulatif, dan kritis. Filsafat sejarah jelas berbeda dengan ilmu sejarah. Ilmu sejarah merupakan disiplin ilmu yang mempelajari seputar peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau dan hubungannya dengan masa kini. Sedangkan filsafat sejarah lebih merupakan sebuah refleksi atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau dan hubungannya dengan masa kini, serta kemungkinan untuk mengusahakan dan meramalkan suatu masa depan. Dengan demikian terlihat jelas bahwa filsafat sejarah mempunyai dimensi spekulatif, yaitu mampu sampai pada sebauh peramalan akan masa depan.
Setidaknya ada empat ide pokok dalam filsafat sejarah. Pertama, ide kemajuan, Nisbet dalam bukunya menyebut kemajuan berpusat pada moral atau kondisi spiritual manusia di bumi, kebahagiaannya, kebebasannya dari kesengsaraan alam dan masyarakat, dan yang terpenting ketenteraman atau ketenangan. Kemajuan berpusat pada peningkatan prestasi dalam hal moral dan spiritual. Kedua, ide tentang waktu, dalam hal ini filsafat sejarah memahami manusia dalam tiga dimensi rentang waktu, yaitu masa lalu, masa kini, dan masa depan. Namun, yang sangat menjadi titik pokok permenungan adalah waktu sekarang. Waktu sekarang menjadi sebuah kenyataan yang sedang dihadapi. Ketiga, ide kebebasan, kebebasan merupakan hal pokok dalam sejarah. Kebebasan erat kaitannya dengan kesadaran. Orang dikatakan bebas apabila kesadaran menyertai kebebasan tersebut. Kebebaan mengarahkan seseorang kepada sebuah perkembangan terus-menerus. Terakhir ide masa depan, masa depan menjadi salah satu ide pokok dalam filsafat sejarah karena memang manusia mempunyai kemampuan spekulatif yang membuatnya mampu meramalkan tentang apa yang akan terjadi pada masa depan. Sejarah selalu dalam kaitan mempersiapkan sesuatu juga untuk masa depan.
Tulisan ini memaparkan bagaimana filsafat sejarah menurut Soekarno. Dengan kata lain, penulis akan memaparkan empat ide pokok dalam filsafat sejarah menurut Soekarno. Memang sesungguhnya Soekarno tidak berbicara langsung mengenai apa dan bagaimana filsafat sejarah menurutnya. Penulis akan menggunakan metode hermeneutika atas teks dari kumpulan pidato yang pernah diucapkan oleh Soekarno. Dengan membaca kembali dan menginterpretasikan apa yang diucapkan oleh Soekarno akan dapat ditemukan pandangannya berkaitan dengan ide-ide pokok filsafat sejarah, yaitu ide kemajuan, ide kebebasan, ide waktu, dan ide masa depan.
Riwayat Singkat Soekarno
Ir. Soekarno, kelahiran Surabaya 6 Juni 1901 yang lebih dikenal dengan sebutan Bung Karno merupakan proklamator sekaligus Presiden pertama Republik Indonesia. Beliau lahir dari pasangan Raden Sukemi Sosrodiharjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Ayahnya adalah seorang guru. Secara umum, beliau berasal dari sebuah keluarga priyayi yang tidak begitu tinggi tingkatannya. Lebih lanjut, pendidikan membuatnya menjadi berada pada kalangan atas masyarakat Indonesia saat itu. Ia menyelesaikan ELS (sekolah menengah Belanda) pada tahun 1921. Kemudian, baru pada tahun 1927, Soekarno memulai karir politiknya.
Selama masa studinya di HBS, ia tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto, seorang pemimpin Sarekat Islam (SI) yang kharismatis. Lebih lanjut, Tjokoraminoto kemudian memperkenalkan Soekarno muda kepada kalangan nasionalis, anggota Jong Java, anggota SI. Kemudian dalam perkembangannya, sejak tahun 1911 Soekarno mulai menuliskan pemikiran-pemikirannya melalui penerbitan-penerbitan nasionalis Oetoesan Hindia. Dari pemikiran-pemikirannya mulai tampak bahwa Ia sangat menentang kapitalisme dan imperialisme.
Soekarno adalah Pendiri Partai Nasional Indonesia pada tahun 1927. Beliau adalah sponsor Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) tahun 1929. Bung Karno bersama-sama Gatot Mangkupraja, Maskun Sumadireja, dan Soepriadinata pada tanggal 18 Agustus 1930 diadili pada Land Raad Bandung dan pada akhir tahun yang sama divonis 4 tahun penjara, namun bertepatan berakhirnya masa jabatan Gubernur Jendral de Graff pada tanggal 31 Desenber 1931 dibebaskan dari penjara Soekamiskin. Dua tahun kemudian tahun 1933 Bung Karno diasingkan ke Flores dan pada tahun 1939 dipindahkan ke Bengkulu sampai pendudukan Bala Tentara Jepang tahun 1942. Sewaktu diangkat sebagai anggota Badan Penyelidik, beliau adalah ketua Tyuuo Sangi-In, dan Ketua Poetra yang kemudian dibubarkan dan diganti dengan Jawa Hokokai. Beliau adalah penerima Ratna Suci Kelas II dari pemerintah Jepang di Tokyo. B.M. Diah melukiskan Bung Karno sebagai satu-satunya manusia besar Indonesia yang menjulang tinggi di angkasa.
Soekarno dilantik menjadi presiden pertama Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. Beliau kemudian menjabat sebagai presiden sampai tahun 1967 atau sampai saat ia wafat. Kematiannya masih merupakan sebuah kontroversi hingga saat ini. Pada sebuah kesaksian, Dewi Soekarno, istrinya, memaparkan bahwa ada dugaan bahwa Soekarno mati dengan cara dibunuh. Namun, memang belum ada kepastian yang menguatkan mengenai kesaksian tersebut.
Ide Kemajuan
Secara umum, pemikiran Soekarno selalu terkait dengan perjuangan melawan kapitalisme dan imperialism. Baginya, salah satu bentuk kemajuan adalah kemerdekaan. Lebih dalam, kemerdekaan bukan tujuan pada dirinya sendiri, namun sebuah pembebasan dari kapitalisme dan imperialism. Soekarno dengan paham Marxis yang ada dalam pikirannya, menganggap bahwa kolonialisme menjadi penghambat kemajuan sebuah bangsa dan Negara. Kolonialisme dan imperialism membuat banyak orang merasa terasing dari tanah airnya sendiri. Berikut kutipan yang menggambarkan pemikirannya atas penolakan terhadap penjajahan dan kemajuan melalui kemerdekaan:
"Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita."
"Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu ! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bestik tetapi budak."
“Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan "jembatan". Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat kekal dan abadi.”
Lebih lanjut, untuk melawan kolonialisme dan imperialism, Soekarno menggunakan ajaran Lenin tentang Revolusi Sosialis. Lenin mengajukan pandangan bahwa revolusi sosialis hanya terlaksana apabila proletariat mau melaksanakannya. Namun, revolusi tidak akan terjadi apabila tidak ada kesadaran sosialis-revolusioner. Lebih lanjut, kesadaran tersebut harus dibentuk dan dibangun berdasarkan pengalaman-pengalaman ketertindasan.
Bagi Soekarno, syarat utama kemajuan adalah sebuah kemerdekaan. Merdeka merupakan sarana menuju keadaan yang lebih baik. Lalu dalam hubungannya dengan revolusi sosialis, Soekarno terlanjur jatuh cinta dengan semboyan revolusi dari kaum komunis. Ha; tersebut yang kemudian mempengaruhi pemikirannya berkaitan dengan ide kemajuan. Baginya, proses kemajuan harus bersifat progresif-revolusioner dan berlangsung terus menerus. Artinya, kemajuan yang terjadi secara cepat, mendasar, dan kontinu.
Ide Waktu
“Jangan sekali-kali melupakan Sejarah. Never leave the history” kutipan tersebut seolah telah sedikit menggambarkan ide waktu menurut Soekarno. Beliau menyadari betul bahwa waktu terus bergerak dari masa lalu, menuju masa sekarang, dan nanti ke masa depan. Ungkapan jangan sekali-kali melupakan sejarah ingin menyatakan bahwa seseorang bahkan sebuah bangsa tidak pernah boleh mengabaikan masa lalu. Masa lalu justru perlu senantiasa digali dan direfleksikan bagi masa sekarang dan antisipasi terhadap masa depan.
Lebih lanjut, Soekrano dalam perjuangannya melawan kolonialisme dan imperialism selalu mengelaborasi masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Masa lalu diisi oleh kenangan kepahitan pengalaman dijajah sekian lama. Maka masa sekarang, saat ia hidup, merupakan masa perjuangan yang tidak pernah boleh berhenti berjuang memperoleh kemerdekaan dan mengusir kolonialisme atau para penjajah. Agar kelak di masa depan bangsa Indonesia dapat bersatu dan meraih cita-cita bersama.
Ide Kebebasan
Ide kebebasan berkaitan erat dengan penentuan diri, pengendalian diri, pengarahan diri, dan pengaturan diri. Hal tersebut berarti adanya sebuah otonomi baik dari individu maupun kelompok tertentu untuk mengambil setiap keputusan atas tindakan. Lebih lanjut, kebebasan dilihat dalam kerangka seseorang atau kelompok didorong atau diarahkan oleh motif, cita-cita, harapan, dan dorongan batin yang dikehendaki sebagai lawan dari paksaan, atau tekanan baik dari luar dan dari dalam.
Pada bagian ini kita akan mengikuti pemaparan pemikiran Soekarno mengenai ide kebebasan. Menurut Soekarno, kebebasan juga berarti sebuah kemerdekaan. Ide kebebasan ini erat kaitannya pula dengan ide kemajuan yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Soekarno berpendapat bahwa kebebasan adalah sebuah situasi dimana setiap orang mampu bebas dari ikatan atau kekangan yang membelenggu diri untuk dapat mengembangkan atau mengaktualisasikan diri. Kebebasan terjadi ketika setiap orang mempunyai kemerdekaan untuk menentukan sendiri arah hidupnya. Berikut kutipan pemikiran Soekarno berkaitan ide kebebasan:
“Merdeka buat saya ialah: "political independence", politieke onafhankelijkheid. Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?”
“Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun '33 saya telah menulis satu risalah. Risalah yang bernama "Mencapai Indonesia Merdeka". Maka di dalam risalah tahun "33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political indenpendence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas.”
“Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita!”
Soekarno menyampaikan pandangan tersebut ketika pidatonya pada 1 Juni 1945 saat siding BPUPKI yang akan membahas dasar Negara Indonesia merdeka. Sebelum menyampaikan rumusan Pancasila, Soekarno menyampaikan pandangannya terlebih dahulu tentang arti merdeka menurutnya. Dari kutipan pidato tersebut dapat mengungkapkan dengan jelas kepada pendengar dan pembacanya saat ini bahwa kemerdekaan sebagai sebuah jembatan, jembatan emas. Analogi jembatan berarti sebuah penghubung dari satu tempat ke tempat yang lain. Jembatan mampu menghantar orang sampai di tempat tujuan dengan selamat dengan melewati jurang pemisah yang ada di bawahnya.
Kemerdekaan atau kebebasan bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Dengan kata lain, kemerdekaan tidak boleh berhenti untuk kemerdekaan itu sendiri. Kemerdekaan hanyalah sebuah sarana, sebuah jembatan emas, yang menghantar seseorang meraih apa yang menjadi cita-citanya. Lebih lanjut, kebebasan berarti sarana bagi perkembangan diri.
Ide Masa Depan
Ide menganai masa depan ini saya isi dengan cita-cita Soekarno terhadap Indonesia. Banyak sekali cita-cita yang terungkap dari Soekarno bagi Indonesia. Mulai dari Indonesia merdeka, Indonesia bersatu, dan masih banyak lagi. Namun salah satu yang paling terkenal adalah gagasannya yang sering disebut sebagai “Trisakti”. Isi dari Trisakti antara lain, “Indonesia yang berdaulat secara politik”, “Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan “Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”. Trisakti menjadi sebuah konsep kunci bagi arah perkembangan ke masa depan yang ingin dilakukan bagi Indonesia.
Indonesia berdaulat secara politik berarti aspirasi setiap warganya dapat tertampung. Setiap warga Negara mampu berpartisipasi aktif dalam usaha perkembangan bangsa dan Negara. Di lain pihak, dalam kaitannya dengan Negara lain Indonesia mampu dengan bebas menentukan arah kebijakannya sendiri. Indonesia mampu mandiri dalam mengambil keputusan tanpa adanya campur tangan dari Negara lain.
Indonesia mandiri secara ekonomi berarti Indonesia mampu mengusahakan sendiri kegiatan perekonomian guna mecukupi kebutuhan hidup warganya. Mandiri secara ekonomi juga berarti bahwa Indonesia mampu memaksimalkan segala potensi yang ada di dalamnya tanpa tergantung bantuan ekonomi Negara lain. Jadi Indonesia tidak pernah tergantung dengan bantuan-bantuan ekonomi pihak luar.
Indonesia berkepribadian secara sosial-budaya berarti Indonesia mempunyai jati diri bangsa. Lebih dalam, Indonesia mempunyai nilai-nilai luhur yang telah ada sejak puluhan tahun yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain. Identitas atau jati diri bangsa ini menjadi sangat penting agar tidak kehilangan pegangan dalam arus dunia yang semakin global. Kesadaran akan jati diri terdalam bangsa mampu saling mempererat persaudaraan diantara sesame warga.
PUSTAKA
Farel, dkk. Bung Karno. Kompas. Jakarta. 2009.
Latif, Yudi. Negara Paripurna. Historistias, Rasionalitas, dan Aktualisasi Pancasila. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2011.
Mudhofir, Ali. Kamus Filsafat Nilai. Kertagama. Jakarta. 2014.
Munir, Misnal. Filsafat Sejarah. UGM Press. Yogyakarta. 2014.
Onghokham, “Sukarno: Mitos dan Realitas”, Manusia Dalam Kemelut sejarah. LP3ES. Jakarta. 1978.
S. Silalahi, Dasar-dasar Indonesia Merdeka. Versi Para Pendiri Negara., Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2001.
Soekarno, Menggali Pancasila (Kumpulan Pidato), Wawan Tunggul Alam (ed.). Gramedia. Jakarta. 2001.
_______, Pidato Peringatan HUT RI 17 Agustus 1966.
_______, Pidato Trisakti
Sularto, St. (ed.), Dialog Dengan Sejarah. Soekarno Seratus Tahun. Penerbit Kompas. Jakarta. 2001.
"Sapere Aude"
Sebuah wadah ajang kebebasan untuk berpikir, berpendapat, dan "gila"...
Jumat, 13 Maret 2015
Analisis Kritis Atas Proyek “Revolusi Mental” Presiden Jokowi
Oleh : Kristoforus Sri Ratulayn K.N
Pengantar
Pada masa kampanye pemilu presiden yang lalu, Jokowi yang saat ini telah resmi dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke tujuh menulis sebuah opini dengan judul “Revolusi Mental” pada harian Kompas. Tulisan tersebut menjadi sebuah penegasan akan garis politik yang akan diusung Jokowi ketika terpilih dan menjabat menjadi Presiden. Lebih lanjut, di dalam tulisan tersebut termuat beberapa keprihatinan dan gagasan Presiden Jokowi tentang apa yang diperlukan bagi bangsa dan Negara Indonesia saat ini. Gagasan “Revolusi Mental” bisa dikatakan sebagai sebuah visi pribadi Presiden Jokowi selama lima tahun kedepan dalam memimpin Negara Indonesia.
Secara umum, gagasan Revolusi Mental yang dipaparkan oleh Presiden Jokowi berangkat dari fenomena kecemasan yang terjadi dalam masyarakat. Masyarakat masih saja mengalami kecemasan setelah puluhan tahun memasuki era refomasi. Presiden telah silih berganti dengan system pemilihan yang lebih demokratis dan mengakomodasi kebebasan berpendapat rakyat. Bidang ekonomi telah mengalami perkembangan yang cukup membanggakan. Namun mengapa masih terjadi kecemasan dalam masyarakat?
Presiden Jokowi berpendapat bahwa pasca reformasi yang menjadi pusat perhatian dan perbaikan hanya sebatas pada system kelembagaan dan konstitusi semata. Perbaikan yang terjadi pasca reformasi hanya berhenti pada system yang mengatur regulasi jalannya pemerintahan, mulai dari amandemen UUD 45, pembentukan lembaga independen seperti KPK, otonomi daerah, dan masih banyak lagi. Perbaikan tidak menyentuh pada manusianya sebagai pelaku dari system tersebut. Akhirnya, yang terjadi masih saja terjadi pewarisan budaya dari masa Orde Baru, seperti korupsi, intoleransi keberagaman, dan masih banyak lainnya. Dengan kata lain, secanggih apapun system yang dibentuk, tapi jika manusia yang menjalankannya tidak ikut dibentuk sama saja tidak ada artinya. Sama seperti seorang balita yang diberi gadget canggih, tentu akan dipukul-pukul dan dirusak karena memang tidak mengerti cara menggunakannya.
Perubahan dan perbaikan perlu sampai menyentuh pada perubahan cara pandangan atau paradigm manusia dan budaya politik. Lebih dalam, perlu adanya sebuah revolusi untuk menjawabi permasalahan-permasalahan tersebut. Revolusi yang dimaksud Presiden Jokowi bukanlah revolusi fisik, melainkan revolusi mental. Dengan kata lain, Jokowi ingin menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan national building yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.
Revolusi mental ini kemudian diisi oleh konsep Trisakti dari Presiden Sukarno, antara lain “Indonesia yang berdaulat secara politik”, “Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan “Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”. Revolusi mental dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu. Kemudian berlanjut ketingkat yang lebih luas, keluarga, lingkungan tempat kerja, masyarakat luas, dan akhirnya sampai pada tingkat negara
Tulisan ini ingin memberikan sebuah analisis kritis atas gagasan “Revolusi Mental” yang menjadi garis politik dan visi pribadi Presiden Jokowi. Dengan kata lain, penulis ini memberikan tinjauan secara teoritis dan kritis mengenai gagasan Revolusi Mental dari Presiden Jokowi. Penulis ingin memberikan pembenaran teoritis tentang gagasan Revolusi Mental yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi.
Sisi Lain Revolusi Mental
Gagasan Revolusi Mental memang menarik untuk dikajidan dipertimbangkan sebagai “obat” perbaikan bangsa dan Negara ini. Secara tajam Presiden Jokowi menyoroti bahwa pasca reformasi perubahan dan pembenahan yang terjadi hanya seputar dimensi konstitusional Negara. Artinya, banyak peraturan dibuat, system yang menjamin demokrasi dirancang, bahkan sampai mengamandemen UUD 45. Sedangkan lupa untuk mendidik manusia-manusia sebagai pelaku system tersebut agar siap secara moral menjalankan system yang dirancang. Sehingga yang terjadi system pemerintahan dan konstitusi melesat begitu maju tetapi manusia yang mejalankannya tetap dengan cara pandang dan budaya warisan Orde Baru yang sudah sangat mengakar kuat. Dengan kata lain, secanggih apapun system yang dibuat, jika tidak dibarengi dengan pengembangan manusia dengan cara pandang baru sama saja tidak ada gunanya. System dan manusia harus berjalan beriringan dalam perkembangannya.
Gagasan Revolusi Mental yang diusung oleh Presiden Jokowi di sisi lain membawa sejumlah kekawatiran bagi sebagian masyarakat. Gagasan Revolusi mental dianggap hanya sebagai upaya meningkatkan popularitas semata bagi Presiden Jokowi pada saat kampanye presiden agar banyak orang terpukau atasnya. Lebih lanjut, seperti upaya pencitraan pada umumnya yang menggunakan segala macam cara dan bujuk rayu untuk menghimpun dan memperoleh dukungan dari masyarakat. Sah-sah saja pendapat sebagaian orang tersebut. Karena memang mulai pelantikan Presiden dan dalam lima tahun kepemimpinannya baru akan terlihat dan terbukti apakah gagasan tersebut hanya sekedar teori atau sungguh-sungguh dilakukan oleh Presiden Jokowi dalam memimpin Negara ini. Waktu yang akan menjawab sanggahan pendapat kritis tersebut.
Lebih lanjut, jika memang gagasan Revolusi Mental sungguh-sungguh dilakukan, maka ada beberapa catatan lanjut yang perlu untuk juga dicermati dalam gagasan tersebut. Presiden Jokowi perlu secara kritis melihat konsekuensi logis dibalik gagasan besar Revolusi Mental yang akan menjadi garis politiknya. Kita perlu mengamati secara kritis-historis konteks penggunaan gagasan revolusi. Artinya, melihat kembali secara radikal apa yang dimaksud dengan revolusi? dan bagaimana sejarah mencatat berbagai gerakan yang mengatasnamakan revolusi? Bagaimana sesungguhnya revolusi yang dipahami oleh Presiden Jokowi? Pertanyaan-pertannyaan tersebut muncul dalam benak sebagian masyarakat yang mencoba mengambil jarak dari gagasan Revolusi Mental Presiden baru mereka. Berikut beberapa pertimbangan teoritis tentang revolusi atau setiap tindakan yang sifatnya revolusioner.
Pertama, ada beberapa arti revolusi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, revolusi 1) berarti perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata); 2) perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang; 3) peredaran bumi dan planet-planet lain dl mengelilingi matahari. Dengan melihat arti tersebut, dalam konteks politik atau pemerintahan revolusi selalu menggunakan arti yang pertama. Gagasan Revolusi Mental yang dicanangkan Presiden Jokowi jelas berada dalam konteks politik dan pemerintahan. Maka bisa disimpulkan bahwa revolusi yang akan dilakukan oleh Presiden kita tentu cenderung mempunyai tarikan yang kuat kepada arah kekerasan. Kata revolusi yang dipakai oleh Presiden Jokowi jelas mengerikan jika konsekuensinya kearah tindakan kekerasan bahkan dengan perlawanan bersenjata.
Lebih lanjut, revolusi jelas berbeda dengan evolusi. Revolusi berarti proses perubahan yang terjadi dengan seketika atau cepat. Sedangkan evolusi lebih pada sebuah proses perubahan bertahap yang terjadi dari waktu ke waktu yang cenderung lama. Revolusi tidak mengenal tahapan dalam proses perubahannya. Apa atau siapapun itu, mau atau tidak mau harus ikut berubah di dalamnya. Siapa yang mencoba melawan dalam gerakan perubahan seketika itu akan ikut digilasnya. Dengan demikian, jika Presiden Jokowi menginginkan sebuah revolusi jelas akan ada sebuah shock terjadi dalam masyarakat. Masyarakat harus dengan cepat mengikuti gerak perubahan yang diinginkan oleh gerakan perubahan tersebut. Siapa saja siap atau tidak siap harus bergerak di dalamnya. Pertanyaanya, apakah yakin tidak akan ada korban di dalam proses tersebut? Jika memakan korban, pengorbanan seperti apa yang ada dalam pikiran Presiden kita dalam revolusi ini?
Revolusi berkedatan dengan sikap perlawanan yang terjadi dalam masyarakat akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah yang ada. Sikap perlawanan tersebut dikarenakan pemerintahan yang berkuasa menindas terus menerus dan melanggar ketidakadilan masyarakat. Sedangkan revolusi sendiri berarti sebuah perlawanan yang tidak hanya menetang kebijakan atau peraturan tertentu, melainkan bertujuan untuk menumbangkan pemegang kekuasaan dan mengubah seluruh system ketatanegaraan. Revolusi menuntut sebuah perubahan mendasar dan mendadak undang-undang dasar Negara oleh sebuah gerakan massa. Lebih lanjut, yang menjadi cirri khas dari revolusi adalah sifanya yang tidak legal, atau tidak berdasarkan hukum yang berlaku. Dengan demikian, revolusi jelas tidak bisa dinilai dalam konteks legalitas, melainkan legitimasi moral. Karena memang revolusi sendiri bertentangan dengan hukum yang berlaku. Malahan revolusi akan menciptakan hukum dan ketatanegaraan baru apabila memperoleh kemenangan.
Kemudian pertannyaan yang muncul atas dasar penilaian legitimasi moral adalah apakah revolusi dapat dibenarkan? Apakah melawan sebuah pemerintahan yang menindas dan melanggar keadilan tidak dibenarkan? Saya tidak ingin memberikan jawaban yang pasti atasnya, melainkan hanya akan memberikan pertimbangan-pertimbangan jika memang jalan revolusioner yang dipilih. Sesungguhnya mengapa memilih jalan revolusi sebagai sarana mencapai tujuan?
Magnis Suseno dalam bukunnya memberikan beberpa pertimbangan. Pertimbangan pertama, jalan revolusi sesungguhnya jalan yang sudah pasti memakan banyak korban dan penderitaan. Dan sudah pasti rakyat kecillah yang paling banyak menjadi korbannya. Lebih dalam, akan juga terjadi banyak kerusakan diberbagai bidang, ekonomi, politik, bahkan budaya. Apakah layak dan pantas mengurbankan banyak orang demi mencapai tujuan tertentu di masa depan? Sepadankah penderitaan yang dialami selama proses revolusi demi mencapai sebuah tujuan dengan alasan demi masa depan anak cucu? Bukankah yang perlu dijaga, dirawat dan dilindungi adalah manusia-manusia yang hidup di masa kini, bukan masa depan?
Pertimbangan kedua, andaikata revolusi mampu menang dan mencapai tujuannya, seberapa besar jaminan bahwa para pemimpin gerakan revolusioner akan memberikan kebijakan yang lebih baik dibandingkan pemerintahan sebelumnya? Bukankah ketika selesainya revolusi semua hancur dan dimulai dari awal? Pengalaman hamper secara universal membuktikan bahwa pemerintahan hasil revolusi malah menjadi lebih jahat dari pemerintahan yang berhasil ditumbangkannya. Hal tersebut dikarenakan mental yang terbentuk dari para penggerak revolusi yang harus berjuang dengan keras, tegas, dan tanpa belas kasihan dalam menumbangkan kekuasaan yang ada. Hingga akhirnya ketika mereka berkuasa, mental tersebut terbawa saat mereka menjadi pemimpin yang baru.
Lebih lanjut, pemerintah revolusioner tidak pernah dapat diharapkan bersedia untuk menciptakan konstitusi-konstitusi yang lebih demokratis. Bagi mereka hal tersebut sama saja menyerahkan pemerintahan pada sebagaian orang kalangan menengan yang selama perjuangan tidak pernah sungguh-sungguh ikut memperjuangkannya. Sudah barang tentu mereka ingin menikmati hasil dari perjuangan mereka selama beberapa tahun.
Beberapa pertimbangan tersebut menunjukkan betapa jalan revolusi memiliki harapan yang kecil untuk terjadinya perubahan kearah yang lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada jaminan pasti bahwa setelah revolusi, jaminan akan perlindungan hak-hak asasi, keadilan, dan penghargaan terhadap martabat manusia akan lebih baik. Karena revolusi sesungguhnya juga bagian dari sarana memperoleh kekuasaan. Dan setelah kekuasaan berada dalam genggaman belum tentu juga dengan mudah mereka berikan kepada kehendak umum masyarakat. Sisi lain, secara etis, tidak pernah boleh mengurbankan manusia demi mencapai tujuan yang diharapkan.
Kedua, dalam teori sejarah, gerak peruabahan secara revolusi digambarkan seperti sebuah garis sejarah yang terputus-putus. Lebih dalam, digambarakan seperti sebuah garis yang bergerak lurus kemudian terputus begitu saja karena revolusi dan dimulai dari titik nol lagi, begitu terus selanjutnya. Gerak sejarah dengan revolusi membuat keterputusan dengan proses yang terjadi sebelumnya. Perubahan tersebut berbeda dengan gerak sejarah secara siklis ataupun dialektika. Gerak sejarah dialektika selalui merupakan proses pembaruan terus menerus tanpa meninggalkan konteks gerak sebelumnya. Jika digambarkan gerak sejarah secara dialektika, maka akan didapatkan seperti sebuah spiral. Dalam proses dialektika ada tesis yang berhadapan dengan antithesis, kemudian muncul sintesis. Sintesis kemudian berubah menjadi tesis baru dan muncul sintesis baru pula, begitu seterusnya.
Apakah gerak sejarah revolusi yang demikian yang diinginkan oleh Presiden Jokowi? Sebuah gerakan perubahan yang sungguh-sungguh baru dan membuang segala hal yang telah ada dari hasil proses sebelumnya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana hal tersebut mungkin untuk terjadi. Pertanyaanya apakah sungguh tidak ada kebaikan dalam proses yang terjadi sebelumnya? Sungguhkah tidak ada paradigma dan cara pandang, atau budaya poltik baik yang terjadi pasca reformasi? Bukankah Presiden Jokowi juga terpilih dari budaya poltik hasil dari proses pasca reformasi? Jika Presiden Jokowi menganggap hal tersebut kurang meyakinkan, berarti sah juga kalau orang lain juga meragukan dirinya. Karena memang beliau juga terpilih dari budaya dan cara pandang demikian.
Ketiga, terakhir yang menjadi pertanyaan saya untuk gagasan Revolusi Mental. Pada bagian awal gagasannya Presiden Jokowi berpendapat bahwa yang perlu dibenahi adalah sisi manusianya sebagai pelaku dari system. Lebih lanjut, beliau berpendapat selama ini yang menjadi fokus hanya sekedar pembenahan system dan belum menyentuh aspek pembentukan cara berpikir manusia sebagai pelaku system. Namun, dalam gagasan Trisakti sebagai isi dari Revolusi Mental, lagi-lagi beliau kembali dan lebih condong kepada pembenahan system. Pada titik mana gagasan Trisakti tersebut sungguh-sungguh menggarap sisi pembentukan manusia yang menyentuh sampai pada pembentukan paradigm manusia sebagai pelaku system.
Cita-cita bersama menjadi sebuah Negara yang berdaulat dan berbudaya memang perlu senantiasa diperjuangkan oleh segenap komponen Negara ini. Namun cita-cita yang baik perlu juga mempertimbangkan cara-cara yang baik dan benar pula untuk mencapainya. Perlu adanya sebuah gerakan pertimbangan yang lebih mendasar yaitu legutimasi etis, ketimbang pertimbangan legalitas semata. Bangsa ini membutuhkan gerakan sadar moral ketimbang sadar hukum yang selama ini didengung-dengungkan. Selamat berkarya Presiden Jokowi. Jaya terus Indonesia!!!
PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 2011.
Suseno, Franz-Magnis. Etika Politik. Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2003.
Pengantar
Pada masa kampanye pemilu presiden yang lalu, Jokowi yang saat ini telah resmi dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke tujuh menulis sebuah opini dengan judul “Revolusi Mental” pada harian Kompas. Tulisan tersebut menjadi sebuah penegasan akan garis politik yang akan diusung Jokowi ketika terpilih dan menjabat menjadi Presiden. Lebih lanjut, di dalam tulisan tersebut termuat beberapa keprihatinan dan gagasan Presiden Jokowi tentang apa yang diperlukan bagi bangsa dan Negara Indonesia saat ini. Gagasan “Revolusi Mental” bisa dikatakan sebagai sebuah visi pribadi Presiden Jokowi selama lima tahun kedepan dalam memimpin Negara Indonesia.
Secara umum, gagasan Revolusi Mental yang dipaparkan oleh Presiden Jokowi berangkat dari fenomena kecemasan yang terjadi dalam masyarakat. Masyarakat masih saja mengalami kecemasan setelah puluhan tahun memasuki era refomasi. Presiden telah silih berganti dengan system pemilihan yang lebih demokratis dan mengakomodasi kebebasan berpendapat rakyat. Bidang ekonomi telah mengalami perkembangan yang cukup membanggakan. Namun mengapa masih terjadi kecemasan dalam masyarakat?
Presiden Jokowi berpendapat bahwa pasca reformasi yang menjadi pusat perhatian dan perbaikan hanya sebatas pada system kelembagaan dan konstitusi semata. Perbaikan yang terjadi pasca reformasi hanya berhenti pada system yang mengatur regulasi jalannya pemerintahan, mulai dari amandemen UUD 45, pembentukan lembaga independen seperti KPK, otonomi daerah, dan masih banyak lagi. Perbaikan tidak menyentuh pada manusianya sebagai pelaku dari system tersebut. Akhirnya, yang terjadi masih saja terjadi pewarisan budaya dari masa Orde Baru, seperti korupsi, intoleransi keberagaman, dan masih banyak lainnya. Dengan kata lain, secanggih apapun system yang dibentuk, tapi jika manusia yang menjalankannya tidak ikut dibentuk sama saja tidak ada artinya. Sama seperti seorang balita yang diberi gadget canggih, tentu akan dipukul-pukul dan dirusak karena memang tidak mengerti cara menggunakannya.
Perubahan dan perbaikan perlu sampai menyentuh pada perubahan cara pandangan atau paradigm manusia dan budaya politik. Lebih dalam, perlu adanya sebuah revolusi untuk menjawabi permasalahan-permasalahan tersebut. Revolusi yang dimaksud Presiden Jokowi bukanlah revolusi fisik, melainkan revolusi mental. Dengan kata lain, Jokowi ingin menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan national building yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.
Revolusi mental ini kemudian diisi oleh konsep Trisakti dari Presiden Sukarno, antara lain “Indonesia yang berdaulat secara politik”, “Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan “Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”. Revolusi mental dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu. Kemudian berlanjut ketingkat yang lebih luas, keluarga, lingkungan tempat kerja, masyarakat luas, dan akhirnya sampai pada tingkat negara
Tulisan ini ingin memberikan sebuah analisis kritis atas gagasan “Revolusi Mental” yang menjadi garis politik dan visi pribadi Presiden Jokowi. Dengan kata lain, penulis ini memberikan tinjauan secara teoritis dan kritis mengenai gagasan Revolusi Mental dari Presiden Jokowi. Penulis ingin memberikan pembenaran teoritis tentang gagasan Revolusi Mental yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi.
Sisi Lain Revolusi Mental
Gagasan Revolusi Mental memang menarik untuk dikajidan dipertimbangkan sebagai “obat” perbaikan bangsa dan Negara ini. Secara tajam Presiden Jokowi menyoroti bahwa pasca reformasi perubahan dan pembenahan yang terjadi hanya seputar dimensi konstitusional Negara. Artinya, banyak peraturan dibuat, system yang menjamin demokrasi dirancang, bahkan sampai mengamandemen UUD 45. Sedangkan lupa untuk mendidik manusia-manusia sebagai pelaku system tersebut agar siap secara moral menjalankan system yang dirancang. Sehingga yang terjadi system pemerintahan dan konstitusi melesat begitu maju tetapi manusia yang mejalankannya tetap dengan cara pandang dan budaya warisan Orde Baru yang sudah sangat mengakar kuat. Dengan kata lain, secanggih apapun system yang dibuat, jika tidak dibarengi dengan pengembangan manusia dengan cara pandang baru sama saja tidak ada gunanya. System dan manusia harus berjalan beriringan dalam perkembangannya.
Gagasan Revolusi Mental yang diusung oleh Presiden Jokowi di sisi lain membawa sejumlah kekawatiran bagi sebagian masyarakat. Gagasan Revolusi mental dianggap hanya sebagai upaya meningkatkan popularitas semata bagi Presiden Jokowi pada saat kampanye presiden agar banyak orang terpukau atasnya. Lebih lanjut, seperti upaya pencitraan pada umumnya yang menggunakan segala macam cara dan bujuk rayu untuk menghimpun dan memperoleh dukungan dari masyarakat. Sah-sah saja pendapat sebagaian orang tersebut. Karena memang mulai pelantikan Presiden dan dalam lima tahun kepemimpinannya baru akan terlihat dan terbukti apakah gagasan tersebut hanya sekedar teori atau sungguh-sungguh dilakukan oleh Presiden Jokowi dalam memimpin Negara ini. Waktu yang akan menjawab sanggahan pendapat kritis tersebut.
Lebih lanjut, jika memang gagasan Revolusi Mental sungguh-sungguh dilakukan, maka ada beberapa catatan lanjut yang perlu untuk juga dicermati dalam gagasan tersebut. Presiden Jokowi perlu secara kritis melihat konsekuensi logis dibalik gagasan besar Revolusi Mental yang akan menjadi garis politiknya. Kita perlu mengamati secara kritis-historis konteks penggunaan gagasan revolusi. Artinya, melihat kembali secara radikal apa yang dimaksud dengan revolusi? dan bagaimana sejarah mencatat berbagai gerakan yang mengatasnamakan revolusi? Bagaimana sesungguhnya revolusi yang dipahami oleh Presiden Jokowi? Pertanyaan-pertannyaan tersebut muncul dalam benak sebagian masyarakat yang mencoba mengambil jarak dari gagasan Revolusi Mental Presiden baru mereka. Berikut beberapa pertimbangan teoritis tentang revolusi atau setiap tindakan yang sifatnya revolusioner.
Pertama, ada beberapa arti revolusi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, revolusi 1) berarti perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata); 2) perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang; 3) peredaran bumi dan planet-planet lain dl mengelilingi matahari. Dengan melihat arti tersebut, dalam konteks politik atau pemerintahan revolusi selalu menggunakan arti yang pertama. Gagasan Revolusi Mental yang dicanangkan Presiden Jokowi jelas berada dalam konteks politik dan pemerintahan. Maka bisa disimpulkan bahwa revolusi yang akan dilakukan oleh Presiden kita tentu cenderung mempunyai tarikan yang kuat kepada arah kekerasan. Kata revolusi yang dipakai oleh Presiden Jokowi jelas mengerikan jika konsekuensinya kearah tindakan kekerasan bahkan dengan perlawanan bersenjata.
Lebih lanjut, revolusi jelas berbeda dengan evolusi. Revolusi berarti proses perubahan yang terjadi dengan seketika atau cepat. Sedangkan evolusi lebih pada sebuah proses perubahan bertahap yang terjadi dari waktu ke waktu yang cenderung lama. Revolusi tidak mengenal tahapan dalam proses perubahannya. Apa atau siapapun itu, mau atau tidak mau harus ikut berubah di dalamnya. Siapa yang mencoba melawan dalam gerakan perubahan seketika itu akan ikut digilasnya. Dengan demikian, jika Presiden Jokowi menginginkan sebuah revolusi jelas akan ada sebuah shock terjadi dalam masyarakat. Masyarakat harus dengan cepat mengikuti gerak perubahan yang diinginkan oleh gerakan perubahan tersebut. Siapa saja siap atau tidak siap harus bergerak di dalamnya. Pertanyaanya, apakah yakin tidak akan ada korban di dalam proses tersebut? Jika memakan korban, pengorbanan seperti apa yang ada dalam pikiran Presiden kita dalam revolusi ini?
Revolusi berkedatan dengan sikap perlawanan yang terjadi dalam masyarakat akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah yang ada. Sikap perlawanan tersebut dikarenakan pemerintahan yang berkuasa menindas terus menerus dan melanggar ketidakadilan masyarakat. Sedangkan revolusi sendiri berarti sebuah perlawanan yang tidak hanya menetang kebijakan atau peraturan tertentu, melainkan bertujuan untuk menumbangkan pemegang kekuasaan dan mengubah seluruh system ketatanegaraan. Revolusi menuntut sebuah perubahan mendasar dan mendadak undang-undang dasar Negara oleh sebuah gerakan massa. Lebih lanjut, yang menjadi cirri khas dari revolusi adalah sifanya yang tidak legal, atau tidak berdasarkan hukum yang berlaku. Dengan demikian, revolusi jelas tidak bisa dinilai dalam konteks legalitas, melainkan legitimasi moral. Karena memang revolusi sendiri bertentangan dengan hukum yang berlaku. Malahan revolusi akan menciptakan hukum dan ketatanegaraan baru apabila memperoleh kemenangan.
Kemudian pertannyaan yang muncul atas dasar penilaian legitimasi moral adalah apakah revolusi dapat dibenarkan? Apakah melawan sebuah pemerintahan yang menindas dan melanggar keadilan tidak dibenarkan? Saya tidak ingin memberikan jawaban yang pasti atasnya, melainkan hanya akan memberikan pertimbangan-pertimbangan jika memang jalan revolusioner yang dipilih. Sesungguhnya mengapa memilih jalan revolusi sebagai sarana mencapai tujuan?
Magnis Suseno dalam bukunnya memberikan beberpa pertimbangan. Pertimbangan pertama, jalan revolusi sesungguhnya jalan yang sudah pasti memakan banyak korban dan penderitaan. Dan sudah pasti rakyat kecillah yang paling banyak menjadi korbannya. Lebih dalam, akan juga terjadi banyak kerusakan diberbagai bidang, ekonomi, politik, bahkan budaya. Apakah layak dan pantas mengurbankan banyak orang demi mencapai tujuan tertentu di masa depan? Sepadankah penderitaan yang dialami selama proses revolusi demi mencapai sebuah tujuan dengan alasan demi masa depan anak cucu? Bukankah yang perlu dijaga, dirawat dan dilindungi adalah manusia-manusia yang hidup di masa kini, bukan masa depan?
Pertimbangan kedua, andaikata revolusi mampu menang dan mencapai tujuannya, seberapa besar jaminan bahwa para pemimpin gerakan revolusioner akan memberikan kebijakan yang lebih baik dibandingkan pemerintahan sebelumnya? Bukankah ketika selesainya revolusi semua hancur dan dimulai dari awal? Pengalaman hamper secara universal membuktikan bahwa pemerintahan hasil revolusi malah menjadi lebih jahat dari pemerintahan yang berhasil ditumbangkannya. Hal tersebut dikarenakan mental yang terbentuk dari para penggerak revolusi yang harus berjuang dengan keras, tegas, dan tanpa belas kasihan dalam menumbangkan kekuasaan yang ada. Hingga akhirnya ketika mereka berkuasa, mental tersebut terbawa saat mereka menjadi pemimpin yang baru.
Lebih lanjut, pemerintah revolusioner tidak pernah dapat diharapkan bersedia untuk menciptakan konstitusi-konstitusi yang lebih demokratis. Bagi mereka hal tersebut sama saja menyerahkan pemerintahan pada sebagaian orang kalangan menengan yang selama perjuangan tidak pernah sungguh-sungguh ikut memperjuangkannya. Sudah barang tentu mereka ingin menikmati hasil dari perjuangan mereka selama beberapa tahun.
Beberapa pertimbangan tersebut menunjukkan betapa jalan revolusi memiliki harapan yang kecil untuk terjadinya perubahan kearah yang lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada jaminan pasti bahwa setelah revolusi, jaminan akan perlindungan hak-hak asasi, keadilan, dan penghargaan terhadap martabat manusia akan lebih baik. Karena revolusi sesungguhnya juga bagian dari sarana memperoleh kekuasaan. Dan setelah kekuasaan berada dalam genggaman belum tentu juga dengan mudah mereka berikan kepada kehendak umum masyarakat. Sisi lain, secara etis, tidak pernah boleh mengurbankan manusia demi mencapai tujuan yang diharapkan.
Kedua, dalam teori sejarah, gerak peruabahan secara revolusi digambarkan seperti sebuah garis sejarah yang terputus-putus. Lebih dalam, digambarakan seperti sebuah garis yang bergerak lurus kemudian terputus begitu saja karena revolusi dan dimulai dari titik nol lagi, begitu terus selanjutnya. Gerak sejarah dengan revolusi membuat keterputusan dengan proses yang terjadi sebelumnya. Perubahan tersebut berbeda dengan gerak sejarah secara siklis ataupun dialektika. Gerak sejarah dialektika selalui merupakan proses pembaruan terus menerus tanpa meninggalkan konteks gerak sebelumnya. Jika digambarkan gerak sejarah secara dialektika, maka akan didapatkan seperti sebuah spiral. Dalam proses dialektika ada tesis yang berhadapan dengan antithesis, kemudian muncul sintesis. Sintesis kemudian berubah menjadi tesis baru dan muncul sintesis baru pula, begitu seterusnya.
Apakah gerak sejarah revolusi yang demikian yang diinginkan oleh Presiden Jokowi? Sebuah gerakan perubahan yang sungguh-sungguh baru dan membuang segala hal yang telah ada dari hasil proses sebelumnya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana hal tersebut mungkin untuk terjadi. Pertanyaanya apakah sungguh tidak ada kebaikan dalam proses yang terjadi sebelumnya? Sungguhkah tidak ada paradigma dan cara pandang, atau budaya poltik baik yang terjadi pasca reformasi? Bukankah Presiden Jokowi juga terpilih dari budaya poltik hasil dari proses pasca reformasi? Jika Presiden Jokowi menganggap hal tersebut kurang meyakinkan, berarti sah juga kalau orang lain juga meragukan dirinya. Karena memang beliau juga terpilih dari budaya dan cara pandang demikian.
Ketiga, terakhir yang menjadi pertanyaan saya untuk gagasan Revolusi Mental. Pada bagian awal gagasannya Presiden Jokowi berpendapat bahwa yang perlu dibenahi adalah sisi manusianya sebagai pelaku dari system. Lebih lanjut, beliau berpendapat selama ini yang menjadi fokus hanya sekedar pembenahan system dan belum menyentuh aspek pembentukan cara berpikir manusia sebagai pelaku system. Namun, dalam gagasan Trisakti sebagai isi dari Revolusi Mental, lagi-lagi beliau kembali dan lebih condong kepada pembenahan system. Pada titik mana gagasan Trisakti tersebut sungguh-sungguh menggarap sisi pembentukan manusia yang menyentuh sampai pada pembentukan paradigm manusia sebagai pelaku system.
Cita-cita bersama menjadi sebuah Negara yang berdaulat dan berbudaya memang perlu senantiasa diperjuangkan oleh segenap komponen Negara ini. Namun cita-cita yang baik perlu juga mempertimbangkan cara-cara yang baik dan benar pula untuk mencapainya. Perlu adanya sebuah gerakan pertimbangan yang lebih mendasar yaitu legutimasi etis, ketimbang pertimbangan legalitas semata. Bangsa ini membutuhkan gerakan sadar moral ketimbang sadar hukum yang selama ini didengung-dengungkan. Selamat berkarya Presiden Jokowi. Jaya terus Indonesia!!!
PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 2011.
Suseno, Franz-Magnis. Etika Politik. Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2003.
Analisis Kritis atas Undang-Undang Pilkada Langsung
Oleh : Kristoforus Sri R.K.N
Beberapa saat yang lalu publik dihebohkan dengan pemberitaan media seputar penyusunan dan penetepan Undang-Undang (UU) Pilkada oleh anggota DPR-RI. Kehebohan dan reaksi masyarakat berkaitan dengan isi dari UU tersebut yang menetapkan bahwa Kepala Daerah tidak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat, seperti yang telah berlangsung beberapa tahun belakangan, hak melainkan Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD. Keputusan tersebut jelas dianggap kontroversial oleh sebagian besar masyarakat. Tak pelak hal tersebut mengundang pro dan kontra dalam masyarakat sendiri.
Setidaknya ada beberapa argument yang didalilikan oleh koalisi yang mendukung pemberlakuan UU tersebut. Antara lain, pertama, peraturan tersebut untuk memurnikan kembali asas Pancasila mengenai demokrasi yang ada di Indonesia. Dengan kata, lain demokrasi yang ada di Indonesia wajib mengacu kembali apa yang sudah diamanatkan dalam Pancasila, khususnya sila keempat. Kedua, pemilu langsung dinilai menyebabkan ongkos politik yang amat besar. Ketiga, adanya kekhawatiran bahwa pemilu langsung dapat menyebabkan perpecahan di antara masyarakat. Keempat, pemilu langsung rentan terhadap terjadinya praktek politik uang di dalamnya.
Banyak argument tentang keberatan muncul terhadap UU tersebut dari berbagai kalangan. Salah satu pihak yang keberatan terhadap pengesahan UU tersebut baru-baru ini adalah Aliansi Ilmuwan Indonesia untuk Bangsa. Aliansi Ilmuwan Indonesia dibentuk oleh 350 orang ilmuwan dari berbagai lintas bidang ilmu di Indonesia. Mereka mengadakan diskusi “Kembalikan Kedaulatan Rakyat”. Dalam pernyataan sikapnya mereka kepada DPR RI dan para politisi yakni menolak dengan tegas segala bentuk manipulasi melalui penyalagunaan cara-cara prosedural-formal perumusan hukum dengan mengatasnamakan rakyat. Lebih lanjut, mereka juga mendesak agar para wakil rakyat menghentikan bentuk manipulasi dan permainan hukum untuk kepentingan kelompok.
Pada tulisan ini saya akan mencoba memberikan analisis kritis dari sudut pandang lain tentang isi UU Pilkada. Beberapa hal pokok yang akan saya uraikan adalah (1) Pancasila dan asas Pancasila. (2) analisis pemilu dan kaitannya dengan Hak asasi dan demokrasi.
Pemilu dan Asas Pancasila
Berbicara mengenai pemilu sebagai sebuah proses demokrasi di Indonesia jelas tidak bisa dipisahkan dengan Pancasila sebagai dasar Negara dan dasar hukum. Lebih khusus, sila yang langsung merujuk tentang penyelenggaraan demokrasi di Indonesia adalah sila ke empat. Sila keempat dari Pancasila adalah “Kerakyatan yang dimpimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” Bertitik tolak dari sila ini pulalah para anggota DPR-RI merancang dan mengesahkan UU Pilkada.
Secara historis, sesungguhnya telah terjadi perbedatan mengenai kedaulatan rakyat pada saat perumusan dan pengesahan Pancasila. Namun, perdebatan tersebut lebih condong kepada pengaktualisasian sila kedua. Terjadi perdebatan dalam pemenuhan prinsip ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Poin utama perdebatan tersebut adalah pertentangan mengenai hak-hak dasar manusia dengan semangat kekeluargaan. Permasalahannya adalah negara perlu memberikan ruang bagi rakyat untuk berkumpul, memberikan pendapat dan suaranya. Muhammad Yamin, Agoes Salim, Mohammad Hatta, dan Soekiman berpendapat tentang perlu adanya jaminan yang tegas mengenai kemerdekaan warga negara dalam UUD. Artinya, setiap orang tetap merasa bebas walaupun berada di payung UUD. Mohammad Hatta berpendapat paling kencang mengenai adanya jaminan yang tegas atas hak berserikat, berkumpul, dan berpendapat dalam konstitusi, agar kelak tidak terjadi kesewenang-wenangan kekuasaan yang mengatasnamakan semangat kekeluargaan. Seputar sila kedua ini akan saya bahas lebih lanjut pada bagian selanjutnya, yaitu hubungan antara pemilu dan hak asasi manusia.
Akhirnya, diambillah sebuah kompromi terhadap masukan-masukan yang disampaikan. Bentuk kompromi tersebut adalah dengan ditambahkannya pasal dalam UUD yang mengatur kebebasan penduduk untuk berkumpul dan menyuarakan pendapatnya. Kompromi tersebut termuat dalam pasal 28. Hingga berakhirnya masa persiapan BPUPKI pada tanggal 17 Juli 1945, BPUPKI berhasil menyusun dasar negara (Pancasila), pembukaan UUD (Piagam Jakarta) sebagai norma dasar yang menjiwai bantang tubuh UUD sebagai aturan dasar.
Jika diamati memang secara mekanisme sila keempat dari Pancasila memang mengarah kepada sebuah bentuk pemerintahan secara perwakilan. Hal tersebut tertulis dengan jelas dalam sila keempat. Namun, yang perlu dicermati adalah adanya syarat moralitas yang tinggi dalam lembaga perwakilan, yaitu dalam kata-kata ”dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan”. Dengan kata lain lembaga perwakilan yang ada tidak sekedar mewakili aspirasi seluruh Indonesia melainkan harus adanya kesadaran moralitas etis yang tinggi dalam diri para wakil rakyat. Perjuangan akan keadilan dan martabat manusia harus menjadi kunci perwakilan mereka.
Pada titik inilah dapat dipahami apa yang diserukan oleh para ilmuwan. Secara legal, memang pengesahan UU Pilkada sudah sesuai dengan formalitas hukum yang berlaku. Namun, yang menjadi sorotan tajam dari para ilmuwan adalah sisi moralitas yang ada dalam diri para anggota DPR yang menghendaki berlakunya UU Pilkada. Para ilmuwan menyebut mereka sebagai pembajak demokrasi yang tidak tahu berterima kasih kepada rakyat. Mereka dengan jelas mata hanya memperjuangkan kepentingan kelompoknya sendiri tapi dengan mengatasnamakan rakyat. Apakah mereka pernah mendiskusikannya dengan rakyat yang mereka wakili?
Lebih lanjut, jika mereka berargumen bahwa UU Pilkada ingin mengenbalikan kembali asas Pancasila, hal tersebut tentu juga mempunyai konsekuensi logis terhadap pelaksanaan pemilu Presiden dan Gubernur. Apakah dengan demikian mereka juga menolak pemilu langsung Presiden dan Wakil Presiden? Bukankah pemilu langsung juga merupakan buah dari reformasi yang terjadi untuk memperbaiki masa Orde Baru? Jika itu yang diinginkan oleh para anggota DPR yang menyetujui UU Pilkada, maka hal tersebut jelas merupakan sebuah kemunduran besar bagi demokrasi yang telah diawali secara tragis melalui reformasi. Jangan-jangan memang ada upaya untuk membangkitkan kembali negara totaliter ala Orde Baru.
Hak Asasi Manusia, Demokrasi Dan Pemilu
Istilah Hak Asasi Manusia atau yang sering disingkat HAM tentu sudah tidak asing lagi ditelinga kita. HAM mempunyai paham yang menegaskan bahwa setiap manusia mempunyai hak yang dimiliki oleh manusia bukan berasal dari negara ataupun hukum positif yang berlaku, melainkan karena martabatnya sebagai manusia. Dengan kata lain, manusia memilikinya karena manusia. Hal tersebut kemudian mengandaikan juga negara atau hukum tidak pernah bisa menghilangkan atau menghapusnya. Memang hukum dan negara bisa mengabaikan atau tidak mengakuinya. Namun, jika pengabaian itu terjadi, maka negara juga sama dengan mengabaikan martabat manusia.
Magnis Suseno menjelaskan bahwa menurut sifat dan arahnya masing-masing, hak asasi terbagi menjadi empat kelompok. Pertama, Hak-hak Asasi Negatif atau Liberal, hak ini diperjuangkan oleh kaum liberalisme yang pada dasarnya ingin melindungi kehidupan pribadi manusia dari campur tangan negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Beberapa contoh dari hak ini adalah hak atas hidup, kebebasan memilih jodoh, kebebasan memilih pekerjaan, kebebasan berpikir, kebebasan mengurus rumah tangga sendiri, dan masih banyak lagi lainnya. Hak-hak ini menjamin adanya sebuah ruang dimana setiap pribadi bebas menentukan sendiri dirinya. Pendasaran etis dari hak-hak ini adalah adanya tuntutan agar otonomi setiap orang atas dirinya sendiri selalu dihargai dan dihormati.
Kedua, Hak-hak Asasi Aktif atau Demokrasi, hak ini diperjuangkan oleh kaum liberal dan republikan yang mendasarkan diri pada pemahaman dasar hak-hak tersebut adalah keyakinan akan kedaulatan rakyat yang menuntut agar rakyat memerintahi diri sendiri dan setiap pemerintah berada di abwah kekuasaan rakyat. Hak ini disebut aktif karena memang rakyat menuntut adanya keikutsertaan aktif dalam menentukan arah perkembangan masyarakat. Lebih dalam, dalam paham ini menyakini adanya kesetaraan derajat sebagai manusia. Tidak ada pemerintahan yang sah apabila tidak ada penugasan oleh rakyat (pemerintah sebagai mandataris rakyat). Dalam hak ini pula pemahaman adanya hak semua warga negara untuk memilih wakil-wakilnya yang bertugas membuat undang-undang. Rakyat bebas mengangkat pemerintah dalam sebuah pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Lebih lanjut untuk kemudian juga mengontrol pemerintahan yang ada.
Ketiga, Hak-hak Asasi Positif, hak ini berkebalikan dengan hak negatif yang telah dibahas di atas. Hak-ahk positif justru menuntut prestasi-prestasi tertentu dari negara. Lebih lanjut, adanya pemenuhan-pemenuhan atau pelayanan-pelayanan yang diberikan pemerintah bagi masyarakat. Hak yang paling utama adalah perlindungan atas hukum. Hak positif ini berangkat dari anggapan bahwa keberadaan negara dan pemerintah sesungguhnya adalah untuk memberikan pelayanan-pelayanan tertentu. Dengan demikian negara wajib memberikan pelayanan karena memang masyarakat dengan sendirinya berhak menerimanya.
Keempat, Hak-hak Asasi Sosial, hak ini merupakan perluasan dari kewajiban pemerintah dalam memberikan jaminan perlindungan atas perjuangan kaum buruh dalam melawan kaum borjuis. Para buruh sering merasa terpaksa atas peraturan-peraturan sepihak yang ditetapkan oleh para pemilik modal karena memang mereka ada pada posisi yang membutuhkan pekerjaan. Sedangkan para pemilik modal dengan mudah meminggirkan mereka yang tidak menerima peraturan yang mereka tetapkan karena bisa dengan mudah mencari orang lain. Seolah kebebasan hanya yang dimiliki oleh kaum buruh tidak ada gunanya.
Pada titik ini kita bisa melihat hubungan pemilu dengan hak asasi manusia pada jenis hak asasi yang kedua, yaitu hak-hak asasi aktif dan demokrasi. Dengan lugas dapat dikatakan bahwa pemilu tidak langsung telah merenggut hak asasi manusia yang ingin ikut berpartisipasi aktif dalam menentukan perkembangan masyarakat dan negara. Pemilu tidak langsung yang ditetapkan dalam UU Pilkada jelas melawan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab yang termuat dalam sila kedua Pancasila. Kita bisa kembali pada perdebatan yang terjadi saat pendiri bangsa ini merumuskan Pancasila. Para pendiri bangsa ini sangat memberikan ruang yang luas bagi kedaulatan rakyat. Bagi mereka, kedaulatan rakyat menjad kunci bagi perkembangan dan kemajuan bangsa. Kedaulatan rakyat mengantisipasi praktek-praktek penomersatuan kepentingan kelompok yang disamarkan sebagai kepentingan rakyat seperti yang terjadi dalam proses di DPR saat ini. Dengan sangat jelas kepentingan golongan tertentu yang diutamakan oleh koalisi anggota DPR tertentu.
PUSTAKA
Latif, Yudi Negara Paripurna : Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia, Jakarta, 2011.
Suseno, Franz-Magnis, Etika Politik. Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
www.republika.co.id
Beberapa saat yang lalu publik dihebohkan dengan pemberitaan media seputar penyusunan dan penetepan Undang-Undang (UU) Pilkada oleh anggota DPR-RI. Kehebohan dan reaksi masyarakat berkaitan dengan isi dari UU tersebut yang menetapkan bahwa Kepala Daerah tidak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat, seperti yang telah berlangsung beberapa tahun belakangan, hak melainkan Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD. Keputusan tersebut jelas dianggap kontroversial oleh sebagian besar masyarakat. Tak pelak hal tersebut mengundang pro dan kontra dalam masyarakat sendiri.
Setidaknya ada beberapa argument yang didalilikan oleh koalisi yang mendukung pemberlakuan UU tersebut. Antara lain, pertama, peraturan tersebut untuk memurnikan kembali asas Pancasila mengenai demokrasi yang ada di Indonesia. Dengan kata, lain demokrasi yang ada di Indonesia wajib mengacu kembali apa yang sudah diamanatkan dalam Pancasila, khususnya sila keempat. Kedua, pemilu langsung dinilai menyebabkan ongkos politik yang amat besar. Ketiga, adanya kekhawatiran bahwa pemilu langsung dapat menyebabkan perpecahan di antara masyarakat. Keempat, pemilu langsung rentan terhadap terjadinya praktek politik uang di dalamnya.
Banyak argument tentang keberatan muncul terhadap UU tersebut dari berbagai kalangan. Salah satu pihak yang keberatan terhadap pengesahan UU tersebut baru-baru ini adalah Aliansi Ilmuwan Indonesia untuk Bangsa. Aliansi Ilmuwan Indonesia dibentuk oleh 350 orang ilmuwan dari berbagai lintas bidang ilmu di Indonesia. Mereka mengadakan diskusi “Kembalikan Kedaulatan Rakyat”. Dalam pernyataan sikapnya mereka kepada DPR RI dan para politisi yakni menolak dengan tegas segala bentuk manipulasi melalui penyalagunaan cara-cara prosedural-formal perumusan hukum dengan mengatasnamakan rakyat. Lebih lanjut, mereka juga mendesak agar para wakil rakyat menghentikan bentuk manipulasi dan permainan hukum untuk kepentingan kelompok.
Pada tulisan ini saya akan mencoba memberikan analisis kritis dari sudut pandang lain tentang isi UU Pilkada. Beberapa hal pokok yang akan saya uraikan adalah (1) Pancasila dan asas Pancasila. (2) analisis pemilu dan kaitannya dengan Hak asasi dan demokrasi.
Pemilu dan Asas Pancasila
Berbicara mengenai pemilu sebagai sebuah proses demokrasi di Indonesia jelas tidak bisa dipisahkan dengan Pancasila sebagai dasar Negara dan dasar hukum. Lebih khusus, sila yang langsung merujuk tentang penyelenggaraan demokrasi di Indonesia adalah sila ke empat. Sila keempat dari Pancasila adalah “Kerakyatan yang dimpimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” Bertitik tolak dari sila ini pulalah para anggota DPR-RI merancang dan mengesahkan UU Pilkada.
Secara historis, sesungguhnya telah terjadi perbedatan mengenai kedaulatan rakyat pada saat perumusan dan pengesahan Pancasila. Namun, perdebatan tersebut lebih condong kepada pengaktualisasian sila kedua. Terjadi perdebatan dalam pemenuhan prinsip ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Poin utama perdebatan tersebut adalah pertentangan mengenai hak-hak dasar manusia dengan semangat kekeluargaan. Permasalahannya adalah negara perlu memberikan ruang bagi rakyat untuk berkumpul, memberikan pendapat dan suaranya. Muhammad Yamin, Agoes Salim, Mohammad Hatta, dan Soekiman berpendapat tentang perlu adanya jaminan yang tegas mengenai kemerdekaan warga negara dalam UUD. Artinya, setiap orang tetap merasa bebas walaupun berada di payung UUD. Mohammad Hatta berpendapat paling kencang mengenai adanya jaminan yang tegas atas hak berserikat, berkumpul, dan berpendapat dalam konstitusi, agar kelak tidak terjadi kesewenang-wenangan kekuasaan yang mengatasnamakan semangat kekeluargaan. Seputar sila kedua ini akan saya bahas lebih lanjut pada bagian selanjutnya, yaitu hubungan antara pemilu dan hak asasi manusia.
Akhirnya, diambillah sebuah kompromi terhadap masukan-masukan yang disampaikan. Bentuk kompromi tersebut adalah dengan ditambahkannya pasal dalam UUD yang mengatur kebebasan penduduk untuk berkumpul dan menyuarakan pendapatnya. Kompromi tersebut termuat dalam pasal 28. Hingga berakhirnya masa persiapan BPUPKI pada tanggal 17 Juli 1945, BPUPKI berhasil menyusun dasar negara (Pancasila), pembukaan UUD (Piagam Jakarta) sebagai norma dasar yang menjiwai bantang tubuh UUD sebagai aturan dasar.
Jika diamati memang secara mekanisme sila keempat dari Pancasila memang mengarah kepada sebuah bentuk pemerintahan secara perwakilan. Hal tersebut tertulis dengan jelas dalam sila keempat. Namun, yang perlu dicermati adalah adanya syarat moralitas yang tinggi dalam lembaga perwakilan, yaitu dalam kata-kata ”dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan”. Dengan kata lain lembaga perwakilan yang ada tidak sekedar mewakili aspirasi seluruh Indonesia melainkan harus adanya kesadaran moralitas etis yang tinggi dalam diri para wakil rakyat. Perjuangan akan keadilan dan martabat manusia harus menjadi kunci perwakilan mereka.
Pada titik inilah dapat dipahami apa yang diserukan oleh para ilmuwan. Secara legal, memang pengesahan UU Pilkada sudah sesuai dengan formalitas hukum yang berlaku. Namun, yang menjadi sorotan tajam dari para ilmuwan adalah sisi moralitas yang ada dalam diri para anggota DPR yang menghendaki berlakunya UU Pilkada. Para ilmuwan menyebut mereka sebagai pembajak demokrasi yang tidak tahu berterima kasih kepada rakyat. Mereka dengan jelas mata hanya memperjuangkan kepentingan kelompoknya sendiri tapi dengan mengatasnamakan rakyat. Apakah mereka pernah mendiskusikannya dengan rakyat yang mereka wakili?
Lebih lanjut, jika mereka berargumen bahwa UU Pilkada ingin mengenbalikan kembali asas Pancasila, hal tersebut tentu juga mempunyai konsekuensi logis terhadap pelaksanaan pemilu Presiden dan Gubernur. Apakah dengan demikian mereka juga menolak pemilu langsung Presiden dan Wakil Presiden? Bukankah pemilu langsung juga merupakan buah dari reformasi yang terjadi untuk memperbaiki masa Orde Baru? Jika itu yang diinginkan oleh para anggota DPR yang menyetujui UU Pilkada, maka hal tersebut jelas merupakan sebuah kemunduran besar bagi demokrasi yang telah diawali secara tragis melalui reformasi. Jangan-jangan memang ada upaya untuk membangkitkan kembali negara totaliter ala Orde Baru.
Hak Asasi Manusia, Demokrasi Dan Pemilu
Istilah Hak Asasi Manusia atau yang sering disingkat HAM tentu sudah tidak asing lagi ditelinga kita. HAM mempunyai paham yang menegaskan bahwa setiap manusia mempunyai hak yang dimiliki oleh manusia bukan berasal dari negara ataupun hukum positif yang berlaku, melainkan karena martabatnya sebagai manusia. Dengan kata lain, manusia memilikinya karena manusia. Hal tersebut kemudian mengandaikan juga negara atau hukum tidak pernah bisa menghilangkan atau menghapusnya. Memang hukum dan negara bisa mengabaikan atau tidak mengakuinya. Namun, jika pengabaian itu terjadi, maka negara juga sama dengan mengabaikan martabat manusia.
Magnis Suseno menjelaskan bahwa menurut sifat dan arahnya masing-masing, hak asasi terbagi menjadi empat kelompok. Pertama, Hak-hak Asasi Negatif atau Liberal, hak ini diperjuangkan oleh kaum liberalisme yang pada dasarnya ingin melindungi kehidupan pribadi manusia dari campur tangan negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Beberapa contoh dari hak ini adalah hak atas hidup, kebebasan memilih jodoh, kebebasan memilih pekerjaan, kebebasan berpikir, kebebasan mengurus rumah tangga sendiri, dan masih banyak lagi lainnya. Hak-hak ini menjamin adanya sebuah ruang dimana setiap pribadi bebas menentukan sendiri dirinya. Pendasaran etis dari hak-hak ini adalah adanya tuntutan agar otonomi setiap orang atas dirinya sendiri selalu dihargai dan dihormati.
Kedua, Hak-hak Asasi Aktif atau Demokrasi, hak ini diperjuangkan oleh kaum liberal dan republikan yang mendasarkan diri pada pemahaman dasar hak-hak tersebut adalah keyakinan akan kedaulatan rakyat yang menuntut agar rakyat memerintahi diri sendiri dan setiap pemerintah berada di abwah kekuasaan rakyat. Hak ini disebut aktif karena memang rakyat menuntut adanya keikutsertaan aktif dalam menentukan arah perkembangan masyarakat. Lebih dalam, dalam paham ini menyakini adanya kesetaraan derajat sebagai manusia. Tidak ada pemerintahan yang sah apabila tidak ada penugasan oleh rakyat (pemerintah sebagai mandataris rakyat). Dalam hak ini pula pemahaman adanya hak semua warga negara untuk memilih wakil-wakilnya yang bertugas membuat undang-undang. Rakyat bebas mengangkat pemerintah dalam sebuah pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Lebih lanjut untuk kemudian juga mengontrol pemerintahan yang ada.
Ketiga, Hak-hak Asasi Positif, hak ini berkebalikan dengan hak negatif yang telah dibahas di atas. Hak-ahk positif justru menuntut prestasi-prestasi tertentu dari negara. Lebih lanjut, adanya pemenuhan-pemenuhan atau pelayanan-pelayanan yang diberikan pemerintah bagi masyarakat. Hak yang paling utama adalah perlindungan atas hukum. Hak positif ini berangkat dari anggapan bahwa keberadaan negara dan pemerintah sesungguhnya adalah untuk memberikan pelayanan-pelayanan tertentu. Dengan demikian negara wajib memberikan pelayanan karena memang masyarakat dengan sendirinya berhak menerimanya.
Keempat, Hak-hak Asasi Sosial, hak ini merupakan perluasan dari kewajiban pemerintah dalam memberikan jaminan perlindungan atas perjuangan kaum buruh dalam melawan kaum borjuis. Para buruh sering merasa terpaksa atas peraturan-peraturan sepihak yang ditetapkan oleh para pemilik modal karena memang mereka ada pada posisi yang membutuhkan pekerjaan. Sedangkan para pemilik modal dengan mudah meminggirkan mereka yang tidak menerima peraturan yang mereka tetapkan karena bisa dengan mudah mencari orang lain. Seolah kebebasan hanya yang dimiliki oleh kaum buruh tidak ada gunanya.
Pada titik ini kita bisa melihat hubungan pemilu dengan hak asasi manusia pada jenis hak asasi yang kedua, yaitu hak-hak asasi aktif dan demokrasi. Dengan lugas dapat dikatakan bahwa pemilu tidak langsung telah merenggut hak asasi manusia yang ingin ikut berpartisipasi aktif dalam menentukan perkembangan masyarakat dan negara. Pemilu tidak langsung yang ditetapkan dalam UU Pilkada jelas melawan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab yang termuat dalam sila kedua Pancasila. Kita bisa kembali pada perdebatan yang terjadi saat pendiri bangsa ini merumuskan Pancasila. Para pendiri bangsa ini sangat memberikan ruang yang luas bagi kedaulatan rakyat. Bagi mereka, kedaulatan rakyat menjad kunci bagi perkembangan dan kemajuan bangsa. Kedaulatan rakyat mengantisipasi praktek-praktek penomersatuan kepentingan kelompok yang disamarkan sebagai kepentingan rakyat seperti yang terjadi dalam proses di DPR saat ini. Dengan sangat jelas kepentingan golongan tertentu yang diutamakan oleh koalisi anggota DPR tertentu.
PUSTAKA
Latif, Yudi Negara Paripurna : Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia, Jakarta, 2011.
Suseno, Franz-Magnis, Etika Politik. Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
www.republika.co.id
Selasa, 14 Oktober 2014
Teodise
(Telaah Tuhan dan Masalah adanya Kejahatan dan Penderitaan dalam Filsafat Ketuhanan)
Oleh : Kristoforus Sri Ratulayn K.N
Pendahuluan
Siapa yang tidak pernah menangis selama hidupnya? Adakah manusia yang tidak pernah menangis sepanjang hidupnya? Hampir tidak ada manusia yang tidak pernah menangis. Bahkan, awal dan akhir dari hidup manusia selalu diiringi dengan sebuah tangisan. Bayi yang baru lahir harus menangis sebagai tanda kehidupannya. Bahkan kalau tidak menangis dibuat sedemikian rupa agar ia segera menangis. Selanjutnya, ketika kematian menjemput juga diiringi dengan tangisan. Tentu saja bukan tangisan dari orang yang meninggal, melainkan tangisan dari saudara dan kerabat yang ditinggalkan.
Lebih lanjut, menangis merupakan sebuah metafor atau proyeksi diri dari sebuah kejadian yang menyakitkan atau kadang juga menggembirakan. Misalnya, seseorang gadis menangis karena ditinggal oleh sang kekasih. Contoh lain, seorang ibu yang menangis terharu karena anaknya mampu meraih prestasi yang membanggakan. Namun, tangisan tentu lebih cenderung mengarah kepada sebuah proyeksi tentang sebuah penderitaan yang tengah dialami oleh seseorang yang menangis. Penderitaan menjadi realitas tentang sebuah hal yang menyakitkan atau tidak menyenangkan bagi sebagian orang. Pada intinya, saya ingin mengatakan bahwa ada realitas tersembunyi di balik sebuah tangisan/menangis, yaitu penderitaan.
Belum lagi jika kita menengok kembali kejadian-kejadian mengerikan seperti pembantaian enam juta orang Yahudi oleh Nazi, pemerkosaan dan pembunuhan yang terjadi di Bosnia, peristiwa Tsunami Aceh yang menelan ribuan nyawa, gempa di Jepang, gempa tektonik di Yogyakarta, dan ribuan bayi yang mati setiap hari karena penyakit AIDS. Manusia hidup seolah dalam bayang-bayang ketakutan dan kecemasan. Kita seolah hidup dalam situasi yang tidak aman dan damai.
Masalah adanya kejahatan dan penderitaan seolah menjadi skandal terbesar dan cukup sulit untuk dijelaskan jika disandingkan dengan konsepsi Tuhan yang mahakuasa (omnipotent), mahatahu (omniscient), dan mahabaik (benevolent). Orang yang beriman akan adanya Tuhan perlu memberikan penjelasan menenai masalah adanya kejahatan dan penderitaan. Kalau Tuhan ada, dari manakah datangnya penderitaan? Si Deus, unde Malum? Kalau Ia tak berdaya, apakah masih layak orang beriman kepada-Nya? Karena tidak bisa disangkal masalah adanya kejahatan dan penderitaan ini yang memicu munculnya ateisme. Adanya kejahatan dan penderitaan menjadi argument penguat bagi orang-orang ateis.
Tulisan ini ingin membahasa seputar masalah adanya kejahatan dan penderitaan. Penulis akan menampilakan pandangan beberapa aliran filsafat yang membahas mengenai masalah kejahatan dan penderitaan. Ada dua aliran besar yang ingin penulis tampilkan dalam menanggapi masalah teodise ini, yaitu aliran Teodise Agustinian beserta pengikutnya dan Teodise Irenian juga dengan banyak pengikutnya.
Arti dan Penyebab Masalah Teodise
Rumusan paling awal dari mengenai masalah Teodise dibuat oleh Epikurus (324-270 SM). Kemudian, Lactantius (260-340 SM) ungkapan dari Epikurus sebagai berikut:
“Tuhan atau mau menyingkirkan kejahatan dan Ia tidak mampu; atau Ia mampu, dan tidak mau; atau Ia tidak mau dan juga tidak mampu; atau Ia mau dan juga mau. Jika Ia mau dan tidak mampu, Ia lemah, yang berarti tidak sesuai dengan sifat Tuhan. Jika Ia mampu dan tidak mau, Ia jahat dan berarti juga tidak sesuai dengan sifat-Nya; jika Ia tidak mampu dan juga tidak mau, Ia jahat dan sekaligus lemah, berarti Ia bukanlah Tuhan; jika Tuhan mau dan mampu, yang merupakan cirri yang paling cocok untuk-Nya, dari manakah asal semua kajahatan? Atau kenapa Ia tidak menyingkirkan semua kejahatan tersebut?”
Masalah teodise, yang bersal dari kata theo artinya Tuhan dan dike artinya keadilan, ini untuk pertama kali disebut oleh filsuf Jerman Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716). Arti kata teodise kurang lebih adalah pembenaran Allah. Dengan kata lain, seperti pada kutipan kata-kata Epikurus di atas, teodise membahas adanya kejahatan yang bertentangan dengan sifat-sifat Allah.
Seperti pada penjelasan di bagian sebelumnya, teodise muncul dari persoalan filsafat yang cukup klasik. Lebih lanjut, masalah keberadaan kejahatan sesungguhnya mempermasalahkan sifat tradisional Tuhan yang diyakini oleh orang beriman. Sifat tersebut antara lain mahakuasa (omnipotent), mahatahu (omniscient), dan mahabaik (benevolent). Permasalahan adanya kejahatan dan penderitaan seolah menjadi argument penguat bagi orang-orang yang memang menolak keberadaan Tuhan dan sebaliknya menjadi masalah yang menghantui dan membuat gelisah orang-orang teistik.
Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan adanya penderitaan. Pertama, karena memang manusia sendiri yang menginginkan penderitaan tersebut. Lebih dalam, seseorang itu sendiri yang menginginkan penderitaan tersebut ia alami. Kejahatan jenis ini sering disebut kejahatan moral (malum morale). Kejahatan moral mengandung dua jenis, pertama kejahatan yang dengan kehendak bebasnya melakukan tindakan yang secara langsung mengakibatkan penderitaan bagi orang lain (evil by commission). Contoh orang melakukan korupsi, yang kemudian membuat hidup orang lain menjadi tidak sejahterah karena mengambil apa yang menjadi hak orang lain. Kedua, kejahatan moral karena membiarkan orang lain mengalami penderitaan (evil by omission).
Kedua, penderitaan yang disebabkan oleh alam. Kejahatan jenis ini sering disebut kejahatan alamiah (malum physicum). Dalam arti tertentu ini sering disebut sebagai sebuah bencana. Sesunguhnya, bencanapun ketika orang mau jujur, hal tersebut terjadi karena ulah manusia sendiri. Manusia dengan segala kerakusan dan optimismenya berusaha menguasai dan mengksplorasi alam. Sehingga pada waktu alam menunjukkan keganasannya dengan terjadinya bencana alam. Banyak contoh kerusakan alam yang telah terjadi di sekitar kita, mulai dari perubahan iklim, banjir, dan masih banyak lagi.
Ketiga, penderitaan yang memang dipilih dan dijalani karena ada perjuangan akan nilai yang lebih luhur di baliknya. Dengan kata lain, penderitaan sebagai sebuah konsekuensi logis dari tindakan seseorang yang berusaha memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, kemanusiaan, cinta kasih dan persaudaraan. Banyak contoh yang bisa kita ambil untuk penderitaan jenis ini, misalnya para pahlawan yang gugur memperjuangkan kemerdekaan. Perjuangan seorang yang memperjuangkan agar cinta kasih tercipta di bumi, kemudian harus mengalami sikasaan dan penderitaan.
Lebih lanjut terdapat tiga dimensi tentang masalah kejahatan. Pertama, dimensi logis (apriori) yang menampilkan adanya inkonsistensi antara proposisi sifat-sifat keyakinan tradisional tentang Tuhan beserta segala sifatnya dengan proposisi adanya kejahatan. Dengan kata lain, adanya kejahatan tidak bisa diterima secara logis oleh pikiran. Kedua, dimensi evidensial (masalah kejahatan aposteriori) yang mempertentangkan anggapan para penganut teisme dengan pengalaman kenyataan konkret tentang adanya kejahatan. Apakah masuk akal bisa memahami Tuhan jika kita melihat pengalaman kejahatan secara konkret seperti pembantaian oleh NAZI.
Ketiga, dimensi eksistensial dari kejahatan. Artinya, dimensi ini melihat secara mendalam aspek kehidupan nyata manusia dihadapan kejahatan. Pengalaman kejahatan pada aspek ini tentu menyangkut pengalaman konkret yang dialami oleh masing-masing orang. Lebih dalam, aspek ini menyangkut banyak unsure personal individu. Dengan kata lain, manakala seseorang mengalami kejahatan seperti tokoh Ivan Karamazov dalam buku Dostoevsky.
Seluruh dimensi tentang kejahatan dijadiakan sebuah dasar yang kokoh bagi beberapa orang nonteistik atau orang-orang yang menolak keberadaan Allah. Sedangkan bagi pada kaum teistik, persolan kejahatan dan penderitaan seolah menjadi tantangan yang menuntut penjelasan secara meyakinkan.
Tanggapan atas Masalah Teodise
Setidaknya ada dua sikap yang muncul dalam konteks tanggapan atas masalah Teodise. Ada sikap bertahan (defense), yang ingin menunjukkan bahwa padangan orang yang menolak adanya Tuhan mempunyai cacat argument dan sikap kedua adalah teodise (theodicy), yang ingin memberikan suatu dasar yang lebih positif, masuk akal, dan memadai mengenai adanya kejahatan. Pada bagian ini saya akan memaparkan dua aliran besar teodise, antara lain Teodise Agustinian, yang kemudian dilanjutkan oleh Thomas Aquinas dan Teodise Irenian, yang kemudian dikembangkan oleh John Hick.
Teodise Agustinian
Teodise Agustinian berfokus pada penjelasan kemunculan kejahatan di dunia untuk melepaskan Tuhan dari belenggu penyebab dari adanya kejahatan. Agustinus berpijak bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu baik adanya. Dengan kata lain, segala ciptaan yang ada baik pada dirinya sendiri. Dengan demikian, kejahatan tidak mungkin muncul dari kebaikan tersebut. Bagi Agustinus, kehajatan berarti “kekurangan kebaikan” (privation boni). Kejahatan muncul dari kesalahan penggunaan kehendak bebas, yang kemudian muncul pula apa yang disebut dengan dosa.
Penderitaan bukanlah sebuah esensi yang berdiri sendiri. Artinya penderitaan tidak pernah bernilai pada dirinya sendiri. Tidak akan pernah ada penderitaan yang bermakna bagi dirinya sendiri. Penderitaan selalu bergantung pada sebuah substansi yang lain. Kebaikan yang bersumber dari Tuhanlah yang bersifat substansial. Dengan kata lain, kejahatan hanya merupakan aksidental semata yang tidak ada pada dirinya sendiri. Sebagai contoh, adanya sebuah tembok merupakan kebaikan, namun pada tembok tersebut ada sebuah lubang, lubang itulah yang disebut sebagai kejahatan. Lubang merupakan factor aksidental semata dari sebuah tembok. Kejahatan tidak ada pada dirinya sendiri.
Pandangan ini kemudian dilanjutkan oleh Thomas Aquinas dalam bukunya Summa Teologica I masalah 49 artikel 1-3. Setidaknya ada tiga hal pokok yang ingin dibahas oleh Thomas Aquinas. Pertama, apakah yang baik dapat menjadi sumber kejahatan? Kedua, apakah yang Mahabaik, Tuhan, adalah sumber kejahatan? Ketiga, apakah ada entitas mahajahat yang menjadi sebab utama segala kejahatan?
Pada penjelasan untuk pertanyaan pertama, Thomas Aquinas menjelasakan bahwa jika ada dua prinsip yang saling bertolak belakang, maka tidak pernah bisa yang satu berasal dari yang lain. Kejahatan selalu bertentangan dengan kabaikan, maka tidak mungkin kejahatan berasal dari kebaikan. Namun, kejahatan memang harus mempunyai penyebab dari kemunculannya. Kejahatan tidak pernah berasal dari kejahatan yang lebih tinggi. Karena jika kejahatan berasal dari kejahatan yang lebih tinggi, maka akan ada kehancuran diri total dari kejahatan tersebut.
Thomas Aquinas menegaskan, memang kejahatan berasal dari kebaikan. Namun, sifatnya hanya aksidental saja. Argumennya senada dengan apa yang dijelaskan oleh Agustinus. Kejahatan muncul sebagai factor aksidental dari perealisasian kebaikan. Tuhan sebagai yang Ilahi hanya menyebabkan sesuatu yang esensial. Kemunculan kejahatan berasal dari tindakan particular ciptaanNya dan harus dibedakan dengan Tuhan pencipta.
Untuk pembahasan pertanyaan ketiga, seperti penjelasan di atas bahwa kejahatan tidak mungkin berasal dari sesuatu yang mahajahat lainnya. Karena jika kejahatan berasal dari kejahatan yang lebih tinggi di atasnya akan terjadi penghancuran diri total. Maka jelas tidak ada kejahatan yang eksisten pada dirinya sendiri.
Dengan demikian ada beberapa poin pokok dalam teodise Agustinian. Pertama, bahwa tidak ada kejahatan yang bersifat esensial. Kedua, kejahatan memang mengurangi kebaikan dalam ciptaan, namun hal tersebut bukanlah kejahatan mutlak karena jika mutlak akan menghancurkan dirinya sendiri. Ketiga, kejahatan itu adalah “kekurangan kebaikan” (privation boni) dari kebaikan yang esensial. Keempat, Tuhan bukanlah entitas yang bertanggung jawab atas adanya kejahatan.
Teodise Irenian
Teodise ini berasal dari St. Ireneus (120-202 M) bersama dengan rekan sezamannya Clementiunus dari Alexandria. Teodise ini kemudian dipopulerkan lebih lanjut oleh John Hick dan Friedrich Schleiermacher. Teodise ini memang bertitik tolak dari pandangan Agustinus mengenai kejatuhan manusia pertama dalam dosa.
Tradisi Irenian ini pada intinya menjelaskan bahwa kejatuhan manusia dalam dosa sesungguhnya merupakan bagian dari syarat mutlak bagi perkembangan manusia menuju ketingkat yang lebih dewasa. Lebih lanjut, sesungguhnya terdapat aspek positif dari sebuah kejahatan. Kejahatan sejatinya diperlukan dan bahkan menjadi syarat mutlak utama agar manusia menjadi lebih dewasa. Lebih dalam, kejahatan diperlukan agar kebaikan yang lebih tinggi dapat muncul. Proses pendewasaan itu merupakan bagian dari rencana ilahi yang mencapai puncaknya pada kehidupan setelah kematian.
Dalam pandangan Hick, adanya pemisahan antara ciptaan yang terbatas dengan Sang Pencipta yang tak terbatas. Manusia sebagai yang terbatas harus mengalami proses perjuangan sendiri untuk menghadapi setiap tantangan dan bahaya yang selalu ada dalam hidupnya, baik kejahatan moral maupun kejahatan oleh alam. Manusia harus dengan gagah berani menanggung segala beban penderitaan dan kejahatan arag semakin bertumbuh dalam moral dan spiritual. Hingga akhirnya manusia mengalami capaian kedewasaan dari hasil usahanya sendiri tanpa adanya intervensi dari yang ilahi.
Tradisi Irenian memberikan ruang gerak yang lebih bebas pada manusia. Artinya, atas hasil keputusan, perjuangan, dan keberanian dalam menghadapi tantangan yang ada manusia akan banyak belajar untuk menjadi semakin lebih baik atas hasil usahanya sendiri. Contohnya, dengan belajar dari penderitaan, seseorang akan belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang ia lakukan agar tidak mengalami penderitaan. Dengan demikian, manusia akan menjadi anak-anak Tuhan lewat pilihan moral dan spiritual yang bebas, bukan karena intervensi yang ilahi memaksa.
Kita bisa sedikit memberi kesimpulan bahwa tradisi Irenian yang dilanjutkan oleh John Hick memandang bahwa manusia terlahir bebas dengan berbagai pilihan moral. Manusia bebas karena memang Allah bukanlah Allah yang bersifat pemaksa. Pilihan bebas manusia tersebut akan menghantarkan manusia untuk menuju kedewasaan moral dan spiritual yang lebih tinggi.
Jika tradisi Agustinian memandang manusia tercipta baik adanya, tradisi Irenian lebih memandang bahwa manusia terlahir dengan segala keterbatasannya, terlebih keterbatasan moral. Adanya kejahatan menjadi saran bagi manusia untuk dapat berkembang kearah yang lebih sempurna. Lebih lanjut, manusia dilahirkan untuk selalu terarah kepada pada Sang Penciptanya.
Penutup
Masalah adanya kejahatan dan penderitaan menjadi sebuah tema dalam filsafat ketuhanan. Teodise mempertentangkan pandangan Tuhan tradisional beserta semua sifatnya dengan adanya kejahatan. Tradisi Agustinian berusaha menjelaskan bahwa kejahatan tidak bersifat esensial, melainkan hanya aksidental. Sedangkan tradisi Irenian menerima kejahatan sebagai sebuah syarat mutlak agar manusia dapat semakin dewasa dalam moral dan spiritual. Keberadaan kejahatan tidak bertentangan dengan adanya Tuhan, sang Pencipta dengan segala sifatNya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahren, M.B, The Problem of Evil, Routledge & Kegan Paul Ltd, London, 1971
John Hick “An Irenaean Theodicy” dalam S. Davis (ed.), Encountering Evil, Live Options in Theodicy, Edinburgh: T & T Clark, 1981.
Peterson, M. (ed.), The Problem of Evil, Selected Readings, University of Notre Dame Press, Indiana, 1992.
Suseno, Franz-Magnis, Menalar Tuhan, Kanisius, Yogyakarta, 2006.
Oleh : Kristoforus Sri Ratulayn K.N
Pendahuluan
Siapa yang tidak pernah menangis selama hidupnya? Adakah manusia yang tidak pernah menangis sepanjang hidupnya? Hampir tidak ada manusia yang tidak pernah menangis. Bahkan, awal dan akhir dari hidup manusia selalu diiringi dengan sebuah tangisan. Bayi yang baru lahir harus menangis sebagai tanda kehidupannya. Bahkan kalau tidak menangis dibuat sedemikian rupa agar ia segera menangis. Selanjutnya, ketika kematian menjemput juga diiringi dengan tangisan. Tentu saja bukan tangisan dari orang yang meninggal, melainkan tangisan dari saudara dan kerabat yang ditinggalkan.
Lebih lanjut, menangis merupakan sebuah metafor atau proyeksi diri dari sebuah kejadian yang menyakitkan atau kadang juga menggembirakan. Misalnya, seseorang gadis menangis karena ditinggal oleh sang kekasih. Contoh lain, seorang ibu yang menangis terharu karena anaknya mampu meraih prestasi yang membanggakan. Namun, tangisan tentu lebih cenderung mengarah kepada sebuah proyeksi tentang sebuah penderitaan yang tengah dialami oleh seseorang yang menangis. Penderitaan menjadi realitas tentang sebuah hal yang menyakitkan atau tidak menyenangkan bagi sebagian orang. Pada intinya, saya ingin mengatakan bahwa ada realitas tersembunyi di balik sebuah tangisan/menangis, yaitu penderitaan.
Belum lagi jika kita menengok kembali kejadian-kejadian mengerikan seperti pembantaian enam juta orang Yahudi oleh Nazi, pemerkosaan dan pembunuhan yang terjadi di Bosnia, peristiwa Tsunami Aceh yang menelan ribuan nyawa, gempa di Jepang, gempa tektonik di Yogyakarta, dan ribuan bayi yang mati setiap hari karena penyakit AIDS. Manusia hidup seolah dalam bayang-bayang ketakutan dan kecemasan. Kita seolah hidup dalam situasi yang tidak aman dan damai.
Masalah adanya kejahatan dan penderitaan seolah menjadi skandal terbesar dan cukup sulit untuk dijelaskan jika disandingkan dengan konsepsi Tuhan yang mahakuasa (omnipotent), mahatahu (omniscient), dan mahabaik (benevolent). Orang yang beriman akan adanya Tuhan perlu memberikan penjelasan menenai masalah adanya kejahatan dan penderitaan. Kalau Tuhan ada, dari manakah datangnya penderitaan? Si Deus, unde Malum? Kalau Ia tak berdaya, apakah masih layak orang beriman kepada-Nya? Karena tidak bisa disangkal masalah adanya kejahatan dan penderitaan ini yang memicu munculnya ateisme. Adanya kejahatan dan penderitaan menjadi argument penguat bagi orang-orang ateis.
Tulisan ini ingin membahasa seputar masalah adanya kejahatan dan penderitaan. Penulis akan menampilakan pandangan beberapa aliran filsafat yang membahas mengenai masalah kejahatan dan penderitaan. Ada dua aliran besar yang ingin penulis tampilkan dalam menanggapi masalah teodise ini, yaitu aliran Teodise Agustinian beserta pengikutnya dan Teodise Irenian juga dengan banyak pengikutnya.
Arti dan Penyebab Masalah Teodise
Rumusan paling awal dari mengenai masalah Teodise dibuat oleh Epikurus (324-270 SM). Kemudian, Lactantius (260-340 SM) ungkapan dari Epikurus sebagai berikut:
“Tuhan atau mau menyingkirkan kejahatan dan Ia tidak mampu; atau Ia mampu, dan tidak mau; atau Ia tidak mau dan juga tidak mampu; atau Ia mau dan juga mau. Jika Ia mau dan tidak mampu, Ia lemah, yang berarti tidak sesuai dengan sifat Tuhan. Jika Ia mampu dan tidak mau, Ia jahat dan berarti juga tidak sesuai dengan sifat-Nya; jika Ia tidak mampu dan juga tidak mau, Ia jahat dan sekaligus lemah, berarti Ia bukanlah Tuhan; jika Tuhan mau dan mampu, yang merupakan cirri yang paling cocok untuk-Nya, dari manakah asal semua kajahatan? Atau kenapa Ia tidak menyingkirkan semua kejahatan tersebut?”
Masalah teodise, yang bersal dari kata theo artinya Tuhan dan dike artinya keadilan, ini untuk pertama kali disebut oleh filsuf Jerman Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716). Arti kata teodise kurang lebih adalah pembenaran Allah. Dengan kata lain, seperti pada kutipan kata-kata Epikurus di atas, teodise membahas adanya kejahatan yang bertentangan dengan sifat-sifat Allah.
Seperti pada penjelasan di bagian sebelumnya, teodise muncul dari persoalan filsafat yang cukup klasik. Lebih lanjut, masalah keberadaan kejahatan sesungguhnya mempermasalahkan sifat tradisional Tuhan yang diyakini oleh orang beriman. Sifat tersebut antara lain mahakuasa (omnipotent), mahatahu (omniscient), dan mahabaik (benevolent). Permasalahan adanya kejahatan dan penderitaan seolah menjadi argument penguat bagi orang-orang yang memang menolak keberadaan Tuhan dan sebaliknya menjadi masalah yang menghantui dan membuat gelisah orang-orang teistik.
Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan adanya penderitaan. Pertama, karena memang manusia sendiri yang menginginkan penderitaan tersebut. Lebih dalam, seseorang itu sendiri yang menginginkan penderitaan tersebut ia alami. Kejahatan jenis ini sering disebut kejahatan moral (malum morale). Kejahatan moral mengandung dua jenis, pertama kejahatan yang dengan kehendak bebasnya melakukan tindakan yang secara langsung mengakibatkan penderitaan bagi orang lain (evil by commission). Contoh orang melakukan korupsi, yang kemudian membuat hidup orang lain menjadi tidak sejahterah karena mengambil apa yang menjadi hak orang lain. Kedua, kejahatan moral karena membiarkan orang lain mengalami penderitaan (evil by omission).
Kedua, penderitaan yang disebabkan oleh alam. Kejahatan jenis ini sering disebut kejahatan alamiah (malum physicum). Dalam arti tertentu ini sering disebut sebagai sebuah bencana. Sesunguhnya, bencanapun ketika orang mau jujur, hal tersebut terjadi karena ulah manusia sendiri. Manusia dengan segala kerakusan dan optimismenya berusaha menguasai dan mengksplorasi alam. Sehingga pada waktu alam menunjukkan keganasannya dengan terjadinya bencana alam. Banyak contoh kerusakan alam yang telah terjadi di sekitar kita, mulai dari perubahan iklim, banjir, dan masih banyak lagi.
Ketiga, penderitaan yang memang dipilih dan dijalani karena ada perjuangan akan nilai yang lebih luhur di baliknya. Dengan kata lain, penderitaan sebagai sebuah konsekuensi logis dari tindakan seseorang yang berusaha memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, kemanusiaan, cinta kasih dan persaudaraan. Banyak contoh yang bisa kita ambil untuk penderitaan jenis ini, misalnya para pahlawan yang gugur memperjuangkan kemerdekaan. Perjuangan seorang yang memperjuangkan agar cinta kasih tercipta di bumi, kemudian harus mengalami sikasaan dan penderitaan.
Lebih lanjut terdapat tiga dimensi tentang masalah kejahatan. Pertama, dimensi logis (apriori) yang menampilkan adanya inkonsistensi antara proposisi sifat-sifat keyakinan tradisional tentang Tuhan beserta segala sifatnya dengan proposisi adanya kejahatan. Dengan kata lain, adanya kejahatan tidak bisa diterima secara logis oleh pikiran. Kedua, dimensi evidensial (masalah kejahatan aposteriori) yang mempertentangkan anggapan para penganut teisme dengan pengalaman kenyataan konkret tentang adanya kejahatan. Apakah masuk akal bisa memahami Tuhan jika kita melihat pengalaman kejahatan secara konkret seperti pembantaian oleh NAZI.
Ketiga, dimensi eksistensial dari kejahatan. Artinya, dimensi ini melihat secara mendalam aspek kehidupan nyata manusia dihadapan kejahatan. Pengalaman kejahatan pada aspek ini tentu menyangkut pengalaman konkret yang dialami oleh masing-masing orang. Lebih dalam, aspek ini menyangkut banyak unsure personal individu. Dengan kata lain, manakala seseorang mengalami kejahatan seperti tokoh Ivan Karamazov dalam buku Dostoevsky.
Seluruh dimensi tentang kejahatan dijadiakan sebuah dasar yang kokoh bagi beberapa orang nonteistik atau orang-orang yang menolak keberadaan Allah. Sedangkan bagi pada kaum teistik, persolan kejahatan dan penderitaan seolah menjadi tantangan yang menuntut penjelasan secara meyakinkan.
Tanggapan atas Masalah Teodise
Setidaknya ada dua sikap yang muncul dalam konteks tanggapan atas masalah Teodise. Ada sikap bertahan (defense), yang ingin menunjukkan bahwa padangan orang yang menolak adanya Tuhan mempunyai cacat argument dan sikap kedua adalah teodise (theodicy), yang ingin memberikan suatu dasar yang lebih positif, masuk akal, dan memadai mengenai adanya kejahatan. Pada bagian ini saya akan memaparkan dua aliran besar teodise, antara lain Teodise Agustinian, yang kemudian dilanjutkan oleh Thomas Aquinas dan Teodise Irenian, yang kemudian dikembangkan oleh John Hick.
Teodise Agustinian
Teodise Agustinian berfokus pada penjelasan kemunculan kejahatan di dunia untuk melepaskan Tuhan dari belenggu penyebab dari adanya kejahatan. Agustinus berpijak bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu baik adanya. Dengan kata lain, segala ciptaan yang ada baik pada dirinya sendiri. Dengan demikian, kejahatan tidak mungkin muncul dari kebaikan tersebut. Bagi Agustinus, kehajatan berarti “kekurangan kebaikan” (privation boni). Kejahatan muncul dari kesalahan penggunaan kehendak bebas, yang kemudian muncul pula apa yang disebut dengan dosa.
Penderitaan bukanlah sebuah esensi yang berdiri sendiri. Artinya penderitaan tidak pernah bernilai pada dirinya sendiri. Tidak akan pernah ada penderitaan yang bermakna bagi dirinya sendiri. Penderitaan selalu bergantung pada sebuah substansi yang lain. Kebaikan yang bersumber dari Tuhanlah yang bersifat substansial. Dengan kata lain, kejahatan hanya merupakan aksidental semata yang tidak ada pada dirinya sendiri. Sebagai contoh, adanya sebuah tembok merupakan kebaikan, namun pada tembok tersebut ada sebuah lubang, lubang itulah yang disebut sebagai kejahatan. Lubang merupakan factor aksidental semata dari sebuah tembok. Kejahatan tidak ada pada dirinya sendiri.
Pandangan ini kemudian dilanjutkan oleh Thomas Aquinas dalam bukunya Summa Teologica I masalah 49 artikel 1-3. Setidaknya ada tiga hal pokok yang ingin dibahas oleh Thomas Aquinas. Pertama, apakah yang baik dapat menjadi sumber kejahatan? Kedua, apakah yang Mahabaik, Tuhan, adalah sumber kejahatan? Ketiga, apakah ada entitas mahajahat yang menjadi sebab utama segala kejahatan?
Pada penjelasan untuk pertanyaan pertama, Thomas Aquinas menjelasakan bahwa jika ada dua prinsip yang saling bertolak belakang, maka tidak pernah bisa yang satu berasal dari yang lain. Kejahatan selalu bertentangan dengan kabaikan, maka tidak mungkin kejahatan berasal dari kebaikan. Namun, kejahatan memang harus mempunyai penyebab dari kemunculannya. Kejahatan tidak pernah berasal dari kejahatan yang lebih tinggi. Karena jika kejahatan berasal dari kejahatan yang lebih tinggi, maka akan ada kehancuran diri total dari kejahatan tersebut.
Thomas Aquinas menegaskan, memang kejahatan berasal dari kebaikan. Namun, sifatnya hanya aksidental saja. Argumennya senada dengan apa yang dijelaskan oleh Agustinus. Kejahatan muncul sebagai factor aksidental dari perealisasian kebaikan. Tuhan sebagai yang Ilahi hanya menyebabkan sesuatu yang esensial. Kemunculan kejahatan berasal dari tindakan particular ciptaanNya dan harus dibedakan dengan Tuhan pencipta.
Untuk pembahasan pertanyaan ketiga, seperti penjelasan di atas bahwa kejahatan tidak mungkin berasal dari sesuatu yang mahajahat lainnya. Karena jika kejahatan berasal dari kejahatan yang lebih tinggi di atasnya akan terjadi penghancuran diri total. Maka jelas tidak ada kejahatan yang eksisten pada dirinya sendiri.
Dengan demikian ada beberapa poin pokok dalam teodise Agustinian. Pertama, bahwa tidak ada kejahatan yang bersifat esensial. Kedua, kejahatan memang mengurangi kebaikan dalam ciptaan, namun hal tersebut bukanlah kejahatan mutlak karena jika mutlak akan menghancurkan dirinya sendiri. Ketiga, kejahatan itu adalah “kekurangan kebaikan” (privation boni) dari kebaikan yang esensial. Keempat, Tuhan bukanlah entitas yang bertanggung jawab atas adanya kejahatan.
Teodise Irenian
Teodise ini berasal dari St. Ireneus (120-202 M) bersama dengan rekan sezamannya Clementiunus dari Alexandria. Teodise ini kemudian dipopulerkan lebih lanjut oleh John Hick dan Friedrich Schleiermacher. Teodise ini memang bertitik tolak dari pandangan Agustinus mengenai kejatuhan manusia pertama dalam dosa.
Tradisi Irenian ini pada intinya menjelaskan bahwa kejatuhan manusia dalam dosa sesungguhnya merupakan bagian dari syarat mutlak bagi perkembangan manusia menuju ketingkat yang lebih dewasa. Lebih lanjut, sesungguhnya terdapat aspek positif dari sebuah kejahatan. Kejahatan sejatinya diperlukan dan bahkan menjadi syarat mutlak utama agar manusia menjadi lebih dewasa. Lebih dalam, kejahatan diperlukan agar kebaikan yang lebih tinggi dapat muncul. Proses pendewasaan itu merupakan bagian dari rencana ilahi yang mencapai puncaknya pada kehidupan setelah kematian.
Dalam pandangan Hick, adanya pemisahan antara ciptaan yang terbatas dengan Sang Pencipta yang tak terbatas. Manusia sebagai yang terbatas harus mengalami proses perjuangan sendiri untuk menghadapi setiap tantangan dan bahaya yang selalu ada dalam hidupnya, baik kejahatan moral maupun kejahatan oleh alam. Manusia harus dengan gagah berani menanggung segala beban penderitaan dan kejahatan arag semakin bertumbuh dalam moral dan spiritual. Hingga akhirnya manusia mengalami capaian kedewasaan dari hasil usahanya sendiri tanpa adanya intervensi dari yang ilahi.
Tradisi Irenian memberikan ruang gerak yang lebih bebas pada manusia. Artinya, atas hasil keputusan, perjuangan, dan keberanian dalam menghadapi tantangan yang ada manusia akan banyak belajar untuk menjadi semakin lebih baik atas hasil usahanya sendiri. Contohnya, dengan belajar dari penderitaan, seseorang akan belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang ia lakukan agar tidak mengalami penderitaan. Dengan demikian, manusia akan menjadi anak-anak Tuhan lewat pilihan moral dan spiritual yang bebas, bukan karena intervensi yang ilahi memaksa.
Kita bisa sedikit memberi kesimpulan bahwa tradisi Irenian yang dilanjutkan oleh John Hick memandang bahwa manusia terlahir bebas dengan berbagai pilihan moral. Manusia bebas karena memang Allah bukanlah Allah yang bersifat pemaksa. Pilihan bebas manusia tersebut akan menghantarkan manusia untuk menuju kedewasaan moral dan spiritual yang lebih tinggi.
Jika tradisi Agustinian memandang manusia tercipta baik adanya, tradisi Irenian lebih memandang bahwa manusia terlahir dengan segala keterbatasannya, terlebih keterbatasan moral. Adanya kejahatan menjadi saran bagi manusia untuk dapat berkembang kearah yang lebih sempurna. Lebih lanjut, manusia dilahirkan untuk selalu terarah kepada pada Sang Penciptanya.
Penutup
Masalah adanya kejahatan dan penderitaan menjadi sebuah tema dalam filsafat ketuhanan. Teodise mempertentangkan pandangan Tuhan tradisional beserta semua sifatnya dengan adanya kejahatan. Tradisi Agustinian berusaha menjelaskan bahwa kejahatan tidak bersifat esensial, melainkan hanya aksidental. Sedangkan tradisi Irenian menerima kejahatan sebagai sebuah syarat mutlak agar manusia dapat semakin dewasa dalam moral dan spiritual. Keberadaan kejahatan tidak bertentangan dengan adanya Tuhan, sang Pencipta dengan segala sifatNya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahren, M.B, The Problem of Evil, Routledge & Kegan Paul Ltd, London, 1971
John Hick “An Irenaean Theodicy” dalam S. Davis (ed.), Encountering Evil, Live Options in Theodicy, Edinburgh: T & T Clark, 1981.
Peterson, M. (ed.), The Problem of Evil, Selected Readings, University of Notre Dame Press, Indiana, 1992.
Suseno, Franz-Magnis, Menalar Tuhan, Kanisius, Yogyakarta, 2006.
Senin, 29 September 2014
Hidup tanpa Allah
Telaah Masalah Ateisme dalam Filsafat Ketuhanan)
Oleh : Kristoforus Sri Ratulayn K.N
Pendahuluan
Tema pembahasan tentang Tuhan menjadi salah satu bahan refleksi filsafat sejak zaman para filsuf Yunani Kuno. Para filsuf Yunani Kuno seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles, mulai merefleksikan tentang yang “tak terbatas”, yang bagi orang beragama menyebutnya dengan Tuhan. Kesadaran akan adanya sesuatu yang melampaui yang terbatas menarik minat mereka untuk merefleksikannya.
Berlanjut, pada era Abad Pertengahan tema refleksi tentang Tuhan menjadi tema pokok dalam filsafat pada filsuf abad ini. Hal tersebut tidak begitu mengherankan karena memang pada masa itu para filsuf kebanyakan berasal dari golongan agamawan. Para filsuf menggunakan karya Aristoteles untuk menjelaskan dan merefleksikan berbagai hal berkaitan dengan Tuhan berdasarkan apa yang tertulis dalam kitab suci. Dengan kata lain, mereka mempunyai proyek untuk menyatukan iman dan rasio. Filsafat digunakan untuk menjelaskan pokok-pokok persoalan tentang ketuhanan. Hal tersebut kemudian juga berdampak pada dominasi penafsiran dan pemakaian akal budi pada tradisi agama.
Sejarah pemikiran berlanjut sampai pada masa modernitas. Secara umum, modernitas dimaknai sebagi sebuah “kebaruan”. Kebaruan disini memang ingin menggambarkan dan menampilkan banyak segi dalam tema dan pemikiran. Setidaknya ada tiga cirri dari masa modern, yaitu subjektivitas, kritik, dan kemajuan. Tiga cirri tersebut berkaitan satu dengan yang lain. Subjektivitas dalam hal ini berarti ingin menempatkan manusia sebagai subjek, yaitu manusia sebagai pusat realitas dan ukuran dari segala sesuatu. Hal ini sesungguhnya adalah sebuah kritis terhadap abad sebelumnya yang menempatkan kemampuan rasio manusia dibawah baying-bayang tradisi. Dengan kata lain, masa modern mempunyai optimisme terhadap kemampuan akal budi manusia.
Era Modern merupakan sebuah situasi kebebasan akal budi menjadi hal sangat diagungkan. Lebih lanjut, sebuah masa dimana peran akal budi atau yang sering disebut sebagai kesadaran menjadi sangat sentral. Hal tersebut dikarenakan setelah pada masa sebelumnya terdapat semacam otoritas tertentu yang mengatur penggunaan akal budi manusia. Akal budi manusia berada dalam bayang-bayang agama. Dengan demikian pada masa modern ada semacam energy besar yang bergerak menerobos kungkungan yang membelenggu kebebasan akal budi dalam berpikir.
Semangat zaman modern adalah “membersihkan” semua hal yang berkaitan dengan tradisi otoriter yang membelenggu penggunan akal budi. Kebebasan akal budi menjadi sebuah gerakan progresif yang pada gilirannya melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan. Lebih lanjut, lahir berbagai macam ilmu pengetahuan epiris, yang emdasarkan pengetahuan pada relaitas yang dapat diindera. Tema tentang Tuhan kemudian dianggap juga sebagai sebuah “mitos”. Dengan kata lain muncul skeptisisme terhadap pandangan tentang keAllahan. Pada awal abad kesembilan belas, ateisme seolah menjadi sebuah agenda wajib.
Tulisan ini ingin mengulas tema tentang ateisme dalam sejarah pemikiran filsafat, khusunya pada masa modern. Penulis ingin menjawab apa yang dimaksud dengan ateisme? Kemudian menampilkan beberapa macam tokoh dan argumentasi dari para filsuf yang menganut atesime dan pemikirannya sangat berpengaruh pada sejarah pemikiran filsafat.
Arti dan Pemicu Ateisme
Secara etimologi, kata ateisme berasal dari bahasa Yunani a yang berarti tidak dan theos yang berarti Tuhan. Berpijak dari asal kata tersebut secara singkat ateisme berarti tidak adanya kepercayaan akan Tuhan. Ateisme merupakan sebuah paham tentang penolakan terhadap adanya Tuhan. Lebih dalam, adanya sebuah penolakan dari seseorang akan adanya Tuhan yang Mahatahu, Mahakuasa, dan Mahapengasih. Orang-orang yang tidak percaya pada agama tertentupun disebut sebagai orang ateis bagi orang yang memeluk agama tertentu.
Sebagai sebuah posisi filosofis, ateisme tentu mempunyai argumentasi yang menguatkan. Seperti yang misalnya terjadi dalam ilmu pengetahuan yang telah membuktikan bahwa materi bersifat abadi, maka Tuhan tidak lagi diperlukan sebagai Sang Pencipta yang menciptakan segala sesuatu di dunia. Kemudian argument menengai adanya kejahatan dan penderitaan yang terjadi di dunia yang tidak sesuai dengan konsep atau pemahaman tentang Tuhan yang Mahasegalanya. Pertanyaannya demikian, jika ada Tuhan, mengapa terjadi kejahatan dan penderitaan? Mengapa Tuhan membiarkan manusia mengalami penderitaan? Karena memang tidak jarang yang mengalami penderitaan tersebut adalah orang-orang yang baik secara moral. Apakah Tuhan tidak berkuasa atas kejahatan dimuka bumi? Masalah-masalah eksistensial itulah yang memicu munculnya ateisme. Selanjutnya argument bahwa Tuhan memang sungguh-sungguh ada, namun sangat sulit menangkap kehadirannya secara tak terbantah.
Ateisme tentu berbeda dengan dengan Panteisme dan Agnostisisme. Panteisme berpendapat dan mengidentifikasi Tuhan dengan dunia. Dengan kata lain, sebuah paham yang berpendapat bahwa segala sesuatu adalah Tuhan. Tuhan ada dalam segala sesuatu yang ada di dunia, itu panteisme. Sedangkan Agnostisisme lebih berpandangan bahwa kita tidak dapat mengetahui adanya Tuhan, maka kita tidak perlu berbicara apapun tentang Tuhan. Dengan kata lain, sebuah sikap yang mengambil posisi untuk tidak mau membicarakan apapun tentang Tuhan.
Sekali lagi perlu dipertegas, posisi ateisme adalah tidak adanya atau ditolaknya eksistensi Tuhan. Hal itu yang jelas berbeda dengan panteisme dan agnotisisme. Dalam kedua paham tersebut, keberadaan Tuhan masih diakui dan diterima. Walaupun agnotisisme menolak untuk membicarakan Tuhan namun bukan keberadaan Tuhan yang mereka tolak. Mereka hanya beranggapan tidak ada yang tahu.
Bentuk-bentuk Ateisme Modern
Pada bagian ini saya akan menampilkan beberapa contoh besar ateisme yang ada dalam filsafat, terutama yang terjadi pada abad 19 dan 20. Mereka antara lain adalah Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud, dan Jean-Paul Sartre.
1. Ludwig Feuerbach (agama sebagai proyeksi)
Ludwig Feuerbach (1804-1872) merupakan salah satu dari murid Hegel. Ia awalnya mempelajari teologi Protestan, namun kemudian beralih mempelajari filsafat. Sebagai murid Hegel, ia tentu banyak terpengaruh oleh pemikiran filsafat Hegel. Ia tergabung dalam Hegelian muda sayap kiri. Artinya, pengikut Hegel yang kemudian meradikalkan pemikiran Hegel, seperti halnya yang dilakukan oleh Karl Marx.
Pandangan Hegel mengenai realitas sebagai sebuah gerak roh yang mengasingkan diri tidak dapat diterima oleh Feuerbach. Feuerbach, tidak setuju dengan pemikiran Hegel yang lebih menekankan roh sebagai kenyataan yang nyata. Baginya, yang nyata adalah alam material. Dengan kata lain, ia ingin mengubah idealisme dalam pandangan Hegel menjadi materialisme. Hal tersebut menjadi penegas pula bahwa Feuerbach adalah seorang materialis .
Pada prinsipnya, kritik Feuerbach terhadap Hegel adalah berkaitan dengan posisi Hegel yang mengutamakan realitas sebagai sebuah pikiran spekulatif. Feuerbach berpandangan sebaliknya, yaitu bahwa realitas yang tak terbantah sesungguhnya adalah realitas dari pengalaman inderawi. Artinya, kita harus mendasarkan segala realitas berdasarkan titik tolak pengalaman inderawi. Pengalaman inderwai menjadi titik tolak utama yang tak terbantah dan sah bagi filsafat. Dengan demikian, sama seperti semua ide yang lain, ide Allahjuga berasal dari alam.
Berangkat dari pengandaian pengalam inderwai itu pula Feuerbach melancarkan kritiknya terhadap agama. Menurutnya, sesungguhnya bukan Allah yang menciptakan manusia. Melainkan manusialah yang menciptakan Allah. Lebih lanjut, Allah tidak lebih dari sekedar angan-angan yang ada dalam pikiran manusia. Baginya, agama merupakan proyeksi dari diri manusia, begitu pula dengan konsep-konsep mengenai surga, neraka, malaikat, dan lainnya yang ada dalam agama.
Argumennya demikian, sesungguhnya Allah pada awalnya adalah hasil dari proyeksi diri hakekat manusia. Dengan kata lain, Allah merupakan gambaran angan-angan yang ada dalam pikiran manusia. Namun, celakanya manusia kemudian lupa bahwa angan-angan tersebut sesungguhnya adalah ciptaannya sendiri. Agama proyeksi diri manusia yang penuh kasih, sabar, mengampuni, dan lainnya. Hingga seiring berjalannya waktu membuat manusia meyakini bahwa Allah merupakan realitas nyata yang kemudian disembah dan diluhurkan. Hingga sampai pada anggapan bahwa realitas tersebut berdiri mandiri di luar diri manusia. Hal tersebut sama seperti seseorang yang kaget dan takut melihat gambaran dirinya sendiri ketika berkaca di sebuah cermin. Orang tersebut
Jika menurut Hegel roh absolute mengsingkan diri dan berdialektika, bagi Feuerbach agamalah yang membuat manusia terasing. Dengan kata lain, agama menipu dan mengsingkan manusia dari dirinya sendiri. Bagaimana mungkin manusia menyembah dan takluk kepada apa yang menjadi proyeksi dirinya sendiri seperti yang terjadi dalam agama?! Agama malah membuat manusia jauh dari realisasi potensi-potensi yang ada dalam proyeksi dirinya. Agama dengan demikian hanya menjadi penghalang bagi perkembangan dan kemajuan diri manusia.
Manusia bisa mengakhiri keterasingannnya hanya ketika ia menghilangkan atau meninggalkan agama. Manusia perlu bergerak meninggalkan agama dan beralih menuju menjadi dirinya sendiri dengan segala potensi yang ada padanya. Hanya dengan begitu kemajuan dan perkembangan dapar ia alami. Dengan demikian, Feuerbach juga ingin merubah teologi menjadi antropologi.
2. Karl Marx (agama sebagai candu rakyat)
Karl Marx (1818-1883) sama seperti Feuerbach, ia juga merupakan salah seorang murid Hegel yang mengkritik dan menafsirkan ulang pemikiran gurunya. Jika Hegel mempunyai sistem filsafat Dialektika Roh, Marx menampilkan Dialektika Material. Ia juga merupakan salah satu filsuf ateis yang pemikirannya sangat berpengaruh dan banyak diikuti hingga sekarang.
Marx terkenal dengan ungkapannya “agama sebagai candu!” secara mudah kita dapat memahami makna ungkapan Marx tersebut dengan mengamati efek yang timbul dari candu. Candu membuat orang merasa tenang, terbuai, dan lepas dari apa yang dianggap beban bagi seseorang. Dengan demikian orang tidak lagi akan menyadari beban penderitaan yang sedang ia tanggung atau rasakan. Orang yang mestinya bangkit bergerak untuk melawan segala penindasan dan tekanan yang membelenggunya menjadi pasrah dan menerima apa saja yang menimpanya.
Tuduhan itulah yang Marx tujukan kepada agama. Agama telah membuat orang miskin merasa bahagia walaupun tertindas dan pasrah menerima nasib yang ia alami. Lebih lanjut, agama secara licik diciptkan kelas-kelas atas untuk melanggengkan kekuasaannya dalam menindas dan menenangkan rakyat. Agama membuat orang terbuai bahwa ia yang harus bangkit bergerak untuk melwan malah pasrah menerima nasib. Lebih dalam, agama menawarkan janji-janji manis untuk kehidupan di kehidungan mendatang, seperti “upahmu besar di surga”, agar orang menerima penindasan. Akhirnya yang terjadi orang yang tertindas “lari” dari kehidupan nyata dan menuju pemikiran kehidupan “di atas”. Manusia kemudian mengkhayal kemenangan atas kehidupan setelah kematian jika ia saat ini tertindas. Seseorang yang tertindas lari menuju agama yang memberikan penghiburan-penghiburan.
Sesungguhnya kritik Marx terhadap agama merupakan tanggapan atas ketidak beresan yang terjadi dalam system dan keadaan politik dalam masyarakat. Maka kritik tersebut baginya tidak hanya sebatas kritik terhadap agama. Melainkan harus sampai pada solusi untuk mengubah keadaan masyarakat. Manusia harus dibebaskan dari penindasan yang membuatnya terasing. Yang diperlukan bukanlah kritik agama, melainkan Revolusi. Karena memang sesungguhnya yang menyebabkan manusia lari pada agama adalah keadaan social yang membelenggunya. Agama hanya menjadi tempat pelarian. Menurutnya, jika pertetangan kelas hancur dan keadaan social membuat manusia hidup sejahterah, maka agama akan dengan sendirinya hilang dari masyarakat. Agama pada akhirnya akan kehilangan tempatnya.
3. Friedrich Nietzsche (Tuhan telah Mati)
Friedrich Nietzsche (1844-1900) seorang filsuf ateis yang sangat terkenal akan penolakannya terhadap konsep ke-Tuhan-an. Nietzsche sesunguhnya lahir dari sebuah keluarga religious. Namun seiring perjalanan karir dan pemikirannya, ia menjadi salah seorang filsuf yang paling keras mengkritik agama. Penolakannya terhadap Allah dan agama terlihat jelas dalam ungkapannya yang terkenal yaitu bahwa “Tuhan telah Mati!”
Secara umum, ateisme lebih suka berpijak dari konsep bahwa dunia bersifat siklis. Siklis berarti kebalikan dari konsepsi bahwa dunia itu linier atau mempunyai tujuan akhir. Konsepsi bahwa dunia bersifat siklis berarti ingin menunjukkan segala sesuatu kembali atau terulang kembali. Dengan kata lain, dunia ini tidak mempunyai awal dan akhir. Konsepsi mengenai bahwa dunia bersifat siklis jelas ingin mengingkari terjadinya pandangan tentang penciptaan. Jika dunia bersifat linier berarti mengandaikan harus adanya konsep tentang Sang Pencipta. Inilah yang ditolak oleh Nietzsche.
Lebih lanjut, ungkapan bahwa Allah telah mati sesungguhnya bukan ingin menjelaskan bahwa Allah sungguh-sungguh mati. Melainkan Nietzsche ingin mengatakan bahwa Allah sebenarnya tidak ada, Allah tak pernah ada. Lebih dalam, yang dibunuh adalah Allah yang diciptakan sendiri oleh manusia. Manusia sendiri yang menciptakan Allah, namun kemudian menjadi berbalik menguasai manusia. Manusia menjadi lemah, rapuh, penakut, dan hilang moralitasnya. Agama adalah ciptaan mereka yang kalah terhadap realitas yang ada di dunia.
Nietzsche berargumen bahwa agama membuat moralitas manusia menjadi rusak. Artinya, manusia menjadi lemah, tidak berani melawan, dan lari dari dunia yang harusnya dihadapi dengan penuh daya vitalitas. Moralitas tersebut menurutnya adalah moralitas budak. Sebuah moralitas yang mengajarkan tentang kerendahan hati, sabar, mengalah, dan pasrah. Baginya, moralitas sejati adalah moralitas tuan. Moralitas tuan adalah mereka yang menerima segala realitas dunia ini dengan berani tanpa lari kedunia atas, ia yang berkata “ya” (Ja-Sagen) terhadap kehidupan.
Kematian Allah membawa pada suatu tragedy yang bagi sebagian orang menjadi sebuah guncangan hebat. Kalau sudah tidak ada Allah berarti tidak ada lagi nilai-nilai yang membelenggu manusia untuk ditaati. Kematian Allah mengarah kepada sebuah nihilism, sebuah keadaan tanpa makna, bahwa tidak ada lagi nilai-nilai yang perlu diikuti atau ditaaati. Nilai-nilai dalam agama yang penuh kebohongan, kepalsuan, kemunafikan, dan penekanan nafsu manusia telah hilang.
Nihilisme bukanlah sebuah akhir. Lebih lanjut, nihilisme menjadi gerbang bagi lahirnya manusia-manusia atas (ubermensch). Ubermensch berarti manusia yang melampaui manusia masa lampau dan yang juga masih manusia zaman sekarang. Mereka adalah orang-orang yang dengan penuh sukacita dan gembira menyambut kematian Allah tersebut. Manusia dengan moralitas tuan yang melampaui atau “diatas” yang lainnya. Manusia atas bukanlah mereka yang immoral, melainkan mereka menciptakan moral sendiri bagi hidup mereka. Dengan kata lain, keputusan moral ada ditangan mereka. Allah teah mati dan sekarang mereka sendirilah penentu apa yang baik dan bernilai bagi hidup mereka.
4. Sigmund Freud
Sigmund Freud (1856-1939) lebih terkenal sebagai seorang psikoanalisia dan ilmuwan yang berpengaruh di dunia. Pertanyaan Freud berkaitan dengan ateisme adalah mengapa ada konsep Tuhan dalam kesadaran manusia, padahal Tuhan tidak pernah dialami secara inderawi oleh manusia? Dalam argumennya Freud lebih mengkritik mengenai keberadaan agama ketimbang berusa menjelaskan bahwa Allah tidak ada.
Ateisme Freud bertitik tolak dari fenomena neurosis yang ada dalam teori psikonalalisanya. Baginya agama merupakan sebuah neurosis. Argumennya, bahwa agama membuat manusia percaya akan adanya kekuatan-kekuatan dewa-dewa atau Tuhan yang ada di luar dirinya. Misalnya, orang berdoa meminta perlindungan ketika sedang menghadapi masalah atau penderitaan. Namun, sesungguhnya hal tersebut adalah ilusi belaka, tidak ada dewa-dewa yang melindungi manusia. Sesungguhnya yang ada adalah keinginan manusia untuk dilindungi. Sebuah ilusi dalam arti, keyakinan akan terpenuhinya sebuah harapan, karena orang tersebut menginginkannya.
Menurut Freud, sesungguhnya harapan atau keinginan manusia dalam agama sungguh kekanak-kanakan. Karena memang hal tersebut tidak nyata. Agama malah membuat manusia pasif menunggu keselamatan datang daripada bertindak untuk mengusahakan keselamatan dirinya. Celakanya hal ini tidak hanya dialami oleh satu atau dua orang saja, melainakan sekelompok orang yang meyakini agama tersebut. Kemudian orang berbondong-bondong melakukan apa yang menjadi ajaran agama agam memperoleh keselamatan yang dijanjikan.
Dengan demikian orang melakukan perintah-perintah yang ada dalam agama bukan karena melihat rasionalitas dalam peratutan tersebut, melainkan hanya karena taku akan menerima hukuman atau dalam bahasa agam disebut dosa. Lebih luas, orang beragama menjadi seperti anak-anak yang melakukan sesuatu hanya karena “takut Tuhan marah”, bukan hasil dari penemuan rasionalnya. Bayangan akan takut dosa dan hukuman Allah selalu menghantui pikirannya, itu yang kemudian membuat manusia tidak mengalami kebahagiaan.
5. Jean-Paul Sartre
Jean-Paul Sartre (1905-1980) merupakan tokoh ateisme abad ini yang konsisten dengan pandangannya mengenai eksistensi manusia dengan kebebasan mutlak. Padangan eksistensialisme menekankan kepada kebebasan manusia dalam menentukan arah dan apa yang baik bagi hidupnya. Dengan kata lain, eksistensi mendahului esensi. Manusia menemukan dirinya terlempar begitu saja dalam eksistensinya. Tugas selanjutnya adalah menentukan apa yang menjadi esensi. Hal tersebut berbeda dengan pandangan metafisika klasik yang memandang bahwa manusia terlahir dengan kodrat tertentu. Dengan demikian, keberadaan Allah jelas bertentangan dengan kenyataan manusia yang harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Lebih dalam, keberadaan Allah membuat manusia tidak lagi bebas. Karena kalau ada Allah berarti Allah yang bertanggung jawab atas hidup manusia.
Sartre bertitik tolak dari pandangan metafisikanya yang termuat dalam bukunya Being and Nothingness. Menurutnya terdapat dua realitas yaitu, kenyataan “Berada-pada dirinya” (etre en soi) dan “Berada-bagi dirinya” (etre pour soi). Berada-pada dirinya merupakan realitas objektif utuh. Contoh benda-benda yang berada-pada dirnya adalah meja, kursi, batu, dll. Substansi berada pada dirinya tidak memiliki kesadaran untuk merenungkan dan mengolah keberadaannya. Berbeda halnya dengan realitas berada-bagi dirinya. Manusia adalah realitas dari berada-bagi dirinya, ia satu-satunya makhluk yang eksistensinya mendahului esensi. Manusia mampu menyadari eksistensinya dan kemudian dengan penuh kesadaran membentuk esensinya dengan kebebasan. Mereka mampu menyadari dirinya sendiri.
Jadi manusia sesungguhnya tidak terikat pada nilai-nilai apapun. Manusia tidak mempunyai hakikat, tidak ada ikatan moralitas dalam diri manusia. Lebih lanjut, ia sendirilah yang harus membentuk dan menentukan apa yang baik dan bernilai bagi dirinya dengan kebebasan. Allah tidak mungkin ada karena jika ada Allah, maka manusia tidak lagi menjadi bebas. Jika manusia menerima segala sesuatu yang berasal dari luar dirinya, maka sesungguhnya ia mengkhianati dirinya sendiri. Lebih dalam, semuanya boleh dilakukan kalau tidak ada Allah. Karena manusia tidak terbelenggu lagi untuk mengikuti nilai-nilai moralitas yang Allah tentukan. Keberadaan Allah tentu kotradiksi, karena manusia pada dasarnya adalah bebas. Keberadaan Allah mengingkari kebebasan manusia.
Penutup
Demikian berbagai pemaparan mengenai ateisme dalam kerangka pembahasan filsafat ketuhanan. Ateisme sebagai sebuah sikap penolakan terhadap keberadaan Allah. Beberapa filsuf yang mengambil sikap ateis tentu mempunyai argumennya masing-masing yang memang masuk akal. Sesungguhnya bagi sebagian orang yang masih memegang kepercayaannya akan Tuhan hal tersebut menjadi tantangan tersendiri. Dengan kata lain, orang yang masih berpengang akan iman terhadap keberadaan Tuhan perlu mempertanggungjawabkan imannya secara dewasa pula. Sikap beriman yang dewasa tentu mampu memberikan penjelasan yang juga masuk akal dan menanggapi secara kritis bentuk-bentuk ateisme yang terjadi. Fenomena ateisme mampu menjadi sebuah motivasi agar orang makin kuat dalam penghayatan agama.
Daftar Pustaka
Armstrong, Karen. Sejarah Tuhan, terj: A History of God: The 4000-Year Quest of Judaisme. Christianity and Islam. Penerbit MIZAN. 2001.
Bunnin, Nicholaus and Jiyuan Yu. The Blackwell Dictionary of Western Philosophy. Blackwell Publishing. 2004.
Garvey, James. 20 Karya Filsafat Terbesar. Yogyakarta. Kanisius. 2010.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern. Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2007.
Huijbers, Theo. Mencari Allah. Pengantar Ke Dalam Filsafat Ketuhanan. Yogyakarta. Kanisius. 1992.
Leahy, Louis. Aliran-aliran Besar Ateisme. Yogyakarta. Kanisius dan BPK. 1985.
Suseno, Franz-Magnis. Menalar Tuhan. Yogyakarta. Kanisius. 2006.
Oleh : Kristoforus Sri Ratulayn K.N
Pendahuluan
Tema pembahasan tentang Tuhan menjadi salah satu bahan refleksi filsafat sejak zaman para filsuf Yunani Kuno. Para filsuf Yunani Kuno seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles, mulai merefleksikan tentang yang “tak terbatas”, yang bagi orang beragama menyebutnya dengan Tuhan. Kesadaran akan adanya sesuatu yang melampaui yang terbatas menarik minat mereka untuk merefleksikannya.
Berlanjut, pada era Abad Pertengahan tema refleksi tentang Tuhan menjadi tema pokok dalam filsafat pada filsuf abad ini. Hal tersebut tidak begitu mengherankan karena memang pada masa itu para filsuf kebanyakan berasal dari golongan agamawan. Para filsuf menggunakan karya Aristoteles untuk menjelaskan dan merefleksikan berbagai hal berkaitan dengan Tuhan berdasarkan apa yang tertulis dalam kitab suci. Dengan kata lain, mereka mempunyai proyek untuk menyatukan iman dan rasio. Filsafat digunakan untuk menjelaskan pokok-pokok persoalan tentang ketuhanan. Hal tersebut kemudian juga berdampak pada dominasi penafsiran dan pemakaian akal budi pada tradisi agama.
Sejarah pemikiran berlanjut sampai pada masa modernitas. Secara umum, modernitas dimaknai sebagi sebuah “kebaruan”. Kebaruan disini memang ingin menggambarkan dan menampilkan banyak segi dalam tema dan pemikiran. Setidaknya ada tiga cirri dari masa modern, yaitu subjektivitas, kritik, dan kemajuan. Tiga cirri tersebut berkaitan satu dengan yang lain. Subjektivitas dalam hal ini berarti ingin menempatkan manusia sebagai subjek, yaitu manusia sebagai pusat realitas dan ukuran dari segala sesuatu. Hal ini sesungguhnya adalah sebuah kritis terhadap abad sebelumnya yang menempatkan kemampuan rasio manusia dibawah baying-bayang tradisi. Dengan kata lain, masa modern mempunyai optimisme terhadap kemampuan akal budi manusia.
Era Modern merupakan sebuah situasi kebebasan akal budi menjadi hal sangat diagungkan. Lebih lanjut, sebuah masa dimana peran akal budi atau yang sering disebut sebagai kesadaran menjadi sangat sentral. Hal tersebut dikarenakan setelah pada masa sebelumnya terdapat semacam otoritas tertentu yang mengatur penggunaan akal budi manusia. Akal budi manusia berada dalam bayang-bayang agama. Dengan demikian pada masa modern ada semacam energy besar yang bergerak menerobos kungkungan yang membelenggu kebebasan akal budi dalam berpikir.
Semangat zaman modern adalah “membersihkan” semua hal yang berkaitan dengan tradisi otoriter yang membelenggu penggunan akal budi. Kebebasan akal budi menjadi sebuah gerakan progresif yang pada gilirannya melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan. Lebih lanjut, lahir berbagai macam ilmu pengetahuan epiris, yang emdasarkan pengetahuan pada relaitas yang dapat diindera. Tema tentang Tuhan kemudian dianggap juga sebagai sebuah “mitos”. Dengan kata lain muncul skeptisisme terhadap pandangan tentang keAllahan. Pada awal abad kesembilan belas, ateisme seolah menjadi sebuah agenda wajib.
Tulisan ini ingin mengulas tema tentang ateisme dalam sejarah pemikiran filsafat, khusunya pada masa modern. Penulis ingin menjawab apa yang dimaksud dengan ateisme? Kemudian menampilkan beberapa macam tokoh dan argumentasi dari para filsuf yang menganut atesime dan pemikirannya sangat berpengaruh pada sejarah pemikiran filsafat.
Arti dan Pemicu Ateisme
Secara etimologi, kata ateisme berasal dari bahasa Yunani a yang berarti tidak dan theos yang berarti Tuhan. Berpijak dari asal kata tersebut secara singkat ateisme berarti tidak adanya kepercayaan akan Tuhan. Ateisme merupakan sebuah paham tentang penolakan terhadap adanya Tuhan. Lebih dalam, adanya sebuah penolakan dari seseorang akan adanya Tuhan yang Mahatahu, Mahakuasa, dan Mahapengasih. Orang-orang yang tidak percaya pada agama tertentupun disebut sebagai orang ateis bagi orang yang memeluk agama tertentu.
Sebagai sebuah posisi filosofis, ateisme tentu mempunyai argumentasi yang menguatkan. Seperti yang misalnya terjadi dalam ilmu pengetahuan yang telah membuktikan bahwa materi bersifat abadi, maka Tuhan tidak lagi diperlukan sebagai Sang Pencipta yang menciptakan segala sesuatu di dunia. Kemudian argument menengai adanya kejahatan dan penderitaan yang terjadi di dunia yang tidak sesuai dengan konsep atau pemahaman tentang Tuhan yang Mahasegalanya. Pertanyaannya demikian, jika ada Tuhan, mengapa terjadi kejahatan dan penderitaan? Mengapa Tuhan membiarkan manusia mengalami penderitaan? Karena memang tidak jarang yang mengalami penderitaan tersebut adalah orang-orang yang baik secara moral. Apakah Tuhan tidak berkuasa atas kejahatan dimuka bumi? Masalah-masalah eksistensial itulah yang memicu munculnya ateisme. Selanjutnya argument bahwa Tuhan memang sungguh-sungguh ada, namun sangat sulit menangkap kehadirannya secara tak terbantah.
Ateisme tentu berbeda dengan dengan Panteisme dan Agnostisisme. Panteisme berpendapat dan mengidentifikasi Tuhan dengan dunia. Dengan kata lain, sebuah paham yang berpendapat bahwa segala sesuatu adalah Tuhan. Tuhan ada dalam segala sesuatu yang ada di dunia, itu panteisme. Sedangkan Agnostisisme lebih berpandangan bahwa kita tidak dapat mengetahui adanya Tuhan, maka kita tidak perlu berbicara apapun tentang Tuhan. Dengan kata lain, sebuah sikap yang mengambil posisi untuk tidak mau membicarakan apapun tentang Tuhan.
Sekali lagi perlu dipertegas, posisi ateisme adalah tidak adanya atau ditolaknya eksistensi Tuhan. Hal itu yang jelas berbeda dengan panteisme dan agnotisisme. Dalam kedua paham tersebut, keberadaan Tuhan masih diakui dan diterima. Walaupun agnotisisme menolak untuk membicarakan Tuhan namun bukan keberadaan Tuhan yang mereka tolak. Mereka hanya beranggapan tidak ada yang tahu.
Bentuk-bentuk Ateisme Modern
Pada bagian ini saya akan menampilkan beberapa contoh besar ateisme yang ada dalam filsafat, terutama yang terjadi pada abad 19 dan 20. Mereka antara lain adalah Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud, dan Jean-Paul Sartre.
1. Ludwig Feuerbach (agama sebagai proyeksi)
Ludwig Feuerbach (1804-1872) merupakan salah satu dari murid Hegel. Ia awalnya mempelajari teologi Protestan, namun kemudian beralih mempelajari filsafat. Sebagai murid Hegel, ia tentu banyak terpengaruh oleh pemikiran filsafat Hegel. Ia tergabung dalam Hegelian muda sayap kiri. Artinya, pengikut Hegel yang kemudian meradikalkan pemikiran Hegel, seperti halnya yang dilakukan oleh Karl Marx.
Pandangan Hegel mengenai realitas sebagai sebuah gerak roh yang mengasingkan diri tidak dapat diterima oleh Feuerbach. Feuerbach, tidak setuju dengan pemikiran Hegel yang lebih menekankan roh sebagai kenyataan yang nyata. Baginya, yang nyata adalah alam material. Dengan kata lain, ia ingin mengubah idealisme dalam pandangan Hegel menjadi materialisme. Hal tersebut menjadi penegas pula bahwa Feuerbach adalah seorang materialis .
Pada prinsipnya, kritik Feuerbach terhadap Hegel adalah berkaitan dengan posisi Hegel yang mengutamakan realitas sebagai sebuah pikiran spekulatif. Feuerbach berpandangan sebaliknya, yaitu bahwa realitas yang tak terbantah sesungguhnya adalah realitas dari pengalaman inderawi. Artinya, kita harus mendasarkan segala realitas berdasarkan titik tolak pengalaman inderawi. Pengalaman inderwai menjadi titik tolak utama yang tak terbantah dan sah bagi filsafat. Dengan demikian, sama seperti semua ide yang lain, ide Allahjuga berasal dari alam.
Berangkat dari pengandaian pengalam inderwai itu pula Feuerbach melancarkan kritiknya terhadap agama. Menurutnya, sesungguhnya bukan Allah yang menciptakan manusia. Melainkan manusialah yang menciptakan Allah. Lebih lanjut, Allah tidak lebih dari sekedar angan-angan yang ada dalam pikiran manusia. Baginya, agama merupakan proyeksi dari diri manusia, begitu pula dengan konsep-konsep mengenai surga, neraka, malaikat, dan lainnya yang ada dalam agama.
Argumennya demikian, sesungguhnya Allah pada awalnya adalah hasil dari proyeksi diri hakekat manusia. Dengan kata lain, Allah merupakan gambaran angan-angan yang ada dalam pikiran manusia. Namun, celakanya manusia kemudian lupa bahwa angan-angan tersebut sesungguhnya adalah ciptaannya sendiri. Agama proyeksi diri manusia yang penuh kasih, sabar, mengampuni, dan lainnya. Hingga seiring berjalannya waktu membuat manusia meyakini bahwa Allah merupakan realitas nyata yang kemudian disembah dan diluhurkan. Hingga sampai pada anggapan bahwa realitas tersebut berdiri mandiri di luar diri manusia. Hal tersebut sama seperti seseorang yang kaget dan takut melihat gambaran dirinya sendiri ketika berkaca di sebuah cermin. Orang tersebut
Jika menurut Hegel roh absolute mengsingkan diri dan berdialektika, bagi Feuerbach agamalah yang membuat manusia terasing. Dengan kata lain, agama menipu dan mengsingkan manusia dari dirinya sendiri. Bagaimana mungkin manusia menyembah dan takluk kepada apa yang menjadi proyeksi dirinya sendiri seperti yang terjadi dalam agama?! Agama malah membuat manusia jauh dari realisasi potensi-potensi yang ada dalam proyeksi dirinya. Agama dengan demikian hanya menjadi penghalang bagi perkembangan dan kemajuan diri manusia.
Manusia bisa mengakhiri keterasingannnya hanya ketika ia menghilangkan atau meninggalkan agama. Manusia perlu bergerak meninggalkan agama dan beralih menuju menjadi dirinya sendiri dengan segala potensi yang ada padanya. Hanya dengan begitu kemajuan dan perkembangan dapar ia alami. Dengan demikian, Feuerbach juga ingin merubah teologi menjadi antropologi.
2. Karl Marx (agama sebagai candu rakyat)
Karl Marx (1818-1883) sama seperti Feuerbach, ia juga merupakan salah seorang murid Hegel yang mengkritik dan menafsirkan ulang pemikiran gurunya. Jika Hegel mempunyai sistem filsafat Dialektika Roh, Marx menampilkan Dialektika Material. Ia juga merupakan salah satu filsuf ateis yang pemikirannya sangat berpengaruh dan banyak diikuti hingga sekarang.
Marx terkenal dengan ungkapannya “agama sebagai candu!” secara mudah kita dapat memahami makna ungkapan Marx tersebut dengan mengamati efek yang timbul dari candu. Candu membuat orang merasa tenang, terbuai, dan lepas dari apa yang dianggap beban bagi seseorang. Dengan demikian orang tidak lagi akan menyadari beban penderitaan yang sedang ia tanggung atau rasakan. Orang yang mestinya bangkit bergerak untuk melawan segala penindasan dan tekanan yang membelenggunya menjadi pasrah dan menerima apa saja yang menimpanya.
Tuduhan itulah yang Marx tujukan kepada agama. Agama telah membuat orang miskin merasa bahagia walaupun tertindas dan pasrah menerima nasib yang ia alami. Lebih lanjut, agama secara licik diciptkan kelas-kelas atas untuk melanggengkan kekuasaannya dalam menindas dan menenangkan rakyat. Agama membuat orang terbuai bahwa ia yang harus bangkit bergerak untuk melwan malah pasrah menerima nasib. Lebih dalam, agama menawarkan janji-janji manis untuk kehidupan di kehidungan mendatang, seperti “upahmu besar di surga”, agar orang menerima penindasan. Akhirnya yang terjadi orang yang tertindas “lari” dari kehidupan nyata dan menuju pemikiran kehidupan “di atas”. Manusia kemudian mengkhayal kemenangan atas kehidupan setelah kematian jika ia saat ini tertindas. Seseorang yang tertindas lari menuju agama yang memberikan penghiburan-penghiburan.
Sesungguhnya kritik Marx terhadap agama merupakan tanggapan atas ketidak beresan yang terjadi dalam system dan keadaan politik dalam masyarakat. Maka kritik tersebut baginya tidak hanya sebatas kritik terhadap agama. Melainkan harus sampai pada solusi untuk mengubah keadaan masyarakat. Manusia harus dibebaskan dari penindasan yang membuatnya terasing. Yang diperlukan bukanlah kritik agama, melainkan Revolusi. Karena memang sesungguhnya yang menyebabkan manusia lari pada agama adalah keadaan social yang membelenggunya. Agama hanya menjadi tempat pelarian. Menurutnya, jika pertetangan kelas hancur dan keadaan social membuat manusia hidup sejahterah, maka agama akan dengan sendirinya hilang dari masyarakat. Agama pada akhirnya akan kehilangan tempatnya.
3. Friedrich Nietzsche (Tuhan telah Mati)
Friedrich Nietzsche (1844-1900) seorang filsuf ateis yang sangat terkenal akan penolakannya terhadap konsep ke-Tuhan-an. Nietzsche sesunguhnya lahir dari sebuah keluarga religious. Namun seiring perjalanan karir dan pemikirannya, ia menjadi salah seorang filsuf yang paling keras mengkritik agama. Penolakannya terhadap Allah dan agama terlihat jelas dalam ungkapannya yang terkenal yaitu bahwa “Tuhan telah Mati!”
Secara umum, ateisme lebih suka berpijak dari konsep bahwa dunia bersifat siklis. Siklis berarti kebalikan dari konsepsi bahwa dunia itu linier atau mempunyai tujuan akhir. Konsepsi bahwa dunia bersifat siklis berarti ingin menunjukkan segala sesuatu kembali atau terulang kembali. Dengan kata lain, dunia ini tidak mempunyai awal dan akhir. Konsepsi mengenai bahwa dunia bersifat siklis jelas ingin mengingkari terjadinya pandangan tentang penciptaan. Jika dunia bersifat linier berarti mengandaikan harus adanya konsep tentang Sang Pencipta. Inilah yang ditolak oleh Nietzsche.
Lebih lanjut, ungkapan bahwa Allah telah mati sesungguhnya bukan ingin menjelaskan bahwa Allah sungguh-sungguh mati. Melainkan Nietzsche ingin mengatakan bahwa Allah sebenarnya tidak ada, Allah tak pernah ada. Lebih dalam, yang dibunuh adalah Allah yang diciptakan sendiri oleh manusia. Manusia sendiri yang menciptakan Allah, namun kemudian menjadi berbalik menguasai manusia. Manusia menjadi lemah, rapuh, penakut, dan hilang moralitasnya. Agama adalah ciptaan mereka yang kalah terhadap realitas yang ada di dunia.
Nietzsche berargumen bahwa agama membuat moralitas manusia menjadi rusak. Artinya, manusia menjadi lemah, tidak berani melawan, dan lari dari dunia yang harusnya dihadapi dengan penuh daya vitalitas. Moralitas tersebut menurutnya adalah moralitas budak. Sebuah moralitas yang mengajarkan tentang kerendahan hati, sabar, mengalah, dan pasrah. Baginya, moralitas sejati adalah moralitas tuan. Moralitas tuan adalah mereka yang menerima segala realitas dunia ini dengan berani tanpa lari kedunia atas, ia yang berkata “ya” (Ja-Sagen) terhadap kehidupan.
Kematian Allah membawa pada suatu tragedy yang bagi sebagian orang menjadi sebuah guncangan hebat. Kalau sudah tidak ada Allah berarti tidak ada lagi nilai-nilai yang membelenggu manusia untuk ditaati. Kematian Allah mengarah kepada sebuah nihilism, sebuah keadaan tanpa makna, bahwa tidak ada lagi nilai-nilai yang perlu diikuti atau ditaaati. Nilai-nilai dalam agama yang penuh kebohongan, kepalsuan, kemunafikan, dan penekanan nafsu manusia telah hilang.
Nihilisme bukanlah sebuah akhir. Lebih lanjut, nihilisme menjadi gerbang bagi lahirnya manusia-manusia atas (ubermensch). Ubermensch berarti manusia yang melampaui manusia masa lampau dan yang juga masih manusia zaman sekarang. Mereka adalah orang-orang yang dengan penuh sukacita dan gembira menyambut kematian Allah tersebut. Manusia dengan moralitas tuan yang melampaui atau “diatas” yang lainnya. Manusia atas bukanlah mereka yang immoral, melainkan mereka menciptakan moral sendiri bagi hidup mereka. Dengan kata lain, keputusan moral ada ditangan mereka. Allah teah mati dan sekarang mereka sendirilah penentu apa yang baik dan bernilai bagi hidup mereka.
4. Sigmund Freud
Sigmund Freud (1856-1939) lebih terkenal sebagai seorang psikoanalisia dan ilmuwan yang berpengaruh di dunia. Pertanyaan Freud berkaitan dengan ateisme adalah mengapa ada konsep Tuhan dalam kesadaran manusia, padahal Tuhan tidak pernah dialami secara inderawi oleh manusia? Dalam argumennya Freud lebih mengkritik mengenai keberadaan agama ketimbang berusa menjelaskan bahwa Allah tidak ada.
Ateisme Freud bertitik tolak dari fenomena neurosis yang ada dalam teori psikonalalisanya. Baginya agama merupakan sebuah neurosis. Argumennya, bahwa agama membuat manusia percaya akan adanya kekuatan-kekuatan dewa-dewa atau Tuhan yang ada di luar dirinya. Misalnya, orang berdoa meminta perlindungan ketika sedang menghadapi masalah atau penderitaan. Namun, sesungguhnya hal tersebut adalah ilusi belaka, tidak ada dewa-dewa yang melindungi manusia. Sesungguhnya yang ada adalah keinginan manusia untuk dilindungi. Sebuah ilusi dalam arti, keyakinan akan terpenuhinya sebuah harapan, karena orang tersebut menginginkannya.
Menurut Freud, sesungguhnya harapan atau keinginan manusia dalam agama sungguh kekanak-kanakan. Karena memang hal tersebut tidak nyata. Agama malah membuat manusia pasif menunggu keselamatan datang daripada bertindak untuk mengusahakan keselamatan dirinya. Celakanya hal ini tidak hanya dialami oleh satu atau dua orang saja, melainakan sekelompok orang yang meyakini agama tersebut. Kemudian orang berbondong-bondong melakukan apa yang menjadi ajaran agama agam memperoleh keselamatan yang dijanjikan.
Dengan demikian orang melakukan perintah-perintah yang ada dalam agama bukan karena melihat rasionalitas dalam peratutan tersebut, melainkan hanya karena taku akan menerima hukuman atau dalam bahasa agam disebut dosa. Lebih luas, orang beragama menjadi seperti anak-anak yang melakukan sesuatu hanya karena “takut Tuhan marah”, bukan hasil dari penemuan rasionalnya. Bayangan akan takut dosa dan hukuman Allah selalu menghantui pikirannya, itu yang kemudian membuat manusia tidak mengalami kebahagiaan.
5. Jean-Paul Sartre
Jean-Paul Sartre (1905-1980) merupakan tokoh ateisme abad ini yang konsisten dengan pandangannya mengenai eksistensi manusia dengan kebebasan mutlak. Padangan eksistensialisme menekankan kepada kebebasan manusia dalam menentukan arah dan apa yang baik bagi hidupnya. Dengan kata lain, eksistensi mendahului esensi. Manusia menemukan dirinya terlempar begitu saja dalam eksistensinya. Tugas selanjutnya adalah menentukan apa yang menjadi esensi. Hal tersebut berbeda dengan pandangan metafisika klasik yang memandang bahwa manusia terlahir dengan kodrat tertentu. Dengan demikian, keberadaan Allah jelas bertentangan dengan kenyataan manusia yang harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Lebih dalam, keberadaan Allah membuat manusia tidak lagi bebas. Karena kalau ada Allah berarti Allah yang bertanggung jawab atas hidup manusia.
Sartre bertitik tolak dari pandangan metafisikanya yang termuat dalam bukunya Being and Nothingness. Menurutnya terdapat dua realitas yaitu, kenyataan “Berada-pada dirinya” (etre en soi) dan “Berada-bagi dirinya” (etre pour soi). Berada-pada dirinya merupakan realitas objektif utuh. Contoh benda-benda yang berada-pada dirnya adalah meja, kursi, batu, dll. Substansi berada pada dirinya tidak memiliki kesadaran untuk merenungkan dan mengolah keberadaannya. Berbeda halnya dengan realitas berada-bagi dirinya. Manusia adalah realitas dari berada-bagi dirinya, ia satu-satunya makhluk yang eksistensinya mendahului esensi. Manusia mampu menyadari eksistensinya dan kemudian dengan penuh kesadaran membentuk esensinya dengan kebebasan. Mereka mampu menyadari dirinya sendiri.
Jadi manusia sesungguhnya tidak terikat pada nilai-nilai apapun. Manusia tidak mempunyai hakikat, tidak ada ikatan moralitas dalam diri manusia. Lebih lanjut, ia sendirilah yang harus membentuk dan menentukan apa yang baik dan bernilai bagi dirinya dengan kebebasan. Allah tidak mungkin ada karena jika ada Allah, maka manusia tidak lagi menjadi bebas. Jika manusia menerima segala sesuatu yang berasal dari luar dirinya, maka sesungguhnya ia mengkhianati dirinya sendiri. Lebih dalam, semuanya boleh dilakukan kalau tidak ada Allah. Karena manusia tidak terbelenggu lagi untuk mengikuti nilai-nilai moralitas yang Allah tentukan. Keberadaan Allah tentu kotradiksi, karena manusia pada dasarnya adalah bebas. Keberadaan Allah mengingkari kebebasan manusia.
Penutup
Demikian berbagai pemaparan mengenai ateisme dalam kerangka pembahasan filsafat ketuhanan. Ateisme sebagai sebuah sikap penolakan terhadap keberadaan Allah. Beberapa filsuf yang mengambil sikap ateis tentu mempunyai argumennya masing-masing yang memang masuk akal. Sesungguhnya bagi sebagian orang yang masih memegang kepercayaannya akan Tuhan hal tersebut menjadi tantangan tersendiri. Dengan kata lain, orang yang masih berpengang akan iman terhadap keberadaan Tuhan perlu mempertanggungjawabkan imannya secara dewasa pula. Sikap beriman yang dewasa tentu mampu memberikan penjelasan yang juga masuk akal dan menanggapi secara kritis bentuk-bentuk ateisme yang terjadi. Fenomena ateisme mampu menjadi sebuah motivasi agar orang makin kuat dalam penghayatan agama.
Daftar Pustaka
Armstrong, Karen. Sejarah Tuhan, terj: A History of God: The 4000-Year Quest of Judaisme. Christianity and Islam. Penerbit MIZAN. 2001.
Bunnin, Nicholaus and Jiyuan Yu. The Blackwell Dictionary of Western Philosophy. Blackwell Publishing. 2004.
Garvey, James. 20 Karya Filsafat Terbesar. Yogyakarta. Kanisius. 2010.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern. Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2007.
Huijbers, Theo. Mencari Allah. Pengantar Ke Dalam Filsafat Ketuhanan. Yogyakarta. Kanisius. 1992.
Leahy, Louis. Aliran-aliran Besar Ateisme. Yogyakarta. Kanisius dan BPK. 1985.
Suseno, Franz-Magnis. Menalar Tuhan. Yogyakarta. Kanisius. 2006.
Sabtu, 20 September 2014
Eudaimonism. Lex Naturalis. Etika Menurut Thomas Aquinas (1224-1274)
Oleh: Kristoforus Sri Ratulayn K.N
Pembahasan mengenai etika sangat menarik untuk terus dikaji setiap waktu. Apalagi ketika melihat fenomena masih sangat kuatnya daya ikat di zaman sekarang. Di tengah berbagai kemajuan teknologi, etika seoalah menjadi ”polisi” bagi para ilmuwan dalam melakukan eksperimen-eksperimen mereka yang terkadang hendak melampaui batas alamiah. Hal ini terlihat jelas ketika para ilmuwan mulai mampu melakukan cloning pada hewan dan hendak mengaplikasikannya pada manusia.
Etika sendiri merupakan salah cabang dari filsafat. Kata etika sendiri berasal dari bahasa Yunani Ethike dan tekhne yang berarti sebuah ilmu tentang moral. Jika ditelusuri lebih dalam, kata ethike berarti juga ethos yang artinya alami (nature). Dengan demikian etika kurang lebih berarti sebuah ilmu tentang tindakan manusia menurut hakikat alaminya.
Paper ini secara khusus akan mecoba memaparkan ajaran St. Thomas Aquinas mengenai etika. Pada pembahasannya saya akan membaginya kedalam beberapa bagian. Bagian pertama saya mencoba memberikan gambaran umum atau latar belakang ajaran etika St. Thomas Aquinas. Pada bagian tersebut kita akan melihat bahwa St. Thomas Aquinas banyak mengambil ajaran Aristoteles dalam mengembangkan ajaran etikanya. Ajaran tersebut nampak dalam pandangan bahwa segala sesuatu di dunia ini mempunyai tujuan akhir (telos), yaitu kebahagiaan (happiness).
Bagian selanjutnya kita akan mengulas lebih mendalam ajaran St. Thomas Aquinas tentang hukum kodrat (Lex Naturalis). Bagi St. Thomas Aquinas, hukum kodrat merupakan esensi dari manusia. Hukum kodrat dipandang sebagai sebuah arah atau haluan bagi setiap orang dalam bertindak. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa hukum kodrat merupakan jalan yang mengarahkan seseorang kepada tujuan akhir hidupnya, yaitu kebahagiaan (eudaimonia).
Latar Belakang Etika St. Thomas Aquinas
Secara umum, ajaran St. Thomas Aquinas tentang etika banyak mengambil dari ajaran Aristoteles mengenai etika. Dengan demikian suka atau tidak kita akan sedikit membahas etika menurut Aristotles. Meskipun demikian, St. Thomas Aquianas tidak hanya mengambil begitu saja ajaran-ajaran etika Aristotles. St. Thomas Aquinas banyak melakuakan perubahan dan penambahan terhadap ajaran Aristotles. Salah satu penambahan yang langsung terasa adalah bahwa St. Thomas Aquinas menyertakan konsep Tuhan sebagai tujuan akhir hidup manusia.
Bagi Aristotle, dalam bukunya Etica Nicomachaea setiap agen bergerak untuk sebuah tujuan. Lebih lanjut bahwa tujuan utama dari setiap gerakan manusia adalah kebahagiaan. Kebahagiaan itu hanya terletak pada sebuah kemampuan yang paling tinggi dari segalanya. Akhirnya, bagi Aristoteles, konsep kebahagiaan dalam filsafatnya adalah theoria, yaitu kontemplasi pada sebuah objek tertinggi.
Sedangkan bagi St. Thomas Aquinas setiap tindakan manusia dibedakan menjadi dua bentuk actiones humanae dan actiones hominis. Artinya tindakan manusia dibagi kedalam dua bentuk. Pertama, manusia dengan sadar memutuskan melakukan sebuah tindakan dengan berdasarkan akal budinya. Kedua, bahwa tindakan manusia sesungguhnya hanya bersifat melakukan sesuatu yang telah menjadi ketetapan, jadi manusia tidak bebas lagi menentukan tindakannya, jelas pula tidak ada pertimbangan akal budi di dalamnya. Sebuah¬¬¬ hidup yang baik ditentukan ketika apakah seseorang menggunakan kehendak dan akal budinya dengan baik atau tidak.
Etika Teleologis
Salah satu konsep inti pemikiran St. Thomas Aquinas mengenai etika adalah konsep etika teleologis, dari bahasa Yunani telos dan logos. St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa teleologis pada dasarnya merupakan etika yang menekankan kerinduan alamiah manusia untuk sebuah kebaikan yang sempurna. Bagi St. Thomas Aquinas, kebaikan sempurna dalam konteks ini dimaknai sebagai Allah sendiri, sebagai tujuan akhir hidup manusia. Hingga akhirnya segala kegiatan manusia harus selalu mengarahkan diri hanya kepada tujuan akhir tersebut, yaitu Allah. Lebih lanjut, dalam masa abad pertengahan, etika teleologi mengkaitkan diri dalam hukum kodrat. Artinya segala sesuatu menjadi benar atau salah diukur dari apakah hal tersebut sesuai atau tidak dengan tujuan alamiahnya.
Konsep etika teleologis merupakan sebuah fondasi dari prinsip-prinsip etika yang mengarah kepada tujuan akhir dari alam semesta, hidup manusia, beserta organ-organ tubuh yang ada di dalam manusia. Dalam tangan St. Thomas Aquinas, etika teleologis dimaknai lebih mendalam sebagai keterkaitan dengan hukum kodrat (natural law). Artinya sesuatu dianggap salah jika tidak sesuai dengan apa yang menjadi tujuannya secara alamiah. Dari hal ini kita bisa mulai sedikit menangkap bahwa hukum kodratlah yang menjadi indikator atau panduan setiap tindakan manusia. Pertanyaan mendasar yang muncul dari konsep etika teleologis adalah apakah sesungguhnya puncak dari kebahagiaan atau akhir, yang membuat tindakan bebas manusia harus mengarah kepadanya sehingga ia hidup dengan baik?
Eudaimonia: Tujuan Akhir Manusia
Konsep eudaimonism yang ada dalam ajaran etika St. Thomas Aquinas, sesungguhnya merupakan lanjutan logis dari konsep etika Teleologi. Kita telah mengetahui etika Teleologi pada intinya ingin mengatakan bahwa segala sesuatu mempunyai tujuan akhir. Lebih lanjut, bahwa segala sesuatu menjadi baik atau buruk tergantung apakah sesuai dengan tujuan akhirnya atau tidak. Bertolak dari etika Teleologi tersebut, konsep eudaimonia dalam ajaran etika St. Thomas Aquinas ingin menempatkan diri sebagai tujuan akhir tersebut. Eudaimonia menjadi sebuah telos bagi manusia.
Kebahagiaan (eudaimonia) di sini dimaknai sebagai sebuah kepenuhan, kesempurnaan, atau kesejahteraan. Bagi St. Thomas Aquinas dalam konsep kebahagiaan harus juga disertakan partisipasi akal budi di dalamnya. Kebahagiaan tidak terletak pada segala sesuatu yang ada di dunia ini. Karena kalau kebahagiaan terletak pada benda-benda atau kekuatan dari dunia ini, hal tersebut mempunyai sifat yang sementara saja. Menurut St. Thomas Aquinas, apa yang Aristoteles sebut sebagai kebahagiaan, hal tersebut merupakan kebahagiaan yang sifatnya belum sempurna. Kebahagiaan sejati atau sempurna hanya ada di dalam Tuhan, Sang Pencipta, yang merupakan kebaikan terbesar atau tertinggi.
Tuhan merupakan tujuan akhir dari setiap bendabaik yang rasional maupun yang irasional. Bagi mereka yang merupakan ciptaan rasional, dapat meraihnya dengan pengetahuan dan cinta akan kebahagiaan tersebut. Lebih tegas dikatakan bahwa hanya ciptaan rasional lah yang mampu mengalami kebahagiaan dengan melihat Tuhan secara langsung. Tidak ada objek ciptaan lain yang mampu memperoleh kebahagiaan yang sempurna tersebut selain manusia.
Namun yang perlu menjadi pertimbangan lain adalah muncul masalah dari konsep kebahagiaan diperoleh jika melihat manusia melihat Tuhan secara langsung. Masalah yang muncul adalah bagaimana mungkin manusia mampu melihat Tuhan, karena Tuhan memang tidak bisa dilihat. Menanggapi masalah tersebut, St. Thomas Aquinas menjawab bahwa untuk hal itu dibutuhkan rahmat supranatural. Lebih tegas bahwa sesungguhnya dalam diri mansia sudah terdapat sebuah potensi untuk dapat mengenali Tuhan. Namun untuk dapat mengubahnya menjadi sebuah tindakan manusia membutuhkan rahmat dari Tuhan sendiri.
Argumen St. Thomas Aquinas tersebut menggambarkan bahwa ia berdiri síntesis antara filsafat dan teologi. Karena memang dalam menjelaskan tentang etika, St. Thomas Aquinas tidak hanya berdiri sebagai seorang filsuf, melakukan juga sebagai seorang teolog. Dengan demikian kita tidak akan membahasnya lebih lanjut, karena memang membutuhkan penjelasan lebih lanjut lagi dalam paper kajian teologi.
Hukum Kodrat (Lex Naturalis) St. Thomas Aquinas
Teori hukum kodrat merupakan sebuah konsep yang telah dirumusakan oleh St. Thomas Aquinas dalam ajarannya mengenai etika. Sebenarnya jika mau ditelusuri lebih jauh hukum kodrat sudah mulai ada sejak jaman Yunani Kuno dengan Aristoteles sebagai tokoh yang pertama mengajarkannya. Namun, pada masa Abad Pertengahan St. Thomas Aquinas mencoba merumuskan kembali konsep hukum kodrat tersebut.
Menurut St. Thomas Aquinas, definisi dari hukum itu sendiri adalah "pengaturan akal budi demi kepentingan umum yang dipermaklumkan oleh yang bertugas memelihara masyarakat". Sedangkan menurut pandangan tradisional, hukum kodrat adalah sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah, bersifat universal, dan mengalami keteraturan dengan hukum alam. Ditangan St. Thomas Aquinas, yang notabene adalah seorang filsuf Kristiani, hukum kodrat dimaknai sebagai partisipasi aktif makhluk berakal budi dalam hukum abadi. Hukum abadi tersebut secara singkat adalah kebijaksanaan Allah sendiri sebagai asal-usul dan penentu kodrat ciptaaan.
Jika kita melihat definisi dari hukum kodrat yang adalah sebuah partisipasi aktif dari akal budi terhadap hukum abadi, maka kita pun perlu melihat terlebih dahulu apa hukum abadi itu sendiri. Hukum kodrat akan semakin mudah untuk kita pahami jika terlebih dahulu kita pun memahami apa itu hukum abadi. Hal ini adalah sebuah konsekuensi logis karena memang hukum kodrat itu sendiri bergantung pada hukum abadi.
St. Thomas Aquinas, dalam bukunya Summa Theologiae, quaesio 91 yang diterjemahkan oleh Franz-Magnis mengatakan bahwa hukum abadi adalah sebagai berikut:
"... Sebagaimana kami katakan di atas, hukum itu tidak lain perintah akal budi praktis dari penguasa yang memerintah atas komunitas sempurna [negara]. Nah jelaslah, apabila dunia diperintah oleh penyelenggaraan Ilahi sebagaimana dinyatakan dalam bagian pertama, seluruh komunitas alam semesta diperintah oleh Akal Budi Ilahi. Oleh karena itu, pemerintahan segala hal dalam Allah, penguasa alam semesta, bersifat hukum. Karena pengertian Akal Budi Ilahi tidak berada di bawah [jangkauan] waktu, melainkan bersifat abadi, sesuai Amsal 8:23, maka kesimpulannya bahwa hukum semacam itu harus disebut abadi.
Pemakluman dilakukan secara lisan atau tertulis, dan hukum abadidipermaklumkan dengan dua cara itu karena baik Sabda Ilahi maupun penulisan Buku Kehidupan adalah abadi..."
Kutipan paragraf di atas telah dengan sangat jelas memaparkan apa yang St. Thomas Aquinas maksud dari hukum abadi. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa hukum abadi menurut St. Thomas Aquninas adalah Allah sendiri.
Teori hukum kodrat jika mau dijabarkan sebenarnya terdiri dari tiga bagian. Pertama, berpijak dari premis awal bahwa segala "sesuatu dalam alam mempunyai tujuan". Kemudian dalam konteksnya dengan manusia ditegaskan bahwa apakah dalam hidupnya manusia mendekati tujuan akhirnya atau malah menjauhinya. Tujuan akhir hidup manusia adalah kebahagiaan. Maka menurut St. Thomas Aquinas, dalam hal tujuan akhir ini Tuhan diperlukan untuk membuat gambaran ini menjadi lengkap. "Nilai dan tujuan, oleh karenanya, dikonsepkan sebgai dasar dari kodrat hal-hal itu karena dunia dipercaya sebgai ciptaan yang menuruti rencana ilahi".
Jika tujuan akhir hidup adalah kebahagiaan dan Tuhan sebagai Sang Pencipta alam yang mempunyai tujuan maka bisa disimpulkan bahwa kepenuhan kebahagiaan hanya terdapat dalam Tuhan. St. Thomas Aquinas menegaskan bahwa konsep kebahagiaan yang dimaksud Aristoteles masih merupakan kebahagiaan yang belum sempurna. Kebahagiaan yang sempurna ada pada di kehidupan setelah kematian, saat manusia kembali bersatu dengan Tuhan.
Berdasarkan penjelasan bahwa segala sesuatu mempunyai tujuan, maka perintah dasar moral hidup berdasarkan pada hukum kodrat adalah wajib bertindak ke arah yang baik dan menjauhi yang jahat. Sesudah orang mengerti dan memahami tentang mana yang baik dan mana yang buruk, ia harus selalu mengarahkan dirinya pada apa yang baik. Hukum kodrat membantu seseorang menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Ajaran St. Thomas Aquinas mengenai bahwa segala sesuatu yang bergerak seperti penjelasan di atas termuat dalam salah satu karya terbesarnya, yaitu Summa Contra Gentiles. Berikut kutipannya:
“Segala Sesuatu yang Bergerak, Bergerak Untuk Kebaikan”
“Sebuah agen intelektual bergerak untuk sebuah tujuan yang telah dipilih untuk dirinya sendiri, ketika sesuatu di dalam alamiahnya hal itu bergerak untuk tujuan tidak berada dalam tujuan-tujuan mereka, untuk mereka yang tidak mengetahui makna dari tujuan akhir dari sebuah tujuan tetapi bergerak demi tujuan yang mereka dipilih untuk mereka oleh orang lain. Ketika seseorang menggunakan intelektualnya untuk bergerak, ia selalu memilih sebuah tujuan yang ia pikir itu adalah baik karena obyek dari intelektualnya hanya menggerakkannya ketika menjadi baik-dan kebaikan adalah obyek dari kehendak. Segala sesuatu secara alamiah bergerak dan bergerak untuk sebuah tujuan yang adalah sebuah kebaikan sejak tujaun dari sebuah kegiatan dalam hakikat adalah hasil dari kemampuan alaminya. Dengan demikian segala sesuatu yang bergerak, bergerak untuk sebuah kebaikan”
Kedua, hukum kodrat membuat konsep adanya dari sesuatu tercampur juga dengan bagaimana seharusnya. Dalam bahasa Inggris perbedaan ini menjadi lebih jelas antara be dan should be. Artinya hidup menurut hukum kodrat tidak lagi hanya sekedar apa adanya kaitanya dengan alam, melainkan sebagai sebuah keharusan alam. Namun dalam rangka hukum kodrat menurut St. Thomas Aquinas ini, manusia dihadapkan pada banyak pilihan. Manusia dituntut memilih dengan pertimbangan akal budi yang paling tinggi. Dengan demikian manusia tidak hanya melakukan apa yang sudah menjadi sebuah ketetapan otomatis dalam alam, melainkan harus tetap melakukan pilihan diantara banyak tawaran dengan menggunakan akal budinya.
Ketiga, teori hukum kodrat mengarahkan pada pertannyaan tentang pengetahuan moral. Pertanyaan tersebut adalah bagaimana seseorang menentukan apa yang benar dan salah? Hukum kodrat menegaskan bahwa hal "yang benar untuk dilakukan adalah tindakan apa pun yang sesuai dengan pikiran yang paling rasional".
Secara jelas bisa kita katakan bahwa hukum kodrat menjadi sebuah dasar dari ratio. Lebih dalam, hukum kodrat menjadi sebuah alur (guideline) dalam setiap pikiran dan tindakan manusia. Setiap pikiran rasional manusia dalam kerangka menuju tujuan akhirnya dilalui dengan atau sesuai dengan hukum kodrat. Bagi St. Thomas Aquinas hukum kodrat adalah sebuah esensi dari manusia.
Dengan demikian bisa sedikit kita simpulkan bahwa hukum kodrat adalah partisipasi aktif akal budi dalam hukum abadi, Allah sendiri, sebagai penentu kodrat ciptaan-Nya. "Hidup sesuai dengan hukum kodrat berarti hidup sedemikian rupa hingga kecondongan-kecondongan kodrati mencapai tujuan khas masing-masing, tetapi dalam keselarasan menurut pengaturan akal budi".
Daftar Pustaka
Aquinas, Thomas. Summa Contra Gentiles. Chapter 3
Aquinas, Thomas. Summa Theologiae I-II Q 91. a2
Copleston, Frederick. A History Of Philosophy 2. Volume II: Medieval Philosophy. Images Book. New York. 1993.
Macquarrie, John and James Childress (ed.). A New Dictionary of Christian Ethics. Part Medieval Ethics and Teleological Ethics, SCM Press Ltd. USA. 1967.
Rachels, James. Filsafat Moral. Kanisius. Yogyakarta. 2004.
Suseno, Franz-Magnis. 13 Model Pendekatan Etika. Kanisius. Yogyakarta. 1997.
Internet:
http://www.iep.utm.edu/aq-moral/
Pembahasan mengenai etika sangat menarik untuk terus dikaji setiap waktu. Apalagi ketika melihat fenomena masih sangat kuatnya daya ikat di zaman sekarang. Di tengah berbagai kemajuan teknologi, etika seoalah menjadi ”polisi” bagi para ilmuwan dalam melakukan eksperimen-eksperimen mereka yang terkadang hendak melampaui batas alamiah. Hal ini terlihat jelas ketika para ilmuwan mulai mampu melakukan cloning pada hewan dan hendak mengaplikasikannya pada manusia.
Etika sendiri merupakan salah cabang dari filsafat. Kata etika sendiri berasal dari bahasa Yunani Ethike dan tekhne yang berarti sebuah ilmu tentang moral. Jika ditelusuri lebih dalam, kata ethike berarti juga ethos yang artinya alami (nature). Dengan demikian etika kurang lebih berarti sebuah ilmu tentang tindakan manusia menurut hakikat alaminya.
Paper ini secara khusus akan mecoba memaparkan ajaran St. Thomas Aquinas mengenai etika. Pada pembahasannya saya akan membaginya kedalam beberapa bagian. Bagian pertama saya mencoba memberikan gambaran umum atau latar belakang ajaran etika St. Thomas Aquinas. Pada bagian tersebut kita akan melihat bahwa St. Thomas Aquinas banyak mengambil ajaran Aristoteles dalam mengembangkan ajaran etikanya. Ajaran tersebut nampak dalam pandangan bahwa segala sesuatu di dunia ini mempunyai tujuan akhir (telos), yaitu kebahagiaan (happiness).
Bagian selanjutnya kita akan mengulas lebih mendalam ajaran St. Thomas Aquinas tentang hukum kodrat (Lex Naturalis). Bagi St. Thomas Aquinas, hukum kodrat merupakan esensi dari manusia. Hukum kodrat dipandang sebagai sebuah arah atau haluan bagi setiap orang dalam bertindak. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa hukum kodrat merupakan jalan yang mengarahkan seseorang kepada tujuan akhir hidupnya, yaitu kebahagiaan (eudaimonia).
Latar Belakang Etika St. Thomas Aquinas
Secara umum, ajaran St. Thomas Aquinas tentang etika banyak mengambil dari ajaran Aristoteles mengenai etika. Dengan demikian suka atau tidak kita akan sedikit membahas etika menurut Aristotles. Meskipun demikian, St. Thomas Aquianas tidak hanya mengambil begitu saja ajaran-ajaran etika Aristotles. St. Thomas Aquinas banyak melakuakan perubahan dan penambahan terhadap ajaran Aristotles. Salah satu penambahan yang langsung terasa adalah bahwa St. Thomas Aquinas menyertakan konsep Tuhan sebagai tujuan akhir hidup manusia.
Bagi Aristotle, dalam bukunya Etica Nicomachaea setiap agen bergerak untuk sebuah tujuan. Lebih lanjut bahwa tujuan utama dari setiap gerakan manusia adalah kebahagiaan. Kebahagiaan itu hanya terletak pada sebuah kemampuan yang paling tinggi dari segalanya. Akhirnya, bagi Aristoteles, konsep kebahagiaan dalam filsafatnya adalah theoria, yaitu kontemplasi pada sebuah objek tertinggi.
Sedangkan bagi St. Thomas Aquinas setiap tindakan manusia dibedakan menjadi dua bentuk actiones humanae dan actiones hominis. Artinya tindakan manusia dibagi kedalam dua bentuk. Pertama, manusia dengan sadar memutuskan melakukan sebuah tindakan dengan berdasarkan akal budinya. Kedua, bahwa tindakan manusia sesungguhnya hanya bersifat melakukan sesuatu yang telah menjadi ketetapan, jadi manusia tidak bebas lagi menentukan tindakannya, jelas pula tidak ada pertimbangan akal budi di dalamnya. Sebuah¬¬¬ hidup yang baik ditentukan ketika apakah seseorang menggunakan kehendak dan akal budinya dengan baik atau tidak.
Etika Teleologis
Salah satu konsep inti pemikiran St. Thomas Aquinas mengenai etika adalah konsep etika teleologis, dari bahasa Yunani telos dan logos. St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa teleologis pada dasarnya merupakan etika yang menekankan kerinduan alamiah manusia untuk sebuah kebaikan yang sempurna. Bagi St. Thomas Aquinas, kebaikan sempurna dalam konteks ini dimaknai sebagai Allah sendiri, sebagai tujuan akhir hidup manusia. Hingga akhirnya segala kegiatan manusia harus selalu mengarahkan diri hanya kepada tujuan akhir tersebut, yaitu Allah. Lebih lanjut, dalam masa abad pertengahan, etika teleologi mengkaitkan diri dalam hukum kodrat. Artinya segala sesuatu menjadi benar atau salah diukur dari apakah hal tersebut sesuai atau tidak dengan tujuan alamiahnya.
Konsep etika teleologis merupakan sebuah fondasi dari prinsip-prinsip etika yang mengarah kepada tujuan akhir dari alam semesta, hidup manusia, beserta organ-organ tubuh yang ada di dalam manusia. Dalam tangan St. Thomas Aquinas, etika teleologis dimaknai lebih mendalam sebagai keterkaitan dengan hukum kodrat (natural law). Artinya sesuatu dianggap salah jika tidak sesuai dengan apa yang menjadi tujuannya secara alamiah. Dari hal ini kita bisa mulai sedikit menangkap bahwa hukum kodratlah yang menjadi indikator atau panduan setiap tindakan manusia. Pertanyaan mendasar yang muncul dari konsep etika teleologis adalah apakah sesungguhnya puncak dari kebahagiaan atau akhir, yang membuat tindakan bebas manusia harus mengarah kepadanya sehingga ia hidup dengan baik?
Eudaimonia: Tujuan Akhir Manusia
Konsep eudaimonism yang ada dalam ajaran etika St. Thomas Aquinas, sesungguhnya merupakan lanjutan logis dari konsep etika Teleologi. Kita telah mengetahui etika Teleologi pada intinya ingin mengatakan bahwa segala sesuatu mempunyai tujuan akhir. Lebih lanjut, bahwa segala sesuatu menjadi baik atau buruk tergantung apakah sesuai dengan tujuan akhirnya atau tidak. Bertolak dari etika Teleologi tersebut, konsep eudaimonia dalam ajaran etika St. Thomas Aquinas ingin menempatkan diri sebagai tujuan akhir tersebut. Eudaimonia menjadi sebuah telos bagi manusia.
Kebahagiaan (eudaimonia) di sini dimaknai sebagai sebuah kepenuhan, kesempurnaan, atau kesejahteraan. Bagi St. Thomas Aquinas dalam konsep kebahagiaan harus juga disertakan partisipasi akal budi di dalamnya. Kebahagiaan tidak terletak pada segala sesuatu yang ada di dunia ini. Karena kalau kebahagiaan terletak pada benda-benda atau kekuatan dari dunia ini, hal tersebut mempunyai sifat yang sementara saja. Menurut St. Thomas Aquinas, apa yang Aristoteles sebut sebagai kebahagiaan, hal tersebut merupakan kebahagiaan yang sifatnya belum sempurna. Kebahagiaan sejati atau sempurna hanya ada di dalam Tuhan, Sang Pencipta, yang merupakan kebaikan terbesar atau tertinggi.
Tuhan merupakan tujuan akhir dari setiap bendabaik yang rasional maupun yang irasional. Bagi mereka yang merupakan ciptaan rasional, dapat meraihnya dengan pengetahuan dan cinta akan kebahagiaan tersebut. Lebih tegas dikatakan bahwa hanya ciptaan rasional lah yang mampu mengalami kebahagiaan dengan melihat Tuhan secara langsung. Tidak ada objek ciptaan lain yang mampu memperoleh kebahagiaan yang sempurna tersebut selain manusia.
Namun yang perlu menjadi pertimbangan lain adalah muncul masalah dari konsep kebahagiaan diperoleh jika melihat manusia melihat Tuhan secara langsung. Masalah yang muncul adalah bagaimana mungkin manusia mampu melihat Tuhan, karena Tuhan memang tidak bisa dilihat. Menanggapi masalah tersebut, St. Thomas Aquinas menjawab bahwa untuk hal itu dibutuhkan rahmat supranatural. Lebih tegas bahwa sesungguhnya dalam diri mansia sudah terdapat sebuah potensi untuk dapat mengenali Tuhan. Namun untuk dapat mengubahnya menjadi sebuah tindakan manusia membutuhkan rahmat dari Tuhan sendiri.
Argumen St. Thomas Aquinas tersebut menggambarkan bahwa ia berdiri síntesis antara filsafat dan teologi. Karena memang dalam menjelaskan tentang etika, St. Thomas Aquinas tidak hanya berdiri sebagai seorang filsuf, melakukan juga sebagai seorang teolog. Dengan demikian kita tidak akan membahasnya lebih lanjut, karena memang membutuhkan penjelasan lebih lanjut lagi dalam paper kajian teologi.
Hukum Kodrat (Lex Naturalis) St. Thomas Aquinas
Teori hukum kodrat merupakan sebuah konsep yang telah dirumusakan oleh St. Thomas Aquinas dalam ajarannya mengenai etika. Sebenarnya jika mau ditelusuri lebih jauh hukum kodrat sudah mulai ada sejak jaman Yunani Kuno dengan Aristoteles sebagai tokoh yang pertama mengajarkannya. Namun, pada masa Abad Pertengahan St. Thomas Aquinas mencoba merumuskan kembali konsep hukum kodrat tersebut.
Menurut St. Thomas Aquinas, definisi dari hukum itu sendiri adalah "pengaturan akal budi demi kepentingan umum yang dipermaklumkan oleh yang bertugas memelihara masyarakat". Sedangkan menurut pandangan tradisional, hukum kodrat adalah sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah, bersifat universal, dan mengalami keteraturan dengan hukum alam. Ditangan St. Thomas Aquinas, yang notabene adalah seorang filsuf Kristiani, hukum kodrat dimaknai sebagai partisipasi aktif makhluk berakal budi dalam hukum abadi. Hukum abadi tersebut secara singkat adalah kebijaksanaan Allah sendiri sebagai asal-usul dan penentu kodrat ciptaaan.
Jika kita melihat definisi dari hukum kodrat yang adalah sebuah partisipasi aktif dari akal budi terhadap hukum abadi, maka kita pun perlu melihat terlebih dahulu apa hukum abadi itu sendiri. Hukum kodrat akan semakin mudah untuk kita pahami jika terlebih dahulu kita pun memahami apa itu hukum abadi. Hal ini adalah sebuah konsekuensi logis karena memang hukum kodrat itu sendiri bergantung pada hukum abadi.
St. Thomas Aquinas, dalam bukunya Summa Theologiae, quaesio 91 yang diterjemahkan oleh Franz-Magnis mengatakan bahwa hukum abadi adalah sebagai berikut:
"... Sebagaimana kami katakan di atas, hukum itu tidak lain perintah akal budi praktis dari penguasa yang memerintah atas komunitas sempurna [negara]. Nah jelaslah, apabila dunia diperintah oleh penyelenggaraan Ilahi sebagaimana dinyatakan dalam bagian pertama, seluruh komunitas alam semesta diperintah oleh Akal Budi Ilahi. Oleh karena itu, pemerintahan segala hal dalam Allah, penguasa alam semesta, bersifat hukum. Karena pengertian Akal Budi Ilahi tidak berada di bawah [jangkauan] waktu, melainkan bersifat abadi, sesuai Amsal 8:23, maka kesimpulannya bahwa hukum semacam itu harus disebut abadi.
Pemakluman dilakukan secara lisan atau tertulis, dan hukum abadidipermaklumkan dengan dua cara itu karena baik Sabda Ilahi maupun penulisan Buku Kehidupan adalah abadi..."
Kutipan paragraf di atas telah dengan sangat jelas memaparkan apa yang St. Thomas Aquinas maksud dari hukum abadi. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa hukum abadi menurut St. Thomas Aquninas adalah Allah sendiri.
Teori hukum kodrat jika mau dijabarkan sebenarnya terdiri dari tiga bagian. Pertama, berpijak dari premis awal bahwa segala "sesuatu dalam alam mempunyai tujuan". Kemudian dalam konteksnya dengan manusia ditegaskan bahwa apakah dalam hidupnya manusia mendekati tujuan akhirnya atau malah menjauhinya. Tujuan akhir hidup manusia adalah kebahagiaan. Maka menurut St. Thomas Aquinas, dalam hal tujuan akhir ini Tuhan diperlukan untuk membuat gambaran ini menjadi lengkap. "Nilai dan tujuan, oleh karenanya, dikonsepkan sebgai dasar dari kodrat hal-hal itu karena dunia dipercaya sebgai ciptaan yang menuruti rencana ilahi".
Jika tujuan akhir hidup adalah kebahagiaan dan Tuhan sebagai Sang Pencipta alam yang mempunyai tujuan maka bisa disimpulkan bahwa kepenuhan kebahagiaan hanya terdapat dalam Tuhan. St. Thomas Aquinas menegaskan bahwa konsep kebahagiaan yang dimaksud Aristoteles masih merupakan kebahagiaan yang belum sempurna. Kebahagiaan yang sempurna ada pada di kehidupan setelah kematian, saat manusia kembali bersatu dengan Tuhan.
Berdasarkan penjelasan bahwa segala sesuatu mempunyai tujuan, maka perintah dasar moral hidup berdasarkan pada hukum kodrat adalah wajib bertindak ke arah yang baik dan menjauhi yang jahat. Sesudah orang mengerti dan memahami tentang mana yang baik dan mana yang buruk, ia harus selalu mengarahkan dirinya pada apa yang baik. Hukum kodrat membantu seseorang menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Ajaran St. Thomas Aquinas mengenai bahwa segala sesuatu yang bergerak seperti penjelasan di atas termuat dalam salah satu karya terbesarnya, yaitu Summa Contra Gentiles. Berikut kutipannya:
“Segala Sesuatu yang Bergerak, Bergerak Untuk Kebaikan”
“Sebuah agen intelektual bergerak untuk sebuah tujuan yang telah dipilih untuk dirinya sendiri, ketika sesuatu di dalam alamiahnya hal itu bergerak untuk tujuan tidak berada dalam tujuan-tujuan mereka, untuk mereka yang tidak mengetahui makna dari tujuan akhir dari sebuah tujuan tetapi bergerak demi tujuan yang mereka dipilih untuk mereka oleh orang lain. Ketika seseorang menggunakan intelektualnya untuk bergerak, ia selalu memilih sebuah tujuan yang ia pikir itu adalah baik karena obyek dari intelektualnya hanya menggerakkannya ketika menjadi baik-dan kebaikan adalah obyek dari kehendak. Segala sesuatu secara alamiah bergerak dan bergerak untuk sebuah tujuan yang adalah sebuah kebaikan sejak tujaun dari sebuah kegiatan dalam hakikat adalah hasil dari kemampuan alaminya. Dengan demikian segala sesuatu yang bergerak, bergerak untuk sebuah kebaikan”
Kedua, hukum kodrat membuat konsep adanya dari sesuatu tercampur juga dengan bagaimana seharusnya. Dalam bahasa Inggris perbedaan ini menjadi lebih jelas antara be dan should be. Artinya hidup menurut hukum kodrat tidak lagi hanya sekedar apa adanya kaitanya dengan alam, melainkan sebagai sebuah keharusan alam. Namun dalam rangka hukum kodrat menurut St. Thomas Aquinas ini, manusia dihadapkan pada banyak pilihan. Manusia dituntut memilih dengan pertimbangan akal budi yang paling tinggi. Dengan demikian manusia tidak hanya melakukan apa yang sudah menjadi sebuah ketetapan otomatis dalam alam, melainkan harus tetap melakukan pilihan diantara banyak tawaran dengan menggunakan akal budinya.
Ketiga, teori hukum kodrat mengarahkan pada pertannyaan tentang pengetahuan moral. Pertanyaan tersebut adalah bagaimana seseorang menentukan apa yang benar dan salah? Hukum kodrat menegaskan bahwa hal "yang benar untuk dilakukan adalah tindakan apa pun yang sesuai dengan pikiran yang paling rasional".
Secara jelas bisa kita katakan bahwa hukum kodrat menjadi sebuah dasar dari ratio. Lebih dalam, hukum kodrat menjadi sebuah alur (guideline) dalam setiap pikiran dan tindakan manusia. Setiap pikiran rasional manusia dalam kerangka menuju tujuan akhirnya dilalui dengan atau sesuai dengan hukum kodrat. Bagi St. Thomas Aquinas hukum kodrat adalah sebuah esensi dari manusia.
Dengan demikian bisa sedikit kita simpulkan bahwa hukum kodrat adalah partisipasi aktif akal budi dalam hukum abadi, Allah sendiri, sebagai penentu kodrat ciptaan-Nya. "Hidup sesuai dengan hukum kodrat berarti hidup sedemikian rupa hingga kecondongan-kecondongan kodrati mencapai tujuan khas masing-masing, tetapi dalam keselarasan menurut pengaturan akal budi".
Daftar Pustaka
Aquinas, Thomas. Summa Contra Gentiles. Chapter 3
Aquinas, Thomas. Summa Theologiae I-II Q 91. a2
Copleston, Frederick. A History Of Philosophy 2. Volume II: Medieval Philosophy. Images Book. New York. 1993.
Macquarrie, John and James Childress (ed.). A New Dictionary of Christian Ethics. Part Medieval Ethics and Teleological Ethics, SCM Press Ltd. USA. 1967.
Rachels, James. Filsafat Moral. Kanisius. Yogyakarta. 2004.
Suseno, Franz-Magnis. 13 Model Pendekatan Etika. Kanisius. Yogyakarta. 1997.
Internet:
http://www.iep.utm.edu/aq-moral/
Kamis, 11 September 2014
Nilai sebuah Penderitaan
Oleh : Kristoforus Sri Ratulayn K.N
Siapa yang tidak pernah menangis selama hidupnya? Adakah manusia yang tidak pernah menangis sepanjang hidupnya? Hampir tidak ada manusia yang tidak pernah menangis. Bahkan, awal dan akhir dari hidup manusia selalu diiringi dengan sebuah tangisan. Bayi yang baru lahir harus menangis sebagai tanda kehidupannya. Bahkan kalau tidak menangis dibuat sedemikian rupa agar ia segera menangis. Selanjutnya, ketika kematian menjemput juga diiringi dengan tangisan. Tentu saja bukan tangisan dari orang yang meninggal, melainkan tangisan dari saudara dan kerabat yang ditinggalkan.
Lebih lanjut, menangis merupakan sebuah metafor atau proyeksi diri dari sebuah kejadian yang menyakitkan atau kadang juga menggembirakan. Misalnya, seseorang gadis menangis karena ditinggal oleh sang kekasih. Contoh lain, seorang ibu yang menangis terharu karena anaknya mampu meraih prestasi yang membanggakan. Namun, tangisan tentu lebih cenderung mengarah kepada sebuah proyeksi tentang sebuah penderitaan yang tengah dialami oleh seseorang yang menangis. Penderitaan menjadi realitas tentang sebuah hal yang menyakitkan atau tidak menyenangkan bagi sebagian orang. Pada intinya, saya ingin mengatakan bahwa ada realitas tersembunyi di balik sebuah tangisan/menangis, yaitu penderitaan.
Dalam tulisan ini saya berusaha sedikit merumuskan dan menjawab sesungguhnya apa itu penderitaan? Mengapa seseorang perlu mengalami penderitaan? Dan sesungguhnya apakah ada penderitaan yang membawa kebaikan? Pada titik ini, sudah sangat jelas posisi saya bukan untuk mendebat atau menganalisis satu per satu dari berbagai pandangan mengenai penderitaan. Saya hanya ingin berusaha memikirkan dan merenungkan sendiri makna dari sebuah penderitaan dengan sebuah kejujuran. Tentu juga berharap bahwa kemudian ada yang merasa ikut tercerahkan dari pergulatan tentang masalah penderitaan yang tengah dialami.
Realitas penderitaan
Berbicara mengenai penderitaan rasanya membuat orang sedikit mengerutkan dahi, tanda bahwa penderitaan sebisa mungkin ditekan dan dilupakan. Hal tersebut dapat diterima secara masuk akal karena memang saat ini terdapat sebuah arus gelombang hedonisme dan sensualisme. Sebagian besar orang berusaha mencari kepuasan, kesenangan, dan kenikmatan secara maksimal dalam hidupnya. Kenikmatan tubuh menjadi yang utama dalam hidup tanpa peduli bahwa dalam pencariaannya mendobrak setiap batas-batas nilai luhur. Lebih dalam, ada adgium yang mengerikan yaitu bahwa ketika berbicara mengenai uang, kita semua berada pada satu agama yang sama. Contoh nyata yang ada dalam hidup saat ini adalah banyaknya pelaku korupsi yang ada dalam Negara ini. Pendobrakan nilai-nilai luhur ini tentu berdiri di atas sebuah sikap penolakan terhadap apa yang disebut penderitaan.
Sudah tentu banyak sekali pendapat yang berusaha menjawab dan menjelaskan mengenai apa itu penderitaan. Ada yang menyebut penderitaan sebagai sebuah hukuman atas kesalahan yang telah dilakukan. Lain lagi mengatakan bahwa penderitaan merupakan sebuah absuditas dan dengan demikian sangat susah dimengerti. Ada juga yang menyebut bahwa penderitaan merupakan karma atau bahkan esensi dari seluruh hidup manusia. Kemudian ada juga yang menyebut bahwa penderitaan adalah kekalahan, maka seseorang harus menjadi manusia atas yang tentu mengatasi semua kekalahan tersebut.
Bagi saya, penderitaan merupakan sebuah bagian dari esensi hidup manusia. Penderitaan merupakan bagian yang memang harus ada dalam hidup manusia. Tidak ada yang dapat menolak ataupun menjauhi. Bahkan penderitaan dibutuhkan bagi manusia untuk mengajarkan hal yang bernilai bagi manusia. Saya mencoba membayangkan bagaimana jadinya anak yang sejak kecil selalu dicukupi segala kebutuhannya dan dimanja. Kemungkinan besar yang terjadi adalah anak tersebut tidak pernah belajar apa yang disebut kekalahan atau kekurangan. Sehingga pada waktunya ketika berhadapan dengan kekalahan, dia akan merasa dunia telah berakhir. Contoh actual akhir-akhir ini berkaitan pilpres. Saya curiga, jangan-jangan salah satu pasangan calon Presiden yang tidak pernah mau mengakui kekalahannya adalah bentukan dari pemikiran yang selalu menolak penderitaan dalam hidup. Ia menjadi orang yang tidak pernah mau mengakui kekalahan.
Perjuangan Nilai
Penderitaan bukanlah sebuah esensi yang berdiri sendiri. Artinya penderitaan tidak pernah bernilai pada dirinya sendiri. Tidak akan pernah ada penderitaan yang bermakna bagi dirinya sendiri. Penderitaan selalu bergantung pada sebuah substansi yang lain.
Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan adanya penderitaan. Pertama, karena memang manusia sendiri yang menginginkan penderitaan tersebut. Lebih dalam, seseorang itu sendiri yang menginginkan penderitaan tersebut ia alami. Misalnya, orang yang dengan sengaja berdiri di tengah jalan untuk membiarkan dirinya ditabrak oleh kendaraan yang lewat. Contoh lain lagi penderitaan akibat hukuman karena seseorang mejadi koruptor. Dalam ekstrem tertentu, mungkin ini yang dalam psikologi disebut masokisme. Sebuah ketidak beresan yang mengandung arti mencari kepuasan dengan mengalami penderitaan.
Kedua, penderitaan yang disebabkan oleh alam. Dalam arti tertentu ini sering disebut sebagai sebuah bencana. Sesunguhnya, bencanapun ketika orang mau jujur, hal tersebut terjadi karena ulah manusia sendiri. Manusia dengan segala kerakusan dan optimismenya berusaha menguasai dan mengksplorasi alam. Sehingga pada waktu alam menunjukkan keganasannya dengan terjadinya bencana alam. Banyak contoh kerusakan alam yang telah terjadi di sekitar kita, mulai dari perubahan iklim, banjir, dan masih banyak lagi.
Ketiga, penderitaan yang memang dipilih dan dijalani karena ada perjuangan akan nilai yang lebih luhur di baliknya. Dengan kata lain, penderitaan sebagai sebuah konsekuensi logis dari tindakan seseorang yang berusaha memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, kemanusiaan, cinta kasih dan persaudaraan. Banyak contoh yang bisa kita ambil untuk penderitaan jenis ini, misalnya para pahlawan yang gugur memperjuangkan kemerdekaan. Perjuangan seorang yang memperjuangkan agar cinta kasih tercipta di bumi, kemudian harus mengalami sikasaan dan penderitaan.
Pada titik ini tentu kita bisa berkata bahwa penderitaan sesungguhnya bukanlah sebuah hal yang menyedihkan, mengerikan, kekalahan, atau bahkan kehinaan seperti yang dikatakan salah satu filsuf Modern, Nietzsche. Penderitaan bukan sekedar hal yang buruk, membelenggu, dan menyengsarakan hidup. Bukankah penderitaan akibat memperjuangkan sebuah nilai yang lebih tinggih sungguh merupakan hal yang sangat mulia. Ketimbang hidup “membahagiakan” dengan menjadi seorang penjilat dan perampok uang rakyat.
Pada waktunya seseorang akan menyadari bahwa penderitaan karena memperjuangkan nilai-nilai luhur akan sangat mendewasakan.***
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
- Aborsi
- Aristoteles
- belajar ilmiah
- Etika
- Etika Biomedis
- Etika Nickomakeia
- Etika Thomas Aquinas
- Filsafat Jawa
- Filsafat Ketuhanan
- Filsafat Manusia
- Filsafat Pendidikan
- Hegel
- Keadilan
- Kebenaran
- Keutamaan
- Komunikasi
- Opini
- Sejarah Filsafat Abad Pertengahan
- Soekarno
- theodicy
- tugas epistemologi
- tugas pengantar filsafat
- tugas resensi Filsafat Manusia
- Tulisan untuk buletin "Cogito" Nopember 2009